Pendidikan

Meneliti Kearifan Lokal, Menemukan Filsafat Kehidupan Masyarakat di Lereng Gunung Kawi

Sabtu, 16 Agustus 2025 - 18:52 | 12.48k
Tokoh Lembaga Adat Desa saat menjalani ritual di salah satu tempat ritus di Lereng Kawi, di Dusun Gumuk Desa Selorejo Dau Kabupaten Malang. (Foto: dokpri/for TIMES Indonesia)
Tokoh Lembaga Adat Desa saat menjalani ritual di salah satu tempat ritus di Lereng Kawi, di Dusun Gumuk Desa Selorejo Dau Kabupaten Malang. (Foto: dokpri/for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Menyandang predikat dengan banyak destinasi wisata unggulan, Malang Raya menyimpan berbagai kearifan lokal, yang diyakini menjadi penyangga keseimbangan ekologi. 

Di antara pesona alamnya, lereng Gunung Kawi di Kabupaten Malang bukan hanya menawarkan panorama memikat, melainkan juga memelihara filsafat hidup yang diwariskan lintas generasi. 

Advertisement

Di lereng Gunung Kawi, diyakini nilai-nilai oleh masyarakat adat, yang memandang hubungan manusia dengan alam sebagai kesalingan hubungan. Serta bisa menyelami nilai-nilai kearifan lokal sebagai strategi dalam pengelolaan hutan tradisional. 

Keunikan inilah yang mendorong tim peneliti dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, melakukan penelitian bertajuk “Ethnophilosophy” di Lereng Gunung Kawi. Tepatnya, masyarakat Dusun Gumuk di Desa Selorejo Dau, Kabupaten Malang. 

Tim peneliti beranggotakan Fitri Ariska (mahasiswi Magister Filsafat UGM), Dr. Septiana Dwiputri Maharani, S.S., M.Hum, Ketua Laboratorium Filsafat Nusantara UGM, dan Dr. Supartiningsih, S.S., M.Hum, Ketua Departemen Filsafat Barat UGM.

“Kami berupaya menafsirkan nilai-nilai yang hidup dalam kebiasaan masyarakat adat. Kearifan lokal di sini bukan sekadar warisan budaya, tetapi manifestasi filsafat yang lahir dari pengalaman kolektif dan keterhubungan dengan alam,” ungkap Fitri Ariska, mahasiswi Program Magister Filsafat UGM, yang kini tengah meneliti sosiologi masyarakat lereng Kawi, Sabtu (16/8/2025). 

Seperti diungkapkan Sriwanto, selaku pendamping Masyarakat Adat Desa Selorejo mengungkapkan, asal mula nama Kawi sebenarnya berasal dari kata kawitan yang berarti permulaan. 

Tim-peneliti-dari-Fakultas-Filsafat-Universitas-Gadjah-Mada.jpgTim peneliti dari Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta,

Sehingga kemudian, dipercaya masyarakat bahwa wilayah Kawi merupakan awal mula peradaban di Jawa.

Ritual, pantangan, dan pola hidup mereka dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, memancarkan kesadaran ontologis, bahwa kehidupan manusia tak terpisahkan dari tatanan semesta. 

"Kawi identik dengan tempat bersemayamnya para roh leluhur, sehingga ada sebuah kepercayaan bahwa siapa yang menghormati leluhur di lereng Kawi akan memperoleh kemakmuran,” terang Fitri, seperti disampaikan tokoh dari Lembaga Adat Desa Andalan Konservasi (LANDAK) tersebut 

Dari pengamatan langsung yang dilakukan peneliti, makna “menghormati” di sini tidak semata-mata merujuk pada praktik ritual atau persembahan, melainkan lebih kepada upaya menjaga dan melestarikan hutan sebagai warisan leluhur. 

Bagi masyarakat adat setempat, pelestarian alam bukan hanya kewajiban ekologis, tetapi juga wujud penghormatan yang hakiki terhadap jejak dan ajaran para pendahulu.

"Hasil penelitian kami menunjukkan, bahwa manifestasi konkret “menghormati” ini terwujud dalam ritus tradisional yang dikenal sebagai Merti Wono," kata Fitri.

Secara harfiah, merti berarti “merawat” atau “membersihkan”, dan wono berarti “hutan”. Jadi, Merti Wono adalah ritus untuk membersihkan atau “mandi” hutan. Ini dilakukan dengan menyingkirkan sampah, ranting kering, dan tumbuhan liar yang mengganggu keseimbangan ekosistem di kawasan hutan, serta menggantinya dengan bibit pohon. 

Menurut Fitri, pembersihan ini tidak hanya bermakna fisik, akan tetapi juga simbolik sebagai penyucian ruang alam, yang diyakini sebagai tempat bersemayamnya roh leluhur atau penunggu hutan (danyang). 

Ritus ini diiringi juga dengan yang disebut dengan selamatan alas, yang dimaksudkan agar hutan dan masyarakat di sekitarnya senantiasa memperoleh keselamatan dan keberkahan. 

Dalam rangkaian tradisi pelaksanaannya, ada pertunjukan Wong Ireng, Kemudian kegiatan penanaman pohon dan reboisasi, khususnya di sekitar sumber mata air dan kawasan rawan longsor. 

Jenis pohon yang diutamakan dalam ritual reboisasi hutan adalah pohon tegakan. Yakni pohon berkayu keras yang mampu menyangga tanah dengan kuat dan menyimpan banyak air. 

Sementara itu, Ketua Laboratorium Filsafat Nusantara UGM, Septiana mengungkapkan, manusia dan alam membangun sinergi yang harmonis. 

"Dimana, kearifan lokal masyarakat di lereng Gunung Kawi melalui komunitas LANDAK diwariskan secara lisan, bukan dalam bentuk teori tertulis," terangnya. 

Dari perspektifnya, pola pewarisan lisan ini memungkinkan pengetahuan ekologis dan nilai-nilai adat tetap hidup dalam keseharian, yang menyatu dengan praktik bertani, menjaga hutan, dan menjalankan ritual. Sehingga kearifan tersebut tidak sekadar diingat, tetapi juga dihayati dan dipraktikkan dari generasi ke generasi.

Menurut Supartiningsih, hutan itu dilihat sebagai sebuah kehidupan itu sendiri. Hutan tidak hanya dimaknai sebagai sumberdaya alam, melainkan sumber kehidupan itu sendiri. 

Nah, karena cara pandang terhadap hutan yang seperti itu, maka kemudian kearifan lokal masyarakat adat di Desa Selorejo, melihat bahwa untuk bisa menjaga kelestarian hutan itu adalah sebuah tugas bersama,” terangnya. 

Pandangan ini mencerminkan kesadaran mendalam bahwa keberlangsungan hidup manusia bergantung pada kelestarian alam. 

Oleh karena itu, menjaga hutan bukan hanya urusan ekologis, melainkan juga bagian dari tanggung jawab moral dan sosial yang diwujudkan melalui gotong royong, pembagian peran, dan praktik adat seperti Merti Wono atau selametan alas. 

"Cara pandang ini juga menegaskan, bahwa pelestarian alam adalah amanah leluhur yang harus dijaga secara kolektif demi kesejahteraan generasi kini dan mendatang," demikian ia menyimpulkan.

Juga ditemukan, adanya praktik masyarakat adat di lereng gunung Kawi dengan slogan “Alam sebagai Ibu, ritus sebagai arah dan larangan sebagai penuntun”.

"Dengan pendekatan etnografis, tim mencatat bahwa harmoni yang dijaga masyarakat Gumuk bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari kesadaran mendalam yang memandu tindakan," demikian Fitri Ariska. (*) 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hendarmono Al Sidarto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES