Membaca Semangat 10 November dari Sejengkal Tanah Tolstoy
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Di sebuah pagi musim semi Rusia abad ke-19, Leo Tolstoy menulis kisah pendek yang sederhana tapi menusuk batin: How Much Land Does a Man Need? Berapa Luas Tanah yang Dibutuhkan Seorang Manusia?Tokohnya, seorang petani bernama Pahom, hidup biasa-biasa saja. Ia punya rumah kecil, ladang gandum, dan keluarga yang cukup. Hidupnya tentram, sampai satu kalimat mengubah segalanya.
“Andai aku punya banyak tanah, pada Iblis pun aku takkan gentar,” katanya pongah. Kalimat itu terdengar sepele, tapi bagi Tolstoy, itulah awal kejatuhan manusia. Pahom mulai membeli tanah, menambah sedikit demi sedikit, namun tak pernah merasa cukup.
Advertisement
Ketika mendengar ada suku di ujung negeri yang menjual tanah dengan harga yang sangat murah, ia berangkat, tergiur janji luas tanpa batas. Syaratnya: ia boleh memiliki sejauh apa pun langkah yang mampu ditempuh dari matahari terbit hingga tenggelam. Tapi bila tak kembali ke titik awal sebelum senja, ia kehilangan segalanya.
Pahom berlari, menembus bukit dan padang. Ia ingin mendapat lebih, sedikit lagi, lalu sedikit lagi. Tapi sebelum mencapai garis akhir, tubuhnya ambruk. Mati. Kemudian sebuah kubur digali untuk membaringkan tubuh Pahom, “Dua meter dari kepala sampai ujung kaki adalah tanah yang ia butuhkan.” tulis Tolstoy. Dan itulah semua tanah yang dibutuhkan seorang manusia.
Memaknai Tanah Air
Membaca Tolstoy di bulan November, ingatan kita melayang ke peristiwa pertempuran 10 November 1945, kala para pemuda bergolak mempertahankan tanah Surabaya.
Peristiwa itu, Surabaya menjadi medan tempur paling heroik pasca-Proklamasi. Pasukan Inggris yang datang di bawah bendera Sekutu, membawa misi mengamankan tawanan perang Jepang. Tapi di balik itu, terselip niat Belanda untuk kembali berkuasa melalui NICA. Rakyat Surabaya menolak. Insiden penurunan bendera Belanda di Hotel Yamato memicu ledakan amarah yang tak terbendung.
Pertempuran pun pecah. Pesawat Inggris mengebom dari udara, kapal-kapal perang menembaki dari laut, dan ribuan tentara bersenjata lengkap menyerbu dari darat. Dalam tiga minggu pertempuran, lebih dari enam ribu warga gugur. Tapi dari darah mereka, lahirlah makna sejati dari kata tanah air.
Tanah dalam peristiwa itu bukan sekadar wilayah. Ia adalah ruang hidup, kehormatan, dan simbol keberadaan sebuah bangsa. Para pejuang tidak sedang memperebutkan lahan, tetapi menolak direbut dari tempat berpijak mereka sendiri. Dalam arti yang paling dalam, mereka sedang menolak bentuk baru dari perbudakan, bukan lagi atas tubuh, tapi atas tanah.
Pada masa kolonial, tanah memang menjadi pangkal dari segala penaklukan. Bangsa-bangsa Eropa datang membawa senjata, juga peta, ukuran, dan hukum milik mereka sendiri. Mereka menggambar ulang kepemilikan atas bumi yang sebelumnya dikelola rakyat dengan cara gotong royong.
Lahan yang dulunya milik bersama tiba-tiba berubah menjadi “milik negara jajahan” atau “tanah partikelir.” Dari situlah muncul sistem tanam paksa dan perkebunan besar, di mana rakyat bekerja di tanahnya sendiri namun tak lagi berdaulat atas hasilnya.
Kolonialisme, dalam makna yang lebih luas, adalah perampasan hak manusia atas tanah-sumber hidup yang paling dasar. Ia bukan hanya menjajah tubuh, tapi juga memisahkan manusia dari bumi yang memberi makan dan makna. Begitu tanah direbut, manusia kehilangan dirinya.
Kisah Tolstoy tentang Pahom terasa seperti alegori atas sejarah panjang itu. Seorang petani yang berlari tak henti untuk memiliki tanah lebih banyak, sampai akhirnya mati di atas tanah yang ingin dikuasainya.
Ia menggambarkan dengan sederhana bagaimana nafsu memiliki bisa berubah menjadi bentuk perbudakan yang baru. Bukan lagi penjajahan oleh bangsa lain, melainkan oleh keinginan manusia itu sendiri.
Dalam konteks itu, 10 November bisa dibaca sebagai momen pembalikan: saat rakyat yang tertindas selama berabad-abad akhirnya berkata “cukup.” Mereka tidak ingin lagi diperintah, diukur, dan diatur oleh kekuasaan asing atas tanah yang mereka cintai. Namun kini, delapan puluh tahun kemudian, pertanyaan yang sama muncul kembali dalam wujud yang berbeda. Siapa yang sebenarnya memiliki tanah hari ini?
Rakyat kecil sering kali masih terusir oleh proyek-proyek yang mereka sebut Proyek Strategis Nasional, Objek Vital Negara dan sebagainya. Sawah berubah menjadi pabrik, hutan menjadi kebun juga tambang.
Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan, pada 2023 saja terjadi lebih dari 200 konflik agraria di Indonesia, sebagian besar melibatkan benturan antara warga lokal dan korporasi besar.
Kenyataan ini terasa ironis seolah melupakan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa tujuan negara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.
Tumpah darah itu merujuk pada tanah tempat rakyat berpijak, bekerja, dan menanam masa depannya. Artinya, melindungi rakyat berarti juga melindungi tanahnya, memastikan setiap jengkal bumi ini hanya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Para pendiri bangsa memahami benar makna “tanah air.” Mereka menyadari, tanah bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga sumber kebanggaan dan identitas. Karena itu, kemerdekaan tidak berhenti pada pengibaran bendera, melainkan terus hidup dalam perjuangan menjaga agar tanah air tidak kembali dikuasai oleh segelintir pihak, entah melalui penjajahan bersenjata atau mekanisme ekonomi yang menindas.
Luka di Tanah yang Diperebutkan
Sejarah menunjukkan, perebutan tanah jarang berakhir damai. Dari imperialisme Eropa yang menjajah Asia dan Afrika, hingga kolonialisme modern yang kini bertopeng dalam ekspansi ekonomi, perampasan lahan, hingga pendudukan bersenjata. Di Gaza, tanah kembali menjadi alasan penderitaan itu.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (OCHA) mencatat, sejak Oktober 2023 hingga pertengahan 2024, lebih dari 37.000 warga Palestina tewas, termasuk ribuan anak-anak.
Wilayah itu kini rata dengan tanah, sementara lebih dari 1,9 juta orang terpaksa mengungsi dari rumahnya sendiri. Semua berawal dari soal yang sama: siapa yang berhak atas tanah, dan siapa yang berkuasa atasnya.
Di Gaza, seperti halnya di Surabaya 1945, tanah menjadi alasan orang hidup dan mati. Bedanya, yang satu melawan penjajahan demi kemerdekaan, yang lain masih terperangkap di bawah bayang-bayang pendudukan. Namun keduanya berawal dari hal yang sama yakni siapa yang berhak atas tanah, dan siapa yang berkuasa atasnya.
Dalam perebutan itu, batas antara “pertahanan” dan “pendudukan” kian kabur. Dunia menyaksikan, namun diam seperti menyetujui bahwa tanah bisa dijadikan dalih untuk memusnahkan manusia.
Dalam peristiwa Surabaya 10 November 1945, semangat mempertahankan tanah bukan hanya soal cinta kepada tanah air, tetapi juga panggilan iman. Dari Resolusi Jihad yang dikumandangkan oleh para ulama, menyeru agar segenap bangsa bangkit mempertahankan tanah air dari penjajah, lahir kesadaran bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari keimanan “hubbul wathan minal iman”. Untuk itu, nilai yang sama seharusnya pula menghidupi perjuangan rakyat Palestina hari ini.
Kondisi Palestina hari ini seolah mengulang kisah Pahom dalam cerita Tolstoy, manusia yang berlari tanpa henti untuk memiliki lebih banyak tanah, percaya bahwa luas kepemilikan berarti kemenangan.
Di bawah dalih “tanah leluhur”, ambisi itu menjelma menjadi tragedi kemanusiaan. Mungkin, Benjamin Netanyahu lupa bahwa pada akhirnya, ia hanya butuh dua meter tanah untuk kuburannya.
Dua Meter Tanah dan Rasa Cukup
Tolstoy menulis cerita Pahom di tengah Rusia yang terbelah antara bangsawan pemilik tanah dan rakyat tani yang diperbudak sistem feodal. Ia tahu, keadilan bukan hanya perkara moral, tapi ruang hidup yang nyata.
Dalam masyarakat agraris seperti Indonesia, pesan itu tak lekang sebab tanah adalah kehidupan. Namun selama ia dianggap komoditas, konflik takkan berakhir.
Pahom, dalam keserakahannya, seolah cermin zaman ini manusia berlari tanpa tahu garis akhirnya. Tolstoy menertawakan ironi itu, yang pada akhirnya, manusia hanya butuh dua meter tanah. Sama seperti sebuah pesan bahwa dari tanah kita datang, ke tanah pula kita kembali.
Di peringatan Hari Pahlawan, kisah Tolstoy menjadi pengingat yang pahit tapi jujur. Bahwa tanah air bukan milik yang bisa dijual, melainkan amanah yang harus dijaga. Bahwa kemerdekaan sejati bukan tentang seberapa luas yang kita kuasai, tetapi seberapa dalam kita mencintai tanah tempat kita berpijak.
Barangkali, jika Pahom lahir di Surabaya 1945, ia takkan berlari untuk membeli tanah, tapi berdiri untuk mempertahankannya. Dan mungkin, di situlah letak perbedaan antara manusia yang serakah dan manusia yang merdeka.
Pada akhirnya, seperti Pahom, kita semua akan berakhir di dua meter tanah yang sama. Dan mungkin, makna sejati dari merdeka adalah ketika manusia berhenti merasa perlu menguasai segalanya. Bagaimana Pendapat Anda?
***
*) Oleh : Prof. Dr. Hufron., S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Hainorrahman |
| Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |