Kopi TIMES

Dana Sitaan dan Ekonomi Bawah Tanah Prabowo

Minggu, 09 November 2025 - 22:28 | 996
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

TIMESINDONESIA, PADANG – Tantangan Prabowo adalah menemukan keseimbangan antara efisiensi Hayekian dan tata kelola Keynesian. Ia ingin negara bergerak lincah, cepat, dan tidak terlalu tergantung pada proses birokrasi yang lamban. Tetapi dalam sistem demokrasi modern, kecepatan tidak boleh mengorbankan transparansi

Pernyataan Prabowo Subianto yang melarang para menterinya “mencari uang dari APBN” memantik tafsir beragam. Di satu sisi, kalimat itu terdengar sebagai pesan moral: uang negara bukan ladang untuk memperkaya diri. 

Advertisement

Tapi di sisi lain, tersirat pula arah kebijakan fiskal yang ingin mencari sumber pembiayaan baru di luar mekanisme konvensional. Salah satunya, seperti beberapa kali disinggung Prabowo, adalah penggunaan dana hasil sitaan korupsi atau sumber-sumber nonpajak untuk kepentingan publik.

Wacana itu muncul, misalnya, ketika ia menyinggung dana sitaan korupsi minyak sawit mentah (CPO) senilai Rp13 triliun yang akan diarahkan untuk memperkuat dana abadi pendidikan di bawah LPDP. 

Kalimat yang sederhana itu menyiratkan ambisi besar: menghidupkan kembali ide lama tentang “ekonomi bawah tanah” atau underground economy, sebagaimana pernah dibahas oleh ekonom liberal Friedrich August von Hayek meski tentu dalam konteks yang sangat berbeda.

Hayek, ekonom Austria yang terkenal dengan buku The Road to Serfdom, menggagas gagasan tentang spontaneous order sebuah tatanan yang muncul secara alami dari interaksi bebas antarmanusia, tanpa terlalu banyak campur tangan negara. 

Dalam pandangan Hayek, aktivitas ekonomi informal, yang sering kali berjalan di luar sistem pajak atau peraturan resmi, adalah bagian dari dinamika alami pasar. Ia percaya bahwa kebebasan individu untuk bertransaksi dan menciptakan nilai harus dijaga, sebab dari sanalah lahir inovasi dan efisiensi.

Jika dibawa ke ranah kebijakan publik, ide ini dapat dimaknai bahwa tidak semua kegiatan ekonomi harus disandarkan pada birokrasi formal. Ada ruang bagi inisiatif warga, lembaga sosial, bahkan mekanisme nonpemerintah untuk membiayai kepentingan publik selama tidak merusak prinsip keadilan atau hukum. 

Dalam konteks Indonesia kini, di mana belanja negara terbebani subsidi energi, utang, dan belanja rutin, pandangan Hayek tampak menggoda: mungkinkah negara mencari jalan di luar APBN untuk menambal kebutuhan pembangunan?

Dana Sitaan Sebagai Sumber Baru

Prabowo tampaknya mencoba membuka jalur itu. Ia tidak sedang menghidupkan ekonomi bayangan dalam arti kriminal, melainkan mencoba menginstitusikan “dana alternatif” dari sumber-sumber yang sebelumnya tidak produktif: aset sitaan, dana idle, hingga potensi kekayaan negara yang mangkrak di berbagai lembaga. 

Di atas kertas, ide ini menarik. Dana hasil sitaan korupsi yang selama ini sekadar menumpuk di kas negara bisa diputar kembali untuk sektor produktif, tanpa membebani APBN.

Namun, persoalannya bukan pada niat, melainkan tata kelola. Bagaimana mekanisme penggunaan dana semacam itu? Apakah transparan dan dapat dipertanggungjawabkan? 

Dalam sistem fiskal yang ketat, setiap rupiah yang digunakan negara harus melalui mekanisme anggaran, karena di sanalah letak kontrol publik. Begitu dana sitaan dialokasikan “di luar” mekanisme APBN, muncul potensi kekaburan: siapa yang memutuskan penggunaannya, dan siapa yang mengawasi?

Di sinilah garis halus antara kebijakan inovatif dan ekonomi bawah tanah menjadi kabur. Jika negara memungut, menyalurkan, dan menggunakan uang tanpa pengawasan anggaran resmi, bukankah itu justru menyerupai praktik shadow budget yang dikhawatirkan banyak ekonom?

Tantangan Prabowo adalah menemukan keseimbangan antara efisiensi Hayekian dan tata kelola Keynesian. Ia ingin negara bergerak lincah, cepat, dan tidak terlalu tergantung pada proses birokrasi yang lamban. Tetapi dalam sistem demokrasi modern, kecepatan tidak boleh mengorbankan transparansi. 

Di sinilah pentingnya reformasi kelembagaan bukan hanya menciptakan sumber dana baru, melainkan juga memastikan mekanisme penggunaannya akuntabel.

Sebenarnya, konsep dana non-APBN bukan hal baru. Pemerintah sebelumnya telah memiliki skema Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan dana abadi (sovereign wealth fund) seperti LPI atau INA yang bisa mengelola aset negara untuk investasi jangka panjang. 

Jika Prabowo ingin memperluas jalur ini melalui dana sitaan, langkah itu bisa dianggap sebagai perluasan spektrum PNBP, asalkan diatur dengan jelas melalui undang-undang dan pengawasan publik.

Namun bila jalur itu hanya berbentuk arahan politik tanpa kerangka hukum, maka ia mudah disalahartikan sebagai praktik informal baru yang justru memperlebar jarak antara penguasa dan publik. Di sinilah bahaya “underground economy” versi negara: ekonomi yang tidak transparan tetapi dilegalkan atas nama efisiensi.

Dalam praktiknya, mengumpulkan dana dari sumber-sumber “tidak kena pajak” seperti hasil sitaan memang dapat memperluas kapasitas fiskal pemerintah. Tapi pendekatan itu tidak bisa menjadi substitusi permanen bagi reformasi pajak dan pembenahan birokrasi.

Dana semacam itu bersifat temporer dan tidak berulang. Mengandalkan dana sitaan sebagai sumber pembiayaan negara sama seperti hidup dari hasil lelang barang bukti: cepat habis, sulit diukur, dan rawan penyelewengan.

Meski demikian, jika dikelola dengan mekanisme yang transparan dan diarahkan untuk sektor-sektor strategis pendidikan, riset, ketahanan pangan kebijakan ini bisa menjadi simbol moral: bahwa uang hasil kejahatan akhirnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat. 

Dalam arti tertentu, Prabowo sedang mengupayakan bentuk “keadilan fiskal” baru, di mana kejahatan terhadap negara membiayai perbaikan masa depannya.

Arah kebijakan Prabowo ini seolah mencari jalan tengah antara dua ekstrem: intervensi negara yang terlalu kuat ala Keynesian dan pasar bebas murni ala Hayek. Ia ingin negara berdaulat atas sumber dayanya, tetapi tidak terjebak dalam birokrasi fiskal yang kaku. 

Namun, dalam praktiknya, garis itu tipis sekali. Tanpa sistem audit dan regulasi yang kokoh, idealisme bisa bergeser menjadi ruang abu-abu yang justru menyerupai underground economy bukan dalam pengertian liberal, melainkan politik.

Jika Indonesia benar ingin menempuh jalan baru dalam manajemen fiskal, maka pelajaran dari Hayek patut diingat: kebebasan pasar hanya bisa bertahan jika didukung oleh aturan yang jelas dan adil. Begitu pula dengan negara kemandirian fiskal hanya mungkin tumbuh jika setiap kebijakan, sekecil apa pun, dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka.

Dan di titik itulah, gagasan Prabowo akan diuji: apakah ia benar menghidupkan ekonomi rakyat di luar struktur pajak, atau sekadar menciptakan lapisan baru dari ekonomi bayangan yang dibungkus dengan nama lain “dana alternatif pembangunan.”

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES