TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setiap generasi punya tantangannya sendiri. Dulu, orang tua kita berjuang menaklukkan kerasnya hidup dengan tangan dan keringat. Kini, anak-anak kita justru berjuang melawan derasnya arus digital yang meninabobokan pikiran.
Di era ketika segalanya serba cepat dan instan, muncul satu generasi yang cerdas luar biasa tetapi juga rentan kehilangan arah, Generasi Z.
Advertisement
Gen Z lahir dalam dunia yang sejak awal sudah terkoneksi. Mereka belajar dari YouTube, bersosialisasi lewat TikTok, dan mencari jati diri melalui layar. Di satu sisi, mereka begitu adaptif dan kreatif. Namun di sisi lain, mereka juga menghadapi risiko besar: kehilangan “literasi hati”.
Ia bukan soal kemampuan membaca teks, melainkan membaca makna. Ia bukan sekadar menguasai teknologi, tetapi mampu memahami perasaan orang lain, menimbang baik-buruk, dan memilih dengan nurani. Sayangnya, literasi hati sering tertinggal ketika anak-anak kita sibuk menatap layar tanpa jeda.
Sebagai pendidik di lingkungan SMK, saya sering merenung, bagaimana menumbuhkan karakter di tengah derasnya arus digital? Anak-anak kini lebih cepat memahami algoritma media sosial ketimbang arti tanggung jawab.
Mereka lebih fasih membuat konten ketimbang menyusun kata maaf. Dunia digital telah memberi ruang ekspresi luas, tapi kadang membuat mereka lupa pada batas etika.
Teknologi seharusnya menjadi alat, bukan tuan. Namun faktanya, banyak remaja kini menjadi “budak notifikasi” gelisah jika tak membuka ponsel, cemas jika tak mendapat likes, dan bangga jika viral. Di sinilah tugas besar pendidikan: mengembalikan keseimbangan antara kecerdasan otak dan kecerdasan hati.
Di sekolah, kami mencoba memulai dari hal sederhana, membiasakan siswa saling menyapa, mendengarkan tanpa menghakimi, dan belajar bekerja sama.
Kami ajak mereka berdiskusi tentang nilai, bukan hanya angka. Kami dorong mereka berani berbuat baik tanpa perlu direkam kamera. Sebab sejatinya, karakter tidak lahir dari hafalan, tapi dari kebiasaan.
Pendidikan karakter di era digital tidak bisa lagi mengandalkan ceramah moral semata. Ia butuh keteladanan nyata. Guru yang sabar, lingkungan yang hangat, dan komunikasi yang tulus. Sebab, di tengah riuhnya dunia maya, anak-anak kita sangat butuh tempat untuk merasa “dipahami”.
Tentu, kita tidak bisa menolak kemajuan teknologi. Tapi kita bisa menuntun arah penggunaannya. Biarlah anak-anak kita menjadi generasi yang cakap digital, tapi juga bijak dalam emosi. Biarlah mereka mahir dengan teknologi, tapi tetap berpegang pada nilai kemanusiaan.
Masa depan bangsa ini tidak hanya ditentukan oleh seberapa cepat mereka menguasai kecerdasan buatan, tapi seberapa dalam mereka memahami hati manusia. Di sanalah, tugas para pendidik, orang tua, dan kita semua: menjaga agar literasi hati tak tergulung oleh arus teknologi.
***
*) Oleh : Iryanis, S.E., S.Pd, Kepala Sekolah SMK Budi Asih, Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Hainorrahman |
| Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |