Bila Departemen Kimia UB Ubah Kotoran Jadi Komporan di Banyuwangi

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Pagi itu, halaman rumah seorang peternak kambing di Desa Sumbermulyo, Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, Jatim, tampak berbeda. Bukan karena jumlah kambingnya bertambah, tapi karena ada sebuah tabung besar yang baru saja dipasang.
Warnanya abu-abu. Pipa-pipa kecil menyalur ke kompor di dapur.
Advertisement
Di hadapan warga yang berkumpul, Dr. Masruri berdiri sambil tersenyum. “Inilah yang kami sebut digester biogas. Bukan benda rumit, tapi bisa membuat hidup lebih hemat,” ujar dosen Departemen Kimia Universitas Brawijaya (UB) itu.
Bersama timnya—Prof. Dr. Warsito, Dr. Moh. Farid Rahman, dan Dr. Elvina Dhiaul Iftiah—Masruri datang jauh-jauh dari Malang untuk satu tujuan. Mentransfer teknologi pembuatan biogas skala rumah tangga.
Dari Kotoran Jadi Gas
Konsepnya sederhana. Kotoran kambing, sapi, atau ayam dimasukkan ke dalam tabung digester. Di dalamnya, bakteri akan bekerja menguraikan bahan organik itu. Hasilnya adalah gas metana yang bisa langsung dialirkan ke kompor rumah tangga.
“Kalau biasanya kotoran ini dibiarkan saja dan jadi bau, sekarang bisa jadi energi. Bahkan bisa jadi sumber cahaya,” kata Masruri.
Kapasitas digester yang diperkenalkan tim UB ini 1000 meter kubik. Cukup untuk memenuhi kebutuhan memasak beberapa keluarga. Biayanya pun jauh lebih murah. Tentu jika dibanding membeli gas elpiji setiap bulan.
Pelatihan di Kandang Kambing
Tahap awal kegiatan dilakukan langsung di kandang. Para peternak diajari cara menyiapkan instalasi, menyambung pipa, hingga menjaga tekanan gas.
Setelah itu, mereka mendapat materi pengenalan tentang biogas: apa itu biogas, bahan apa saja yang bisa dipakai, dan bagaimana proses terbentuknya.
“Jadi mereka bukan hanya pengguna, tapi paham dari mana gas itu berasal,” ujar Masruri.
Para ibu rumah tangga yang awalnya ragu, tampak antusias ketika kompor yang disambungkan ke digester dinyalakan. Api biru keluar stabil. Wajah mereka berubah lega.
“Ternyata bisa untuk masak sayur,” kata salah seorang ibu terkekeh.
Kegiatan ini bukan yang pertama. Menurut Masruri, tahun-tahun sebelumnya Departemen Kimia UB sudah melakukan pengabdian serupa. Tahun ini fokusnya lebih pada transfer teknologi skala rumah tangga. Harapannya, warga bisa mandiri membangun instalasi sederhana tanpa harus menunggu bantuan luar.
Prof. Warsito menambahkan, potensi energi terbarukan di pedesaan sebenarnya besar. “Hampir setiap rumah di desa ini punya ternak. Itu berarti setiap rumah punya sumber energi yang bisa diolah,” katanya.
Selain hemat, penggunaan biogas punya manfaat lain: mengurangi ketergantungan pada elpiji. Apalagi harga gas kerap naik turun dan distribusinya kadang tersendat. Dengan biogas, warga bisa lebih tenang.
Lingkungan pun ikut terbantu. Limbah kotoran yang biasanya menumpuk dan menimbulkan bau, kini terkelola. Bahkan sisa cairan dari digester bisa dipakai sebagai pupuk organik untuk tanaman.
“Ini contoh nyata ekonomi sirkular di level rumah tangga,” tambah Dr. Elvina.
Dari Desa ke Desa
Bagi UB, Desa Sumbermulyo hanyalah titik awal. Ke depan, mereka ingin teknologi ini menyebar ke desa-desa lain di Banyuwangi, lalu ke kabupaten lain di Jawa Timur.
“Kalau tiap desa punya instalasi biogas, kita tidak lagi bicara soal energi alternatif. Ini sudah jadi energi masa depan,” kata Dr. Farid Rahman.
Sore itu, setelah pelatihan selesai, seorang ibu terlihat sibuk di dapurnya. Ia menyalakan kompor yang terhubung ke digester baru. Bunyi desis api terdengar. Nasi mulai ditanak.
Sambil tersenyum, ia berbisik pada tetangganya, “Masak nasi sekarang rasanya lebih nikmat. Soalnya apinya dari kambing kita sendiri.”
Dan siapa sangka, dari bau kotoran yang dulu hanya bikin risih, kini lahir sumber energi bersih yang membuat warga Sumbermulyo tersenyum lega di dapur. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Rifky Rezfany |