Kopi TIMES

Dari Papan Reklame ke Caption Media Digital

Jumat, 07 November 2025 - 14:12 | 14.08k
Angga T. Sanjaya, Pengajar Linguistik Terapan di Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD, lahir di Wonosari, Gunungkidul.
Angga T. Sanjaya, Pengajar Linguistik Terapan di Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD, lahir di Wonosari, Gunungkidul.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Dalam lanskap dunia digital, hari ini kita melihat bahasa layaknya kendaraan-kendaraan kecil yang merayap ke tengah perkotaan. Di kota itulah, mirip dengan anasir Ludwig Wittgenstein dalam Philosophical Investigations, bahasa memasuki permainan bahasa yang bergeliat dalam pasar linguistis. 

Jika Wittgenstein membuat metafora kota kuno, maka dalam arus kota urban, bahasa dipaksa untuk menjadi bagian jalan dan persimpangan bagi yang kuno sekaligus yang modern. Menjadi kesatuan lanskap baru yang serba dinamis, efisien, dan pragmatis. 

Advertisement

Alhasil, bahasa yang dahulu bertebaran di lanskap publik semacam alun-alun atau papan di area lampu merah, kini mengalami migrasi menuju kota dunia maya. Berbagai iklan dan slogan pada spanduk dan baliho, menjelma permainan bahasa dalam perangkap unggahan dan bio di media sosial. 

Orang-orang lantas terbiasa mengirim unggahan dalam status pribadinya. Dari anekdot, kemarahan, dan kesedihan hingga hal-hal yang menyentuh content marketing semacam iklan dari bisnis yang dijalankan. 

Begitu juga untuk urusan personal branding, kita kini dapat meringkas identitas diri di kolom kecil, dipadatkan dalam satu baris kalimat, satu emoji, atau satu tagar yang terus diperbarui. Ruang publik yang terperangkap dalam tembok kota, kini dapat terbang bebas dalam hembusan udara internet dan algoritma. 

Di titik ini, lanskap linguistik telah menemukan dunia baru, suatu medium yang lebih lluas, namun sekaligus liar dan tak terkendali. Papan reklame yang sebelumnya hanya terbatas pada satu area geografi, sekarang bahkan mampu berlayar bak perahu di lautan digital. 

Landry dan Bourhis melalui “Linguistic Landscape and Ethnolinguistic Vitality” (1997) menjadi proponen dari kajian mengenai lanskap linguistik. Mula-mula mereka mengorientasikan sebagai visibilitas bahasa; semacam rambu jalan umum, papan reklame, nama jalan, rambu toko komersial, dan rambu umum, pada tanda-tanda publik dan komersial di suatu wilayah atau kawasan. 

Akan tetapi, dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, realitas virtual, dan teknologi lainnya telah memungkinkan orang untuk memperluas pemahaman mereka tentang kultur sosial dari “ruang nyata” ke “ruang virtual”. 

Dari anasir ini, lanskap linguistik digital memberi distingsi yang signifikan dari papan tanda tradisional. Lanskap linguistik dengan kombinasi multimoda suara, gambar, citra, dan warna telah menjadi bentuk ekspresi yang muncul pada spektrum elektronik, budaya populer, dan Internet.

Lantas, yang menarik dari pergeseran ruang ini adalah kemampuan kita untuk membaca kondisi dan tantangan yang dihadapi oleh lanskap linguistik itu sendiri. Bagaimana pun, lanskap linguistik bukan hanya sekedar pemakaian bahasa, lebih jauh, ia juga bekerja dalam mekanisme simbol identitas kultural dan kekuasaan. Dengan demikian, kita dapat membangun diskursus, dalam lautan modernisasi, di mana lanskap linguistik berpijak? 

Lanskap linguistik sejatinya berpijak pada dua jenis fungsi utama, yaitu informatif dan simbolis. Fungsi pertama merujuk pada tanda-tanda bahasa sebagai batas-batas wilayah yang dihuni oleh suatu kelompok linguistik di wilayah tertentu. Sedangkan, fungsi simbolis mengacu pada persepsi yang dimiliki anggota suatu kelompok bahasa tentang nilai dan status bahasa mereka dibandingkan dengan bahasa lain.

Dengan ekspansi digitalisasi, lanskap linguistik menemukan kekacauan dalam mengakomodir kesatuan tujuan tersebut. Sekalipun beberapa peneliti menganggap lanskap linguistik siber sebagai subarea inovatif dari lanskap linguistik digital. Namun, kesulitasn segera muncul ketika kita membawa indikator batas geografis yang sebelumnya memegang unsur sentral dalam kategori lanskap linguistik lama. 

Bahasa Indonesia dan berbagai bahasa lain, dari bahasa daerah dan bahasa asing macam Korea dan Inggris, dapat begitu saja hadir tanpa pembatas dan sekat wilayah. Interaksi dan kontak bahasa kian masif dan liar. 

Alhasil, kedua fungsi yang dikemas mendadak rapuh. Lokalitas tak akan mudah dibaca dari bahasa, siapa, dan daerah mana si pengguna berasal. Secara konkrit, caption dan komentar tak lagi menjadi representasi geografi sosial, melainkan terlempar pada afiliasi simbolik. 

Dalam situasi itu, seorang pengguna bahasa yang menulis secara campur kode antara bahasa Indonesia dan bahasa asing, tidsak sekedar bergerak secara verbal, namun sekaligus menyentuh konsekuensi perubahan identitas sosial.

Di tahap ini, lanskap linguistik tak lagi dapat secara kuat menyentuh kultural dalam suatu wilayah, namun telah bergeser pada tataran kelas sosial dan gaya hidup. 

Pengalaman lanskap linguistik yang dimaksudkan oleh Landry dan Bourhis, terhadap anggota suatu kelompok bahasa untuk menggambarkan aspek psikologis sosial perkembangan dwibahasa, akan lebih subjektif dan personal, alih-alih komunal.

Di media sosial misalnya, kita bisa menganggap bahwa bahasa diterapkan oleh setiap subjek secara individual. Dampak dwibahasa atau multibahasa bukan lagi perkara kelompok masyarakat secara geografis. Bahasa Indonesia dan bahasa asing, bahasa gaul, dan penetrasi emoji bisa saja digunakan berdampingan oleh dua orang atau lebih yang tidak terikat secara geografis. 

Inilah aspek induktif yang dapat kita miliki, bahwa lanskap linguistik menabrak batas karakteristik penggunaan bahasa oleh kelompok sosial dalam suatu wilayah menuju pada identitas dan kelas sosial secara dispersif. 

Kembali pada media sosial. Kedwibahasaan yang muncul sebagai interaksi yang tak terkendali dapat menunjukkan suatu register bahasa yang kompleks. Bentuk tuturan, “Gasskuen, mari kita healing,” yang dituliskan di caption Instagram atau cuitan di platform X, “Bundir akibat bullying, save Timothy,” menjadi panorama dapat dengan mudah kita jumpai. 

Bahkan hal-hal yang secara ketat berhubungan dengan lanskap kultural Jawa, seperti “The House of Raminten”, “Nyah Ti”, “Waroeng Mbah Jingkrak”, dan sebagainya, menjadi penanda kian kompleks dan eklektisnya identitas dan kelas sosial yang coba dibagun oleh pengguna. 

Hal ini akan lebih rumit lagi ketika kita melihat slogan-slogan dan iklan berseliweran dengan mengakomodasi kombinasi bahasa di media digital. Kita hampir kesulitan untuk memberikan batas-batas formal dan kategori bahasa secara geografis. 

Lebih-lebih antitesa muncul ketika kita bergerak pada lanskap linguistik yang muncul pada wilayah kelembagaan. Bahasa yang baku dan tertata akan segera muncul sebagai representasi akun resmi pemerintahan. Seruan, “Mari kita tingkatkan literasi digital” atau “Mari gunakan hak pilih Anda dalam pemilu dan pilkada”, menjadi ruang diametral yang kian berjarak. 

Realitas ini menjadi penanda bahwa pemakaian bahasa bergeser pada masalah kelas sosial dan identitas sosial yang heterogen. Fungsi lanskap linguistik tidak hanya menyentuh pada aglomerasi perkotaan tertentu, melainkan pada kemampuannya untuk mencerminkan tren pasar dan kondisi sosial terkini, serta representasi hotspot tren sosial paling mutakhir.

Hierarki Baru dan Kapitalisme Bahasa di Ruang Digital

Masalah linguistik yang muncul di sini adalah ketimpangan representasi simbolik bahasa. Bahasa Indonesia baku kehilangan prestise simbolik-nya di ruang digital karena kalah oleh kecepatan, keluwesan, dan daya jual bahasa hibrida. Dalam bentuk yang lain, penggunaan bahasa daerah ditepikan dua kali oleh bahasa formal dan bahasa baru di ruang digital. 

Hal ini membawa konsekuensi terhadap terbentuknya suatu hierarki simbolik yang lebih kompleks dari sekedar dualitas ragam tinggi dan ragam rendah yang selama ini diyakini oleh para pemerhati sosilinguistik. 

Di satu bagian, bahasa Inggris menunjukkan kapasitas prestise global, di bagian kedua, bahasa baru berupa bahasa gaul maupun campur kode menjadi lanskap identitas urban digital, sedangkan bahasa daerah menduduki ruang yang diketepikan pada ranah nostalgia dan komoditas budaya. Lalu yang terakhir, bahasa Indonesia berada dalam ruang eksklusif sebagai simbol formalitas institusional.

Berdasarkan anasir kategorial tersebut, kita dapat menarik perspektif Landry dan Bourhis sampai batasnya, bahwa simbolitas bahasa telah melampaui fungsi informatif. Bahasa tak lagi mampu menunjukkan atributifnya pada siapa dan dalam konstruksi wilayah mana pengguna berasal. Selebihnya, bahasa menjadi kombinasi hibriditas kultural yang bergerak dalam logika bisnis, keuangan, dan hiburan secara eksploratif.

Dalam kostruksi situasi demikian, bahasa menjadi objek komodifikasi, suatu entitas baru yang turut diperjual-belikan. Pasar linguistik bergerak pada popularitas dan viralitas guna memenuhi konfigurasi ekonomi digital. 

Konsekeunsinya, kita cenderung ambivalen dalam memperlakukan bahasa Indonesia. Di satu sisi bahasa Indonesia menjadi bahasa nasional dan persatuan, namun kita tidak dapat menampik bahwa kedudukannya kini justru kian menjauh dari para penggunanya. 

Bahasa Indonesia “standar” sering kali dianggap terlalu birokratis atau tidak “trendi”, sehingga pengguna media sosial cenderung memilih bahasa campuran Indonesia–Inggris atau gaya tutur “gaul” agar terlihat modern, cerdas, atau connected.

Meski demikian, kita patut mendudukan situasi lanskap linguistik secara optimistik. Di balik kekacauan itu, ada dinamika yang justru memperkaya ekosistem bahasa. Bahasa tidak mati; ia beradaptasi, berbaur, dan mencipta makna baru. Setiap tagar, setiap caption, setiap frasa yang lahir dari percakapan digital adalah bagian dari lanskap linguistik baru Indonesia.


***

*) Oleh : Angga T. Sanjaya, Pengajar Linguistik Terapan di Prodi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Budaya dan Komunikasi, UAD, lahir di Wonosari, Gunungkidul.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES