Kopi TIMES

Transformasi Embrio Terorisme di Sekolah

Minggu, 09 November 2025 - 21:46 | 498
Ali Mursyid Azisi, M.Ag., Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI), Pengamat Sosial-Politik, Penulis Buku “Melawan Radikalisme Agama, 2024”.
Ali Mursyid Azisi, M.Ag., Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI), Pengamat Sosial-Politik, Penulis Buku “Melawan Radikalisme Agama, 2024”.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Fenomena kekerasan ekstremis dan terorisme kembali menguji kewaspadaan bangsa Indonesia. Jumat kelabu, 7 November 2025, menjadi hari yang mungkin dicatat dalam lembar sejarah kelam ketika sebuah insiden mengguncang SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. 

Dua ledakan terjadi saat pelaksanaan salat Jumat: yang pertama di musala sekolah dan yang kedua di pintu belakang, menyebabkan puluhan korban luka-luka. Ketika diusut, pelakunya pun tak jauh dari siswa yang dikenal pendiam, menjadi korban bullying di sekolah, dan suka menonton video kekerasan. 

Advertisement

Penemuan bom molotov dan senjata mainan mirip airsoft gun bertuliskan "Welcome To Hell" “For Agartha” serta nama-nama pelaku penembakan masjid di luar negeri seperti Brenton Terrant, Alexandre Bissonnette dan Luca Traini, menguak tabir bahwa kini aksi nekat melakukan aksi terror secara terang-terangan dilakukan oleh pelajar. 

Insiden ini mengindikasikan adanya pergeseran pola serangan sekaligus motif aksi terorisme di Indonesia. Selama ini, target utama kerap berpusat pada simbol-simbol negara (polisi, militer, kedutaan) dan rumah ibadah (masjid, gereja) yang dilakukan kelompok ekstrem mengatasnamakan agama yang terafiliasi jaringan teroris. 

Namun, kini dengan diselingi motif berbeda, yaitu balas dendam dengan dengan menargetkan masjid yang berada di lingkungan sekolah. Tindakan terorisme seolah menemukan "target baru" yang sangat rentan, yaitu institusi pendidikan yang dihuni oleh pelajar. 

Taktik ini mengadopsi model "School Shooting" yang banyak terjadi di negara Barat, kini dipadukan dengan agenda ideologi terorisme lokal yang mirisnya dilakukan oleh pelajar. 

Hal ini semakin memperjelas bahwa terorisme kontemporer tidak hanya bertujuan merusak fisik, tetapi juga ingin menghancurkan fondasi psikologis dan sosial masyarakat, menciptakan ketakutan massal, dan mengganggu kesinambungan pendidikan generasi muda.

Momen terjadinya serangan menjelang Hari Pahlawan dan masa Natal serta Tahun Baru ini menimbulkan pertanyaan dasar: Apakah ini adalah sinyal kebangkitan kembali sel-sel terorisme di Indonesia? 

Secara historis, aksi-aksi teror di Indonesia sering kali memiliki pola musiman, menargetkan hari besar atau momen simbolis untuk memaksimalkan dampak psikologisnya.

Data sejarah menunjukkan bahwa Indonesia telah menjadi medan perang bagi serangkaian aksi terorisme. Sebut saja kasus monumental Bom Bali I (2002) yang menelan ratusan korban; kemudian serangkaian serangan yang lebih terdesentralisasi namun mematikan, seperti Bom Thamrin (2016); dan serangan bom bunuh diri di gereja Surabaya (2018). 

Fenomena ini, menurut studi yang dilakukan oleh Sidney Jones dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) (2020), bahwa meskipun kemampuan organisasi inti teroris melemah, kemampuan mereka untuk menginspirasi atau menggerakkan "Lone Wolf" atau sel kecil tetap tinggi.

Kemudian laporan penelitian terbaru mengenai potensi radikalisasi juga memberi peringatan serius. Hasil survei “Indeks Risiko Terorisme 2025” dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) maupun Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta “Api dalam Sekam: Keberagamaan Generasi Z”.

Misalnya, menunjukkan bahwa meskipun persentase pola keberagamaan konservatif yang mengarah pada terorisme secara statistik kecil, namun penyebaran ideologi takfiri dan kekerasan melalui media sosial dan lingkungan pergaulan terdistribusi secara luas, terutama di kalangan pemuda.

Ini menunjukkan adanya persentase yang mengkhawatirkan dari kelompok usia muda yang membenarkan kekerasan atas nama agama (atau motif tertentu), yang menjadi lahan subur bagi perekrutan dan mobilisasi aksi teror.

Identitas dan Ideologi Terorisme

Terorisme dapat dikaji melalui berbagai lensa. Bruce Hoffman dalam bukunya Inside Terrorism (1998) mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang disengaja, yang dilakukan oleh aktor non-negara, untuk mencapai tujuan politik melalui penciptaan ketakutan dan teror.

Karakter ideologi kelompok-kelompok teroris yang beroperasi di Indonesia umumnya berakar pada Jihadisme Salafi-Takfiri. Ideologi ini ditandai dengan takfirisme, mengkafirkan sesama Muslim yang dianggap tidak sejalan atau rezim yang berkuasa, sehingga darah mereka halal ditumpahkan. Kedua kekerasan simbolik, membenarkan kekerasan sebagai satu-satunya metode (jalan jihad). 

Tujuan teror, dalam konteks akademis, adalah psikologis (memaksakan agenda melalui ketakutan) dan strategis (menggoyahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan menciptakan disrupsi sosial).

Fenomena serangan terorisme di lingkungan sekolah atau School Shooting yang dilatari ideologi ekstremis, bukanlah hal baru di dunia. Kasus-kasus yang paling disorot di Amerika Serikat, seperti Columbine (1999) dan Sandy Hook (2012), umumnya didominasi oleh motif personal dan psikologis, namun ada juga kasus dengan motif ideologis. 

Jillian Peterson dan James Densley dalam buku mereka The Violence Project (2021) mengklasifikasikan kasus-kasus ini sebagai krisis mental dan trauma, sebuah kategori yang berbeda secara fundamental dari terorisme berbasis ideologi politik atau agama.

Kasus school shooting lainnya yaitu Pengepungan Sekolah Beslan di Rusia (2004), di mana teroris Chechnya menahan ribuan orang, mayoritas anak-anak, dengan tuntutan politik. Riset yang diulas oleh Jessica Stern dalam bukunya Terror in the Name of God: Why Religious Militants Kill (2003), memotret kaum militan agama menggunakan kekejaman ekstrem terhadap yang tidak bersalah (termasuk anak-anak) sebagai alat untuk menunjukkan kebrutalan dan komitmen mereka. 

Contoh selanjutnya adalah serangan terorisme di Sekolah Umum Militer di Peshawar, Pakistan (2014) oleh Tehrik-i-Taliban Pakistan (TTP), yang menewaskan lebih dari 140 orang, mayoritas anak sekolah, sebagai balasan atas operasi militer pemerintah. Kasus bom SMAN 72 dengan latar belakang korban bullying ini menunjukkan adaptasi strategi keji ke konteks Indonesia nyata adanya.

Agama Menolak Keras Terorisme

Aksi terorisme dan radikalisme secara mutlak bertentangan dengan ajaran agama, moral, dan kemanusiaan. Khaled Abou El Fadl, seorang akademisi muslim terkemuka, dalam bukunya The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005) dengan tegas menyatakan bahwa klaim jihad yang dilakukan oleh kelompok teroris adalah "pencurian besar" terhadap Islam. Ia mengemukakan bahwa Islam didasarkan pada prinsip Rahmah (kasih sayang) dan Adl (keadilan), bukan pada kekejaman dan pemaksaan. 

Tindakan membunuh warga sipil tak bersalah, merusak fasilitas umum, dan menyebarkan ketakutan (hirabah) bertetangan dengan sumber-sumber hukum Islam kredibel (fiqh). Doktrin pemahaman sempit dan literal terhadap teks suci tanpa memperhatikan konteks, tujuan hukum (maqasid syariah), dan moralitas universal, merupakan akar dari penyimpangan ekstremis-teroris.

Peristiwa hipotetik di SMAN 72 Kelapa Gading ini harus menjadi alarm keras bagi bangsa Indonesia. Ini bukan hanya tanggung jawab aparat keamanan, tetapi juga semua elemen masyarakat. 

Bagi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri, Instansi Pendidikan, dan TNI wajib meningkatkan pengamanan dan sosialisasi bahaya terorisme dan pencegahan bullying di sekolah di titik-titik strategis baru, termasuk sekolah dan kampus.

Kemudian bagi BPET MUI dan Ormas Keagamaan seperti NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah memiliki peran vital dalam kontra-narasi ideologi. Ketiganya harus masif melakukan edukasi tentang Islam Moderat (wasathiyyah) dan menanamkan pemahaman keagamaan yang mengedepankan toleransi dan kemanusiaan. Sedangkan bagi masyarakat umum, terutama orang tua dan guru, harus lebih peka terhadap tanda-tanda awal radikalisasi pada anak muda.

Indonesia harus bersatu padu, mengadopsi pendekatan Soft Approach (deradikalisasi ideologis) yang didukung Hard Approach (penegakan hukum), agar generasi penerus bangsa terlindungi dari ancaman-paparan ideologi teroris yang kini mulai menyasar ruang-ruang pendidikan kita. Waspada dan bertindak adalah kunci keberhasilan membendung gelombang terorisme.

 

***

*) Oleh : Ali Mursyid Azisi, M.Ag., Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI), Pengamat Sosial-Politik, Penulis Buku “Melawan Radikalisme Agama, 2024”.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES