TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Di tengah gegap gempita dunia modern, makna “Pahlawan” Kian Kabur. Peringatan Hari Pahlawan setiap 10 November sering berhenti pada seremoni tabur bunga, pidato, dan simbol kebanggaan sesaat.
Bangsa yang besar tak sekadar mengenang para pahlawan masa lalu, melainkan juga menafsir ulang semangat kepahlawanan dalam konteks zaman yang terus berubah. Di tengah era digital dan krisis moral kini, siapa sebenarnya pahlawan kita hari ini?
Advertisement
Jika dulu pahlawan berjuang mengusir penjajah dengan bambu runcing, maka hari ini musuhnya adalah penjajahan dalam bentuk lain: kemiskinan nilai, ketidakjujuran, serta keretakan sosial.
Pahlawan masa kini bukan mereka yang mengangkat senjata, melainkan mereka yang menegakkan moralitas, membangun pengetahuan, dan menjaga nurani kemanusiaan di tengah arus materialisme yang melenakan. Dalam ruang sosial yang nyaris kehilangan arah, masih ada lembaga yang setia memelihara semangat itu: pesantren.
Pesantren bukan hanya lembaga pendidikan keagamaan, tetapi pusat peradaban moral yang terus menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Di saat banyak institusi modern terseret arus pragmatisme, pesantren tetap teguh di jalur spiritual dan sosialnya.
Para kiai dan santri menjalankan bentuk kepahlawanan yang sunyi mengajarkan ilmu, menanamkan adab, dan menegakkan kejujuran tanpa pamrih. Mereka tidak tampil di panggung gemerlap, tetapi di balik kesederhanaan dan keikhlasan, tersimpan daya moral yang luar biasa besar bagi bangsa ini.
Sejarah telah membuktikan hal itu. Dari rahim pesantren lahir tokoh-tokoh besar yang menjadi pejuang kemerdekaan sekaligus penjaga keutuhan negeri.
KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, pernah menegaskan bahwa “Cinta tanah air adalah sebagian dari iman.” Ungkapan ini bukan sekadar slogan, tetapi fondasi spiritual bagi lahirnya semangat nasionalisme religius. Bagi kalangan santri, membela tanah air adalah bentuk ibadah mengabdi kepada Tuhan melalui pengabdian kepada bangsa.
Pesantren: Stakeholder Moral Bangsa
Dalam perjalanan bangsa ini, pesantren tidak hanya mendidik generasi berilmu, tetapi juga melahirkan jaringan sosial yang kokoh. Para alumninya kini hadir di berbagai lini kehidupan akademisi, birokrat, pengusaha, aktivis, hingga pemimpin umat.
Meski berbeda peran dan profesi, mereka membawa satu etos yang sama: pengabdian dan keikhlasan. Mereka tetap menautkan diri secara batin pada pesantren, tempat nilai dan identitas mereka ditempa. Dari situlah muncul kekuatan moral yang menopang negara di tengah berbagai krisis.
Gus Dur, tokoh bangsa dan ulama besar, pernah berkata, “Bangsa ini akan kokoh jika memiliki moralitas, bukan sekadar kecerdasan.” Pesantren telah menjalankan pesan itu jauh sebelum kita menyadarinya. Ia mendidik manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara spiritual dan sosial.
Ketika dunia modern memuja kecerdasan buatan, pesantren tetap setia melahirkan kecerdasan hati. Inilah bentuk kepahlawanan baru: membangun peradaban yang berbasis nilai dan kemanusiaan.
Hari ini, kita mungkin sulit menunjuk siapa pahlawan sejati. Namun, jika kita menengok ke surau-surau kecil, ke pesantren di pelosok desa, kita akan menemukan wajah-wajah pahlawan itu.
Mereka para kiai dan santri yang tak menuntut gelar, tak mengejar sorotan, tapi terus menyalakan cahaya pengetahuan dan ketulusan di tengah kegelapan zaman. Kepahlawanan mereka tidak tercatat di monumen, tetapi hidup di hati masyarakat yang merasakan manfaatnya.
Pahlawan sejati bukanlah mereka yang dikenang, tetapi mereka yang terus menghidupkan nilai-nilai luhur tanpa pamrih. Dan di titik ini, pesantren membuktikan dirinya sebagai benteng terakhir moral bangsa menanamkan etika, menumbuhkan spiritualitas, dan menjaga nalar keislaman yang ramah serta kebangsaan yang teguh. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang kehilangan arah, pesantren, kiai, dan santri tetap menjawab zaman dengan kesunyian yang penuh makna.
Kepahlawanan tidak mati; ia hanya berubah wajah. Kini, ia hadir dalam bentuk pengabdian sunyi, kejujuran tanpa tepuk tangan, dan perjuangan tanpa kamera. Pesantren dan seluruh insan di dalamnya telah menunjukkan bahwa menjadi pahlawan tidak harus berperang, cukup dengan terus menjaga cahaya nilai di tengah gelapnya zaman.
Sejatinya, negeri ini masih berdiri tegak bukan hanya oleh kekuatan senjata, tetapi oleh kekuatan moral yang dijaga oleh mereka: para kiai, santri, dan pesantren.
***
*) Oleh : Saifullah, Mahasiswa S3 Prodi Studi Islam UNUJA Paiton dan Dosen Prodi HKI STIS Darul Falah Bondowoso.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Hainorrahman |
| Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |