Calon Hakim Agung Julius Panjaitan: Keadilan Restoratif Bukan Alternatif, Melainkan Tujuan Pemidanaan

TIMESINDONESIA, JAKARTA – >Calon hakim agung Kamar Pidana, Julius Panjaitan, menegaskan bahwa keadilan restoratif bukan sekadar alternatif pemidanaan, melainkan sebuah pendekatan penting yang sejalan dengan tujuan pemidanaan itu sendiri.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam uji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung bersama Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025). Menurut Julius, keadilan restoratif mampu menghadirkan rasa aman, menyelesaikan konflik, sekaligus memulihkan hubungan antar pihak yang berperkara.
“Maksud alternatif ini berarti hanya pilihan, dalam pengertian kalau perlu baru dilaksanakan, kalau tidak perlu tidak dilaksanakan. Jadi, restorative justice hendaknya diterapkan dengan konsisten,” ujar Julius.
Advertisement
Musyawarah sebagai Jalan Pemulihan
Julius menjelaskan bahwa penerapan keadilan restoratif dilakukan dengan mempertemukan pelaku, korban, keluarga, serta tokoh adat dan agama untuk berdialog mencari solusi adil. Ia menekankan, pendekatan ini mencerminkan budaya Indonesia yang mengedepankan musyawarah dan mufakat.
“Kalau masuk ke ranah pengadilan, itu sudah beda jalurnya nanti: bersalah, dihukum pidana. Tapi kalau restorative justice, pihak pelaku dan korban sama-sama merasa puas, sama-sama menang istilahnya,” katanya.
Tidak Bisa Disalahgunakan
Meski demikian, Julius menegaskan bahwa penerapan keadilan restoratif tidak bisa sembarangan. Pendekatan ini hanya berlaku untuk tindak pidana ringan dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun serta kerugian tidak lebih dari Rp2,5 juta atau setara upah minimum provinsi.
Dalam RUU Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP), restorative justice juga dilarang diterapkan pada tindak pidana berat, seperti narkotika, terorisme, pembunuhan, serta kasus terkait keamanan negara, ketertiban umum, dan kesusilaan.
“Sudah ada rambu-rambunya,” tegas Julius.
Namun, ia menilai perlu ada pengecualian, khususnya untuk kasus penyalahguna narkotika. Menurut Julius, penyalahguna adalah korban dari pengedar sehingga mereka layak mendapat akses keadilan restoratif.
Selain itu, ia mengusulkan pendekatan ini dapat diperluas pada kasus ujaran kebencian. Julius berpendapat, kritik yang dianggap mengandung ujaran kebencian sebaiknya lebih dulu didialogkan sebelum dibawa ke meja hijau.
Visi sebagai Hakim Agung
Di hadapan Komisi III DPR RI, Julius menyampaikan komitmennya jika terpilih menjadi hakim agung. Ia berjanji akan mendorong hakim di tingkat pertama untuk memprioritaskan keadilan restoratif.
“Saya akan memotivasi hakim-hakim agar mengedepankan restorative justice. Sebab tujuan pemidanaan itu adalah memulihkan keseimbangan, mendatangkan rasa aman, memulihkan keadaan, menghadirkan damai, serta mengurangi potensi balas dendam,” tegasnya.
Seleksi Hakim Agung
Diketahui, Komisi III DPR RI tengah menggelar uji kelayakan terhadap 13 calon hakim agung dan tiga calon hakim ad hoc hak asasi manusia di Mahkamah Agung. Mereka sebelumnya telah diseleksi oleh Komisi Yudisial.
Rangkaian fit and proper test berlangsung sejak Selasa (9/9), berlanjut pada Rabu (10/9/2025) dan Kamis ini, serta dijadwalkan kembali pada Selasa (16/9) mendatang. Pada hari terakhir, Komisi III DPR RI akan menggelar rapat pleno untuk menetapkan calon hakim agung terpilih.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Rizal Dani |