Kopi TIMES

Ketika Hujan Membawa Plastik: Krisis Senyap yang Menguji Negara

Jumat, 07 November 2025 - 12:42 | 5.49k
Choirul Anam, SE, SH, ME, Ak, CA, PhD, Koodinator PPI Dunia 20/21, PhD Charles University, Alumnus Ponpes Asshomadiyah, Burneh, Bangkalan.
Choirul Anam, SE, SH, ME, Ak, CA, PhD, Koodinator PPI Dunia 20/21, PhD Charles University, Alumnus Ponpes Asshomadiyah, Burneh, Bangkalan.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Hujan yang turun di atas Jakarta kini bukan lagi sekadar air yang menyegarkan bumi. Ia membawa partikel-partikel plastik yang melayang dari jalanan, laut, hingga pakaian yang kita kenakan. Mikroplastik kini turun bersama hujan — dan ironisnya, kita nyaris tak menyadarinya.

Temuan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bersama Institut Pertanian Bogor (IPB) menunjukkan adanya partikel mikroplastik dalam air hujan di wilayah Jabodetabek. Fenomena ini bukan lokal. Riset internasional yang dimuat dalam Science of the Total Environment (2023) menegaskan bahwa mikroplastik kini telah menjadi “komponen atmosferik baru” yang menyebar global. Artinya, udara yang kita hirup dan air yang kita gunakan kini mengandung polimer buatan manusia — bahan yang tak pernah dirancang untuk bersatu dengan tubuh biologis kita.

Advertisement

Krisis Senyap Kesehatan Publik

Sebagian besar publik belum menyadari bahwa mikroplastik bukan hanya isu lingkungan, tetapi juga ancaman kesehatan jangka panjang. Partikel ini berukuran sangat kecil, bahkan nanoplastik mampu menembus sistem pernapasan dan sirkulasi darah manusia.

Penelitian yang dimuat di Environmental Pollution (2022) menemukan mikroplastik dalam paru-paru dan darah manusia. Dampaknya antara lain peradangan kronis, gangguan hormon, hingga potensi karsinogenik akibat bahan kimia tambahan seperti bisfenol-A dan ftalat. Paparan jangka panjang dapat memicu reaksi imun tubuh yang menyerupai infeksi permanen.

Dalam konteks Indonesia, ini harus dibaca sebagai alarm kesehatan publik. Kita berhadapan dengan polusi yang tak hanya mencemari lingkungan, tetapi perlahan menyerang tubuh setiap warga. Jika negara diam, maka diam itu sama artinya dengan membiarkan rakyatnya sakit perlahan.

Konstitusi dan Tanggung Jawab Negara

Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pasal 34 ayat (3) menegaskan tanggung jawab negara dalam penyediaan fasilitas kesehatan dan jaminan sosial yang layak.

Artinya, kebijakan lingkungan dan kesehatan bukanlah kebaikan sukarela pemerintah, melainkan kewajiban konstitusional. Ketika udara dan air tercemar mikroplastik, negara wajib memastikan sistem pengawasan, pencegahan, dan pemulihan berjalan efektif.

Sayangnya, kebijakan nasional masih reaktif dan parsial. Regulasi pengurangan plastik sekali pakai memang ada, tetapi belum menyentuh akar persoalan: tanggung jawab produsen, sistem daur ulang nasional, dan pengawasan lintas sektor yang berbasis data ilmiah.

Regulasi yang Tertinggal dari Realitas

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah masih menempatkan tanggung jawab utama di tingkat pemerintah daerah, bukan pada produsen yang menghasilkan limbah. Padahal, pendekatan modern di Uni Eropa dan Korea Selatan menekankan Extended Producer Responsibility (EPR) — mekanisme yang mewajibkan produsen menanggung biaya daur ulang produknya hingga akhir siklus hidup.

Riset Journal of Cleaner Production (2021) menunjukkan penerapan EPR dapat menurunkan emisi limbah plastik hingga 45% dalam lima tahun. Di Indonesia, konsep ini baru sebatas jargon, belum menjadi sistem yang mengikat hukum atau terintegrasi dengan kebijakan fiskal.

Lebih parah lagi, kita belum memiliki sistem pemantauan mikroplastik nasional. Tanpa data, tidak ada dasar kebijakan yang kuat. Dan tanpa kebijakan berbasis data, kita hanya menebak-nebak risiko sambil membiarkan generasi mendatang hidup dalam atmosfer plastik.

Negara Harus Hadir Berdasarkan Bukti

Krisis mikroplastik harus direspons melalui kebijakan lintas sektor yang berbasis bukti ilmiah.

Pertama, pemerintah perlu membangun jaringan pemantauan nasional untuk mendeteksi mikroplastik di udara, air, dan tanah. BRIN, Kemenkes, dan KLHK harus berkolaborasi dalam sistem terbuka yang datanya dapat diakses publik. Transparansi adalah kunci akuntabilitas.

Kedua, tegakkan prinsip polluter pays dengan memberi insentif bagi produsen yang beralih ke bahan biodegradable dan sanksi bagi yang tidak mematuhi. Integrasikan prinsip ekonomi sirkular ke dalam kebijakan fiskal, investasi, dan industri melalui penerapan EPR yang mengikat hukum.

Ketiga, integrasikan kesehatan lingkungan ke dalam kebijakan kesehatan nasional. Mikroplastik perlu dimasukkan dalam daftar faktor risiko penyakit pernapasan dan metabolik yang diawasi Kemenkes.

Keempat, bangun edukasi publik jangka panjang. Polusi plastik adalah persoalan struktural sekaligus kultural. Masyarakat harus sadar bahwa setiap konsumsi plastik adalah kontribusi terhadap polusi yang mereka hirup sendiri.

Kelima, dorong kerja sama riset internasional. Polusi atmosferik tidak mengenal batas negara; Indonesia harus menjadi bagian dari jaringan global pengawasan mikroplastik, bukan sekadar penerima dampak.

Dari Pinggiran ke Pusat Kebijakan

Sudah saatnya kebijakan kesehatan lingkungan ditempatkan di jantung pembangunan nasional. Mikroplastik adalah simbol kegagalan sistemik — ketika industri berproduksi tanpa kendali, regulasi berjalan tanpa pengawasan, dan masyarakat hidup dalam ilusi kebersihan.

Masalahnya bukan kurangnya riset, melainkan jarak antara pengetahuan dan kebijakan. Ketika hasil riset BRIN hanya menjadi arsip ilmiah tanpa diterjemahkan menjadi kebijakan konkret, ilmu kehilangan daya ubahnya.

Dan di titik inilah negara diuji: apakah akan menunda, atau menegakkan mandat konstitusional untuk menjamin lingkungan yang sehat bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kita tak bisa memilih berhenti bernapas, tetapi kita bisa menuntut negara menjamin udara yang layak dihirup. Kita tak bisa menolak hujan, tetapi kita bisa menolak diamnya kebijakan publik.

Dalam setiap tetes hujan yang membawa plastik, ada pertanyaan mendasar yang menggema: Apakah negara benar-benar hadir untuk melindungi rakyatnya? (*)

***

*) Oleh: Choirul Anam, SE, SH, ME, Ak, Ph.D., CA, ChFA, CIISA, CHRA, CSBA, Peneliti Kebijakan Publik, alumnus Charles University.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES