Kopi TIMES

Purbaya dalam Membangun Peradaban Ekonomi Syariah

Kamis, 06 November 2025 - 16:23 | 708
Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.
Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

TIMESINDONESIA, PEKALONGAN – Pergantian Menteri Keuangan selalu menjadi momen penting dalam perjalanan ekonomi bangsa. Sejak dilantiknya Purbaya Yudhi Sadewa pada 8 September 2025 menggantikan Sri Mulyani Indrawati, publik menaruh perhatian besar. 

Sosok ini bukan sekadar teknokrat dengan latar belakang ekonomi dan teknik, tetapi juga seorang pemikir yang memadukan pendekatan sistemik dengan kepekaan sosial. 

Advertisement

Di tengah perubahan global yang serba cepat, Purbaya membawa semangat baru: menyeimbangkan disiplin fiskal dengan visi inklusi, digitalisasi, dan keberlanjutan. Namun yang lebih menarik adalah potensi besar yang bisa lahir dari kebijakan ekonominya yakni revitalisasi ekonomi syariah sebagai fondasi moral dan produktif pembangunan nasional.

Purbaya Yudhi Sadewa lahir di Bogor pada 7 Juli 1964. Ia menempuh pendidikan Teknik Elektro di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan melanjutkan studi Master serta Doktor Ekonomi di Purdue University, Amerika Serikat. Kombinasi ini menciptakan pola pikir yang unik: teknokratis, analitis, dan adaptif. 

Dalam banyak kesempatan, Purbaya menegaskan pentingnya kebijakan fiskal yang evidence-based, transparan, dan pro-produktivitas. Tetapi ia juga dikenal memiliki perhatian terhadap dimensi etika dan pemerataan. Sejak menjabat sebagai Ketua LPS (Lembaga Penjamin Simpanan), ia konsisten menekankan pentingnya trust sebagai fondasi sistem keuangan sebuah nilai yang sangat dekat dengan prinsip syariah.

Ketika ia naik menjadi Menteri Keuangan, orientasi kebijakan Purbaya tidak hanya berfokus pada stabilitas makro, melainkan juga human-centered economy. Di sinilah ekonomi syariah menemukan momentumnya. 

Prinsip syariah yang menolak riba, menegakkan keadilan, dan menekankan keberlanjutan sosial, sejalan dengan arah baru yang sedang dibangun oleh pemerintah. Purbaya memahami bahwa tantangan Indonesia bukan hanya soal defisit fiskal atau rasio utang, tetapi tentang bagaimana memastikan setiap kebijakan keuangan negara berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat.

Pilar Keuangan Publik yang Bermartabat

Ekonomi syariah bukanlah wacana eksklusif umat, melainkan sistem yang relevan bagi seluruh bangsa. Ia mengandung nilai universal: keadilan, transparansi, dan keberlanjutan. Purbaya tampak memahami dimensi ini dengan baik. 

Dalam beberapa pernyataannya, ia menyebut perlunya diversifikasi sumber pembiayaan melalui instrumen yang lebih etis, seperti Sukuk Negara (SBSN), green sukuk, serta optimalisasi dana sosial Islam seperti zakat, infak, dan wakaf. Strategi ini bukan sekadar alternatif fiskal, melainkan cara membangun kemandirian ekonomi berbasis nilai.

Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Purbaya memiliki peluang besar untuk memperkuat integrasi keuangan syariah dalam kebijakan nasional. Saat ini, kontribusi ekonomi syariah terhadap PDB Indonesia baru berkisar 5,5%. Padahal, potensi aset keuangan syariah Indonesia mencapai lebih dari Rp2.300 triliun. 

Melalui reformasi fiskal yang inovatif, Purbaya bisa mendorong penguatan Islamic finance ecosystem yang bersinergi dengan sistem konvensional. Misalnya, memperluas pembiayaan infrastruktur berbasis sukuk untuk sektor pendidikan, energi hijau, dan UMKM dengan tetap berlandaskan prinsip keadilan distribusi.

Kebijakan fiskal yang berorientasi maqaṣid al-syari‘ah (tujuan syariah) bukan sekadar soal regulasi, melainkan arah peradaban. Dalam konteks ini, visi Purbaya untuk menata keuangan negara yang lebih inklusif dapat dimaknai sebagai upaya menjaga lima pilar maqaṣid: perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. 

Misalnya, kebijakan pengurangan ketimpangan fiskal antar daerah merupakan bentuk perlindungan harta dan kehidupan (hifz al-mal wa al-nafs); kebijakan subsidi pendidikan dan kesehatan adalah perlindungan akal dan keturunan (hifz al-‘aql wa al-nasl).

Dengan menanamkan nilai maqāṣid dalam desain fiskal, Purbaya tidak hanya berperan sebagai policy maker, tetapi juga moral architect pembangunan ekonomi nasional. Ia bisa menata arah kebijakan agar tidak terjebak dalam paradigma pertumbuhan semata, tetapi juga memupuk keberlanjutan sosial. 

Ini adalah semangat yang selaras dengan akar budaya Nusantara yang menempatkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan sebagai dasar kehidupan sebuah warisan filosofis yang dalam konteks modern disebut Purbaya Mindset.

Apa yang membedakan Purbaya dari banyak teknokrat sebelumnya adalah kemampuannya memadukan rasionalitas ekonomi dengan etika kebangsaan. Ia bukan hanya berbicara tentang efisiensi fiskal, tetapi juga nilai. 

Dalam banyak forum, Purbaya menegaskan pentingnya “smart fiscal management with human soul”. Konsep ini sesungguhnya merupakan cerminan maqāṣid dalam versi kebijakan publik: kebijakan yang cerdas sekaligus berjiwa.

“Purbaya Mindset” dapat diterjemahkan sebagai pendekatan kebijakan yang berakar pada tiga pilar: etika, teknologi, dan syariah. Etika mengingatkan bahwa uang publik adalah amanah; teknologi mendorong transparansi dan efisiensi; syariah memastikan bahwa semua kebijakan berpihak pada kemaslahatan. Melalui tiga pilar ini, ekonomi syariah bukan hanya instrumen keuangan, melainkan sistem nilai yang membimbing arah reformasi fiskal nasional.

Transformasi Digital dan Ekonomi Umat

Purbaya juga dikenal sebagai pendorong transformasi digital di sektor publik. Ia mendukung penguatan Digital Treasury, sistem perbendaharaan negara berbasis big data dan kecerdasan buatan. Dalam konteks ekonomi syariah, langkah ini membuka peluang bagi efisiensi penyaluran dana sosial Islam. 

Bayangkan jika sistem zakat nasional, wakaf produktif, dan pembiayaan UMKM syariah diintegrasikan dengan platform fiskal digital pemerintah transparan, akuntabel, dan langsung menyentuh penerima manfaat. Inilah bentuk nyata digital maqāṣid economy: efisiensi modern yang berakar pada keadilan spiritual.

Kebijakan digitalisasi fiskal juga berperan strategis dalam memperkuat financial inclusion. Data menunjukkan bahwa 60% pelaku UMKM belum tersentuh pembiayaan formal, sementara lembaga keuangan syariah memiliki keunggulan dalam menyalurkan pembiayaan berbasis nilai kemanusiaan. 

Di bawah koordinasi Menteri Keuangan, integrasi antara fintech syariah, perbankan mikro, dan lembaga keuangan sosial Islam dapat menciptakan ekosistem ekonomi rakyat yang lebih tangguh. Di sinilah Purbaya dapat memainkan peran ganda: reformer ekonomi sekaligus katalis nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik.

Salah satu isu sentral yang sering ditekankan oleh Purbaya adalah keadilan fiskal. Ia menyadari bahwa pembangunan ekonomi yang tidak adil hanya akan memperlebar kesenjangan sosial. Dalam Islam, keadilan bukan sekadar konsep moral, melainkan prinsip kebijakan. 

Zakat, infak, dan wakaf adalah mekanisme redistribusi yang lahir jauh sebelum konsep progressive taxation diperkenalkan dunia Barat. Jika mekanisme sosial Islam ini dapat diintegrasikan secara strategis dengan kebijakan fiskal nasional, maka keadilan ekonomi dapat bergerak dari ruang moral menuju sistemik.

Dalam konteks inilah, Purbaya memiliki peluang besar untuk mewujudkan Fiskal Berbasis Syariah: sistem pengelolaan keuangan negara yang adil, transparan, dan berorientasi pada kesejahteraan umat. 

Misalnya, reformasi subsidi dapat diarahkan agar lebih tepat sasaran dengan menimbang prinsip al-‘adl (keadilan) dan al-maslahah al-‘ammah (kemaslahatan publik). Begitu pula, insentif pajak bagi sektor halal, pertanian berkelanjutan, dan UMKM syariah bisa menjadi strategi fiskal untuk memperkuat ekonomi berbasis nilai.

Jalan menuju reformasi etis tidak mudah. Purbaya akan menghadapi dilema klasik antara idealisme syariah dan realitas politik ekonomi. Setiap kebijakan fiskal menyentuh kepentingan banyak pihak: korporasi, birokrasi, hingga politik anggaran di DPR. 

Untuk menegakkan ekonomi syariah yang adil, Purbaya harus menjaga keseimbangan antara rasionalitas fiskal dan sensitivitas sosial. Ia perlu memastikan bahwa kebijakan tidak hanya pro-pertumbuhan, tetapi juga pro-keadilan. Di sinilah kepemimpinan moral menjadi penting: bagaimana menjadikan keuangan negara bukan sekadar instrumen ekonomi, tetapi sarana ibadah sosial.

Purbaya juga harus memastikan keberlanjutan reformasi fiskal dalam konteks global yang semakin kompleks. Dunia kini bergerak ke arah green economy dan climate finance, di mana ekonomi syariah punya posisi strategis karena prinsipnya yang anti-eksploitasi dan pro-keberlanjutan. 

Kolaborasi antara Kementerian Keuangan, KNEKS (Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah), serta Bank Indonesia menjadi sangat penting untuk mewujudkan integrasi kebijakan yang harmonis.

Purbaya berpeluang besar menjadikan ekonomi syariah sebagai jalan tengah yang relevan bagi Indonesia modern. Kapitalisme sering kali melahirkan kesenjangan; sosialisme kadang menekan kreativitas individu. 

Ekonomi syariah berdiri di tengah: mengakui hak kepemilikan individu, namun menuntut tanggung jawab sosial. Prinsip profit and purpose yang kini populer di dunia bisnis global sesungguhnya telah lama menjadi ruh ekonomi Islam. 

Jika prinsip ini diarusutamakan dalam kebijakan fiskal, Indonesia tidak hanya akan dikenal sebagai negara dengan sistem ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tetapi juga sebagai model ekonomi bermoral yang menjadi inspirasi dunia.

Dalam sejarah Nusantara, istilah Purbaya mengandung makna “yang berasal dari timur”, simbol arah matahari terbit tanda kebangkitan dan harapan. Dalam konteks modern, Purbaya Yudhi Sadewa datang membawa harapan serupa: membangun ekonomi Indonesia yang berakar pada nilai spiritual, berorientasi pada keadilan, dan siap menghadapi tantangan global. Ia tidak hanya melanjutkan warisan teknokratis pendahulunya, tetapi juga mencoba menambahkan sentuhan moral dan nilai kemanusiaan.

Jika Purbaya berhasil mengharmonikan antara disiplin fiskal dan prinsip syariah, maka Indonesia akan menorehkan babak baru dalam sejarah ekonomi dunia: peradaban ekonomi syariah Nusantara. Sebuah peradaban yang tidak sekadar bicara angka, tetapi makna; bukan hanya pertumbuhan, tetapi keberkahan.

Dalam era ketidakpastian global, Indonesia memerlukan pemimpin ekonomi yang tidak hanya cerdas secara teknokratik, tetapi juga bijak secara moral. Purbaya Yudhi Sadewa memiliki dua-duanya. Ia adalah teknokrat dengan hati nurani, ekonom dengan visi peradaban. 

Tantangan ke depan memang berat utang, defisit, tekanan global, dan ketimpangan sosial masih membayangi. Namun bila Purbaya mampu menata kebijakan fiskal dengan semangat maqāṣid al-syarī‘ah, maka keuangan negara tidak lagi sekadar alat stabilisasi, tetapi instrumen tazkiyah: penyucian sistem ekonomi menuju kesejahteraan yang berkeadilan.

Sejarah Nusantara telah membuktikan bahwa setiap peradaban besar lahir dari keseimbangan antara iman dan ilmu, antara nilai dan kebijakan. Dari situlah, Purbaya tidak hanya menjadi nama seorang Menteri Keuangan, melainkan simbol arah baru: dari angka menuju makna, dari kebijakan menuju keberkahan.

 

***

*) Oleh : Agus Arwani, SE, M.Ag., Dosen UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES