TIMESINDONESIA, MALANG – Merdeka bukan sekadar kata yang dielu-elukan setiap 17 Agustus. Ia adalah sikap batin, keberanian untuk berpikir dan bertindak di luar ketakutan yang mengekang nurani.
Di tengah hiruk-pikuk zaman yang serba dikendalikan algoritma dan opini publik yang dibentuk oleh arus besar media sosial, menjadi manusia merdeka hari ini adalah tindakan paling revolusioner.
Advertisement
Kita hidup di era yang disebut “bebas,” tapi sejatinya banyak yang tidak benar-benar merdeka. Banyak yang pikirannya disandera oleh popularitas, pandangannya dikendalikan oleh arus mayoritas, dan hatinya dibungkam oleh ketakutan sosial.
Di dunia yang katanya demokratis, keberanian untuk berpikir berbeda sering kali dihakimi. Maka, manusia merdeka bukan lagi soal siapa yang berani melawan penjajahan fisik, tetapi siapa yang berani melawan penjajahan batin dan sistem yang membuat manusia kehilangan dirinya sendiri.
Menjadi manusia merdeka berarti berani mempertanyakan, bahkan terhadap hal-hal yang dianggap mapan. Kita melihat bagaimana sebagian orang tunduk pada kekuasaan, bukan karena setuju, tapi karena takut kehilangan kenyamanan.
Mereka diam terhadap ketidakadilan karena khawatir kehilangan posisi, akses, atau pengakuan. Padahal, di situlah letak ujian sejati dari kemerdekaan: ketika seseorang tetap memilih kebenaran, meski ia berdiri sendirian.
Dalam kehidupan sosial-politik kita, “kemerdekaan berpikir” kerap tereduksi oleh kepentingan. Banyak yang pintar, tapi tak berani. Banyak yang tahu salah, tapi memilih bungkam. Padahal, bangsa ini tidak pernah lahir dari sikap diam. Ia lahir dari keberanian dari pikiran dan tindakan yang menantang arus kekuasaan kolonial, feodalisme, hingga tirani.
Bung Karno pernah berkata, “Bangunlah dunia di mana semua bangsa hidup dalam damai dan kemerdekaan.” Tapi bagaimana mungkin itu terwujud jika warganya sendiri enggan membebaskan pikirannya?
Menjadi manusia merdeka hari ini bukan sekadar menolak penjajahan luar, tetapi juga penjajahan dalam diri sendiri. Penjajahan oleh rasa takut, oleh kerakusan, oleh kepura-puraan yang kian menjadi budaya.
Kita terjebak dalam ilusi kesuksesan yang diukur oleh likes dan followers, bukan lagi oleh nilai dan integritas. Maka, keberanian untuk menjadi manusia merdeka dimulai dari keberanian untuk jujur pada diri sendiri.
Lihatlah fenomena sosial yang berkembang. Betapa banyak anak muda yang kehilangan arah karena terus-menerus dibandingkan, ditekan untuk seragam, dan dinilai dari hasil bukan proses.
Kemerdekaan sejati adalah ketika seseorang bisa tumbuh menjadi dirinya sendiri, bukan menjadi cermin dari ekspektasi orang lain. Sekolah, kampus, bahkan ruang kerja seharusnya menjadi tempat tumbuhnya kebebasan berpikir bukan sekadar ruang produksi kepatuhan.
Kemerdekaan berpikir juga berarti berani berbeda tanpa merasa harus benar sendiri. Ia bukan bentuk arogansi, tapi kejujuran intelektual. Ia menuntut kedewasaan untuk menghormati pandangan lain tanpa kehilangan prinsip. Dalam dunia yang kian terpolarisasi, manusia merdeka justru menjadi jembatan bukan tembok. Ia berpihak pada kemanusiaan, bukan pada kepentingan.
Namun menjadi manusia merdeka juga tidak mudah. Sebab, kemerdekaan selalu datang bersama tanggung jawab. Ketika kita bebas berpendapat, kita juga wajib berpikir jernih dan berbicara dengan etika.
Ketika kita bebas bertindak, kita harus sadar bahwa kebebasan kita berhenti di titik kebebasan orang lain dimulai. Inilah yang sering dilupakan. Banyak yang mengaku bebas, tapi lupa menghormati batas moral dan nilai sosial.
Dalam konteks kebangsaan, manusia merdeka adalah warga negara yang sadar dan kritis, bukan yang apatis. Ia berani menegur pemerintah yang lalai, tapi juga mau berkontribusi untuk solusi. Ia tak hanya menuntut perubahan, tapi menjadi bagian dari perubahan itu sendiri.
Kini, di tengah derasnya arus informasi dan derasnya kepentingan yang membungkus kebenaran, kita memerlukan lebih banyak manusia merdeka mereka yang berpikir jernih, bertindak tulus, dan berani jujur meski tak populer. Karena bangsa yang besar bukan dibangun oleh orang pandai semata, tapi oleh orang merdeka yang berani berkata “tidak” pada kebohongan, dan “ya” pada nurani.
Maka, pertanyaannya bukan lagi: “Apakah kita sudah merdeka sebagai bangsa?” tetapi “Apakah kita sudah merdeka sebagai manusia?”
***
*) Oleh : Moh. Farhan Aziz, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik DPD LIRA Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Hainorrahman |
| Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |