Pendidikan

Santri, Kiai dan Pesantren di Tengah Sorotan Media

Selasa, 14 Oktober 2025 - 17:46 | 3.46k
Muhammad Sahlan, alumni Pondok Pesantren Al-Falah, Silo Jember, sekaligus akademisi Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi. (Foto: Dokumentasi TIMES Indonesia)
Muhammad Sahlan, alumni Pondok Pesantren Al-Falah, Silo Jember, sekaligus akademisi Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi. (Foto: Dokumentasi TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Pada akhir September 2025, Indonesia dikejutkan oleh tragedi ambruknya bangunan di Pondok Pesantren (Ponpes) Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo. Peristiwa tersebut menewaskan puluhan santri dan melukai banyak lainnya. Duka menyelimuti dunia pesantren, keluarga korban, dan masyarakat luas. Namun, yang menyusul kemudian bukan hanya tangisan dan doa, melainkan gelombang pemberitaan yang menyudutkan.

Kondisi tersebut menjadi perhatian khusus Muhammad Sahlan, akademisi Universitas Islam Ibrahimy Banyuwangi.

Advertisement

Menurutnya, di saat media sosial dan televisi ramai menyoroti musibah Ponpes Al Khoziny, ada yang sangat disayangkan. Yakni kemunculan narasi yang tidak hanya mengkritisi aspek teknis bangunan pesantren. Tetapi juga menyeret pesantren sebagai institusi. Judul-judul seperti “Pesantren Minim Pengawasan”, “Kyai Hidup Mewah, Santri Terlantar”, atau “Pendidikan Tradisional yang Tak Aman” bermunculan di berbagai kanal berita dan platform digital.

“Narasi ini menyebar cepat, membentuk opini publik yang cenderung negatif terhadap pesantren secara umum,” katanya, Selasa (14/10/2025)

Padahal, masih Sahlan, sapaan akrabnya, pesantren memiliki sejarah panjang sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan karakter yang telah berkontribusi besar bagi bangsa Indonesia. Musibah Ponpes Al-Khoziny seharusnya menjadi momentum refleksi, bukan penghakiman.

Sebagai alumni pesantren, dia merasa terpanggil untuk meluruskan persepsi yang keliru. Bukan untuk menutup-nutupi kekurangan, tetapi untuk mengajak publik melihat pesantren secara utuh — sebagai lembaga pendidikan, ruang spiritual, dan komunitas sosial yang hidup dan berkembang.

“Mari kita membedah fenomena sorotan media terhadap pesantren dengan pendekatan sosiologis dan kultural. Dengan merujuk pada teori Pierre Bourdieu dan Zamakhsari Dhofier, kita akan memahami bagaimana pesantren membentuk habitus, menghadapi kekerasan simbolik, dan meresponsnya melalui aksi kolektif,” beber Sahlan.

“Mari kita mulai dengan memahami apa itu habitus pesantren — sebuah cara hidup yang tertanam dan membentuk karakter santri secara mendalam,” imbuhnya.

Habitus Pesantren : Lebih dari Sekadar Tradisi

Pesantren bukan sekadar tempat belajar agama. Pesantren adalah ruang hidup yang membentuk karakter, moral, dan spiritualitas. Santri terbiasa bangun sebelum subuh, membersihkan lingkungan hingga mengaji hingga larut malam. Semua itu bukan paksaan, tapi bagian dari proses pembentukan diri. Rutinitas ini melatih kedisiplinan, tanggung jawab, dan keikhlasan.

Alumni Pondok Pesantren Al-Falah, Silo Jember ini juga menjabarkan bahwa tradisi mencium tangan kiai, mendengarkan nasihat dengan khidmat, dan hidup sederhana bukanlah simbol ketertinggalan. Justru di situlah tertanam nilai-nilai seperti kesabaran, penghormatan, dan empati.

“Dalam istilah Pierre Bourdieu, ini disebut habitus — cara hidup yang tertanam dan membentuk cara berpikir serta bertindak (Bourdieu, 1977),” tuturnya.

Habitus ini tidak dibentuk dalam semalam. Namun lahir dari rutinitas, pengalaman spiritual, dan interaksi sosial yang konsisten. Santri tidak hanya belajar kitab kuning, tetapi juga belajar hidup: berbagi, bersabar, dan berjuang. Mereka belajar untuk tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga matang secara moral dan spiritual.

Kehidupan di pesantren, masih Sahlan, juga menanamkan kesadaran sosial. Santri terbiasa hidup bersama, berbagi ruang, makanan, dan waktu. Mereka belajar toleransi, gotong royong, dan solidaritas. Nilai-nilai ini menjadi bekal penting ketika mereka kembali ke masyarakat.

Selain itu, habitus pesantren menciptakan reflexive habitus. Yakni kemampuan santri untuk menyesuaikan diri dengan dunia luar tanpa kehilangan prinsip moral. Mereka bisa beradaptasi dengan perubahan zaman, teknologi, dan tantangan sosial. Tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai yang telah ditanamkan.

“Dengan demikian, pesantren bukan hanya mencetak ulama, tetapi juga membentuk manusia yang utuh: cerdas, berintegritas, dan berjiwa sosial. Inilah kekuatan pesantren yang sering kali luput dari sorotan media,” ungkap Sahlan.

Kiai dan Modal Simbolik : Antara Kesederhanaan dan Legitimasi

Dalam dunia pesantren, kiai bukan sekadar pemimpin administratif. Dia adalah figur moral, spiritual, dan sosial. Zamakhsari Dhofier, lanjut Sahlan, menyebut kiai sebagai penanggung jawab utama dalam menjaga nilai dan arah pesantren (Dhofier, 1982). Kehidupan mereka — sederhana atau makmur — bukan ukuran duniawi semata, melainkan bagian dari modal simbolik yang mereka miliki: kepercayaan, legitimasi, dan barokah.

Menurut Sahlan, modal simbolik itu tidak bisa diukur dengan materi. Tapi lahir dari kepercayaan masyarakat, reputasi spiritual, dan pengaruh moral. Ketika seorang kiai berbicara, masyarakat mendengarkan bukan karena jabatan, namun karena keyakinan akan kebijaksanaan dan keberkahan.

Namun dari kacamata Sahlan, dalam sorotan media modern, modal simbolik sering kali tidak terbaca. Kiai yang hidup sederhana dianggap tidak berpengaruh. Sebaliknya, kiai yang berhasil membangun pesantren megah dituding mengejar keuntungan.

“Ini adalah benturan antara dua dunia: dunia pesantren yang hidup dengan nilai dan spiritualitas, dan dunia media yang hidup dengan logika rating dan sensasi,” cetusnya.

Kiai juga menghadapi dilema representasi. Jika mereka tampil di media, mereka bisa dianggap mencari popularitas. Jika mereka diam, mereka bisa dianggap tidak peduli. Padahal, banyak kiai memilih diam karena menjaga marwah dan menghindari fitnah.

Dalam konteks musibah Ponpes Al-Khoziny, menurut Sahlan, beberapa kiai yang diwawancarai memilih untuk tidak menyalahkan siapa pun. Mereka menyebut peristiwa itu sebagai musibah dan mengajak masyarakat untuk mendoakan para korban.

Oleh karena itu, penting bagi publik untuk memahami peran kiai secara utuh. Mereka bukan hanya pemimpin pesantren, tetapi juga penjaga nilai, moral, dan spiritualitas masyarakat.

Media dan Kekerasan Simbolik : Ketika Representasi Menjadi Senjata

Mengutip Pierre Bourdieu dalam On Television (1998), Sahlan menyebut istilah kekerasan simbolik. Yaitu dominasi yang dilakukan melalui representasi realitas. Dalam konteks musibah Ponpes Al-Khoziny, media tidak hanya memberitakan fakta, tetapi juga membentuk narasi. Pesantren digambarkan sebagai lembaga yang tertinggal, tidak aman, dan tidak profesional.

Kekerasan simbolik, masih Sahlan, terjadi ketika media menyederhanakan kompleksitas pesantren menjadi citra negatif yang mudah dikonsumsi publik. Potongan video, kutipan selektif, dan framing editorial membentuk persepsi yang tidak seimbang. Pesantren yang selama ini menjadi benteng moral justru diseret dalam pusaran stigma.

Media juga dinilai cenderung mengabaikan konteks sosial dan budaya pesantren. Mereka melihat pesantren dengan kacamata modern: standar bangunan, sistem manajemen, dan protokol keselamatan. Padahal, pesantren memiliki logika sendiri yang tidak selalu sejalan dengan standar institusi formal.

“Sorotan media ini menimbulkan tekanan sosial yang nyata. Santri, alumni, dan masyarakat sekitar merasa perlu membela institusi yang mereka cintai. Mereka khawatir reputasi pesantren tercemar, kepercayaan publik menurun, dan nilai-nilai yang diajarkan terabaikan,” urai Sahlan.

Namun dihadapan Sahlan, bukan berarti media sepenuhnya salah. Kritik yang konstruktif tetap diperlukan. Tapi kritik harus adil, kontekstual, dan tidak menggeneralisasi. Jika ada kekeliruan teknis, tentu bisa diperbaiki. Tapi jangan sampai satu musibah menghapus ratusan tahun kontribusi pesantren dalam membentuk karakter bangsa.

Pesantren dan media seharusnya bisa berdialog. Media perlu memahami pesantren secara kultural, dan pesantren perlu membangun literasi media agar bisa menyampaikan narasi sendiri secara lebih efektif.

Aksi Kolektif Santri : Dari Tagar ke Kesadaran Kritis

Sebagai respon terhadap pemberitaan yang dianggap tidak adil, ribuan santri dan alumni bergerak. Tagar #BoikotTrans7 dan #BelaPesantren sempat trending di media sosial. Mereka membagikan kisah positif tentang kehidupan di pesantren, membantah narasi negatif, dan menuntut pemberitaan yang lebih berimbang. Gerakan ini menunjukkan bahwa komunitas pesantren tidak pasif menghadapi sorotan media, melainkan aktif membentuk narasi tandingan.

“Pemicunya adalah tayangan program “Xpose Uncensored” di Trans7 pada tanggal 13 oktober yang menampilkan potongan kehidupan pesantren dengan narasi yang dianggap menyudutkan,” kata Sahlan.

Dalam salah satu segmen, kata Sahlan, aktivitas khas santri seperti mencium tangan kiai dan duduk jongkok saat makan ditampilkan dengan narasi satir. Judul segmen seperti “Santrinya minum susu aja kudu jongkok, emang gini kehidupan di pondok?”, memicu kemarahan publik pesantren karena dianggap melecehkan nilai-nilai takzim dan kesederhanaan yang dijunjung tinggi.

Bagi komunitas pesantren, tayangan tersebut dianggap bukan sekadar hiburan yang keliru. Tetapi bentuk pelecehan terhadap nilai-nilai luhur yang telah dijaga selama berabad-abad. Tradisi yang selama ini dimaknai sebagai bentuk penghormatan kepada ilmu dan guru justru dipelintir menjadi simbol ketertinggalan.

Tayangan ini dinilai memperkuat stereotip bahwa pesantren adalah lembaga eksploitatif dan tidak manusiawi. Tanpa melihat konteks budaya dan spiritual yang melatarbelakanginya.

“Dalam teori aksi kolektif Mancur Olson dan Charles Tilly, gerakan seperti ini muncul ketika komunitas merasa nilai dan identitasnya terancam. Santri tidak turun ke jalan, tetapi mereka menggunakan modal simbolik — kepercayaan, moralitas, dan solidaritas — untuk melawan stigma,” jelas Sahlan.

“Mereka menulis opini, membuat video klarifikasi, dan menggelar diskusi daring untuk memperluas pemahaman publik tentang pesantren,” tambahnya.

Partisipasi lintas generasi memperkuat gerakan ini. Junior, senior, dan alumni bergerak bersama, menyuarakan nilai-nilai pesantren yang selama ini menjadi pondasi karakter dan moral mereka. Soliditas ini memperlihatkan bahwa pesantren bukan hanya ruang belajar, tetapi juga komunitas yang kohesif secara sosial. Bahkan beberapa alumni yang kini menjadi tokoh publik ikut menyuarakan pembelaan terhadap pesantren.

“Salah satu contoh nyata adalah unggahan dari akun @SantriMilitan di X (dulu Twitter), yang menulis: “Pesantren bukan tempat tertinggal. Kami belajar disiplin, tanggung jawab, dan nilai hidup. Jangan samakan tragedi dengan kegagalan system,”. Unggahan ini mendapat ribuan retweet dan menjadi bahan diskusi di berbagai forum daring,” bebernya.

Menurut Sahlan, gerakan ini juga menunjukkan pentingnya literasi media di kalangan santri. Mereka mulai memahami bagaimana framing media bekerja, bagaimana narasi dibentuk, dan bagaimana publik bisa terpengaruh oleh representasi yang tidak lengkap.

Dengan membangun kesadaran ini, santri tidak hanya membela pesantren, tetapi juga belajar menjadi warga digital yang kritis dan aktif.

Aksi kolektif santri, lanjut Sahlan, bukan sekadar reaksi emosional, tetapi strategi jangka panjang untuk mempertahankan modal simbolik pesantren. Solidaritas, kesadaran moral, dan keberanian berbicara di ranah publik menjadi cara pesantren tetap relevan dan dihormati di era digital. Ini adalah bentuk perjuangan simbolik yang sah dan bermartabat.

Merawat Habitus, Menghormati Perbedaan

Perbedaan habitus antara dunia pesantren dan dunia media mestinya tidak menjadi sumber kebencian, tetapi ladang saling memahami. Setiap habitat sosial memiliki logikanya sendiri. Pesantren dengan nilai ikhlas dan takzim, media dengan logika publik dan sensasi. Ketika keduanya bertemu, benturan bisa terjadi, tetapi juga peluang untuk dialog.

Pesantren bukan anti-kritik. Justru kritik yang konstruktif bisa menjadi bahan evaluasi dan perbaikan. Namun, kritik harus adil, kontekstual, dan tidak menggeneralisasi. Musibah Ponpes Al-Khoziny memang menyedihkan, tetapi tidak bisa dijadikan alasan untuk menstigmatisasi seluruh pesantren di Indonesia.

Sebaliknya, Sahlan melanjutkan, media juga perlu menjalankan fungsinya sebagai pilar demokrasi yang berimbang. Mereka harus belajar memahami konteks sosial dan budaya pesantren, tidak hanya mengejar sensasi. Dalam dunia yang plural, empati adalah kunci. Representasi yang adil akan memperkuat kepercayaan publik, bukan merusaknya.

Sebagai alumni pesantren, Sahlan percaya pesantren tetap relevan. Pesantren bukan hanya tempat belajar agama, tapi benteng moral di tengah dunia yang makin bising. Dan seperti yang selalu diajarkan para kiai, dalam setiap musibah, pasti ada hikmah. Asal kita mau merenung dan belajar. Dan pesantren harus terus berbenah, membangun komunikasi publik yang sehat, serta memperkuat solidaritas internal.

Musibah Ponpes Al-Khoziny, tambah Sahlan, adalah luka bersama. Tapi cara merespon akan menentukan masa depan. Memilih menyudutkan atau memahami. Menghakimi atau memperbaiki.

“Di sinilah pentingnya membangun jembatan antara dunia pesantren dan dunia media, agar keduanya bisa saling menguatkan, bukan saling menjatuhkan,” ucap Sahlan.

Dalam bahasa Bourdieu, masih Sahlan, modal simbolik pesantren adalah warisan kultural yang membentuk habitus bangsa, kesantunan, gotong royong, dan penghormatan kepada ilmu. Dan dalam bahasa santri, semua perjuangan bermuara pada satu kata, barokah. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES