Kopi TIMES

Guru yang Terus Bertumbuh

Minggu, 09 November 2025 - 17:03 | 1.37k
Mochammad Fuad Nadjib, Penghulu Kantor Kementrian Agama Kabupaten Sidoarjo dan Kepala Madrasah Diniyah Takmiliyah al-Maidah Durungbedug.
Mochammad Fuad Nadjib, Penghulu Kantor Kementrian Agama Kabupaten Sidoarjo dan Kepala Madrasah Diniyah Takmiliyah al-Maidah Durungbedug.

TIMESINDONESIA, SIDOARJO – Sejak Indonesia merdeka, sistem pendidikan kita telah berganti kurikulum tidak kurang dari dua belas kali. Mulai dari Rentjana Pelajaran 1947, Rentjana Terurai 1952, Rentjana Pendidikan 1964, hingga Kurikulum Merdeka hari ini. 

Setiap perubahan selalu membawa semangat baru: menyesuaikan arah pendidikan dengan perkembangan zaman, teknologi, dan kebutuhan sosial masyarakat. Namun, di balik idealisme itu, ada satu pola lama yang belum berubah ketidaksiapan sumber daya manusia dalam menghidupi ruh kurikulum itu sendiri.

Advertisement

Kita sering sibuk membenahi dokumen dan sistem, tapi lupa membenahi pelaku utamanya: guru. Pergantian kurikulum yang terlalu cepat kerap membuat guru terjebak pada rutinitas administratif ketimbang pendalaman makna pendidikan. Akibatnya, tujuan mulia setiap kurikulum sering berhenti di atas kertas, tak sampai menjadi kebiasaan belajar di ruang kelas.

Ambil contoh Kurikulum Merdeka. Filosofinya sangat progresif menumbuhkan kreativitas dan memerdekakan cara belajar murid. Tapi di lapangan, belum semua guru memahami semangat di balik konsep ini. 

Banyak yang masih terjebak pada metode lama, sekadar mengganti istilah tanpa mengubah pendekatan. “Merdeka belajar” akhirnya menjadi jargon yang indah tapi kehilangan ruh jika guru tak ikut merdeka berpikir.

Kini, di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto (2024–2029), Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti memperkenalkan gagasan Pembelajaran Mendalam (Deep Learning). 

Pendekatan ini menekankan makna, relevansi, dan kedalaman pemahaman bukan sekadar hafalan. Bukan kurikulum baru, tapi arah baru untuk menumbuhkan guru yang reflektif dan pembelajar.

Namun, pertanyaan mendasarnya tetap sama: yang perlu dibenahi itu kurikulumnya, atau gurunya? Sebab, sehebat apa pun rancangan sistem, jika tidak dijalankan oleh guru yang kompeten dan berjiwa pendidik, hasilnya akan tetap datar.

Al-Qur’an memberi pelajaran indah tentang urutan prioritas pendidikan. Dalam Surah Ar-Rahman disebutkan: "Yang Maha Pengasih, telah mengajarkan Al-Qur’an".

Kasih sayang mendahului proses mengajar. Artinya, mengajar bukan sekadar kegiatan intelektual, tapi juga spiritual. Kurikulum hanyalah alat; ruh pendidikan ada pada kasih sayang dan keteladanan guru. Guru yang tulus, sabar, dan mencintai muridnya akan mampu menghidupkan pelajaran apa pun kurikulumnya.

Maka, pembenahan pendidikan tidak cukup hanya di level sistem. Ia harus menyentuh manusia di balik sistem: guru. Mereka bukan sekadar pelaksana kebijakan, tapi sumber inspirasi pembelajaran. Kurikulum boleh berubah mengikuti zaman, tetapi guru yang baik selalu menjadi jantung dari pendidikan.

Guru yang berhenti belajar sejatinya berhenti menjadi guru. Ia tidak hanya menutup pintu bagi dirinya sendiri, tapi juga bagi generasi yang ia didik. Seorang dokter yang tidak memperbarui pengetahuannya berisiko mencelakai pasiennya. Begitu pula guru yang abai terhadap perkembangan ilmu dan metode, sesungguhnya tengah menelantarkan masa depan murid-muridnya.

Menjadi guru berarti siap untuk terus bertumbuh. Dunia berubah cepat; pengetahuan bertambah setiap detik. Maka, guru harus menjadi pembelajar sepanjang hayat. Ia tidak hanya mentransfer pengetahuan, tapi juga menumbuhkan nalar kritis, karakter, dan empati murid. 

Dalam ruang kelas, ia bukan lagi satu-satunya sumber ilmu, melainkan fasilitator yang membuka jalan bagi anak didiknya untuk menemukan pengetahuan dengan cara mereka sendiri.

Guru yang bertumbuh tidak takut pada perubahan. Ia melihat setiap perubahan kurikulum sebagai peluang untuk memperdalam makna, bukan sekadar beban administrasi. Ia terus mengasah diri, memperbarui pendekatan, dan memaknai ulang perannya sebagai penuntun peradaban.

Ruh pendidikan sejati tetap terletak pada manusia yang mengajarkan, bukan pada sistem yang dirancang. Sehebat apa pun kurikulum, secanggih apa pun teknologi, tidak akan berarti tanpa guru yang berilmu, berakhlak, dan berhati Ar-Rahman.

Guru yang bertumbuh adalah mereka yang tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menghidupkan kasih sayang. Mereka adalah cahaya di setiap zaman yang membuat perubahan kurikulum bukan menjadi beban, melainkan ladang untuk terus belajar menjadi manusia pendidik.

***

*) Oleh : Mochammad Fuad Nadjib, Penghulu Kantor Kementrian Agama Kabupaten Sidoarjo dan Kepala Madrasah Diniyah Takmiliyah al-Maidah Durungbedug.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES