Hasanuddin Wahid: Pajak dan Zakat, Tujuan Mirip tapi Tak Bisa Disamakan

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR RI, Hasanuddin Wahid, atau yang akrab disapa Cak Udin, menegaskan bahwa pajak dan zakat adalah dua kewajiban yang berbeda secara prinsipil. Pernyataan ini menanggapi ucapan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyamakan pajak dengan zakat.
Menurutnya, penyamaan kedua konsep tersebut secara mutlak berisiko menimbulkan kesalahpahaman, baik dari sisi konseptual maupun kebijakan, terutama dalam tata kelola keuangan negara dan keadilan sosial.
Advertisement
"Zakat adalah kewajiban religius umat Islam dengan dimensi spiritual dan sosial. Sementara pajak merupakan kewajiban negara yang berdasar hukum positif. Memang ada titik temu pada aspek redistribusi, tapi keduanya tidak bisa disamakan sepenuhnya," ujar Cak Udin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
Ia menegaskan, dalam sistem negara modern, pajak adalah pungutan wajib berdasarkan undang-undang dan digunakan untuk membiayai negara, tanpa dikaitkan langsung dengan asas spiritualitas. Sedangkan zakat, meski juga mengandung prinsip keadilan distribusi, bersumber dari keyakinan dan perintah agama dengan mekanisme pengelolaan yang khas, seperti mustahik (penerima) dan amil (pengelola).
"Zakat bersumber dari iman dan niat suci. Pajak bersumber dari otoritas negara. Menyamakan keduanya berpotensi menyesatkan arah kebijakan, apalagi jika digunakan untuk membenarkan kenaikan beban pajak," tegas Sekjen DPP PKB itu.
Cak Udin menambahkan, pajak sebagai instrumen fiskal tidak boleh diberlakukan secara seragam tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat. Berbeda dengan zakat yang hanya diwajibkan bagi mereka yang telah memenuhi nisab (ambang batas kepemilikan harta), pajak kerap diberlakukan tanpa pembedaan yang proporsional, bahkan terhadap kelompok rentan atau pelaku UMKM.
"Zakat memiliki prinsip proporsionalitas dan keadilan berbasis kemampuan. Pajak seharusnya juga demikian. Jangan sampai rakyat kecil dibebani pajak setara konglomerat. Prinsip keadilan sosial harus jadi pijakan utama," ujarnya.
Ia juga mengingatkan pemerintah agar lebih berhati-hati menggunakan analogi publik terkait keuangan umat. Menurutnya, literasi fiskal harus dibangun dengan pendekatan yang sensitif terhadap konteks sosial, ekonomi, dan religius masyarakat Indonesia.
"Saya menghormati upaya Ibu Menkeu dalam mengelola keuangan negara. Namun, kita harus bijak menyampaikan narasi yang tidak menimbulkan bias. Pajak dan zakat adalah dua sistem yang berbeda, meski tujuannya bisa saling melengkapi. Negara harus menjamin keadilan fiskal dan spiritual dalam bingkai saling menghormati," pungkasnya.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |