Hidupkan Nilai Filosofis Pawon di Tengah Kota Malang
TIMESINDONESIA, MALANG – Di balik aroma asap dan bara api dapur tradisional, tersimpan filosofi mendalam tentang kebersamaan, ketahanan, dan identitas budaya. Nilai-nilai inilah yang diulas dalam Diskusi Publik bertema “Dapur Urban: Antara Tradisi dan Inovasi”, yang menjadi bagian dari rangkaian acara Nguri-nguri Budoyo Pawon Kampung Ketawanggede, Rabu (5/11/2025).
Diskusi publik ini menghadirkan dua narasumber lintas disiplin: Dr. Ari Ambarwati, M.Pd., pakar gastronomi sekaligus dosen Universitas Islam Malang (Unisma), dan Dwi Cahyono, budayawan serta dosen Universitas Negeri Malang (UM). Acara dipandu oleh Sri Widji Wahyuning Utami selaku moderator, dan berlangsung hangat di tengah suasana kampung urban yang masih mempertahankan jejak tradisi di sekitar Kampung Ketawanggede, Kota Malang.
Advertisement
Dalam paparannya, Dr. Ari Ambarwati menegaskan bahwa pawon—atau dapur tradisional—adalah ruang paling dekat dengan jantung kehidupan masyarakat Nusantara. Ia bukan sekadar tempat memasak, tetapi juga simbol keintiman sosial.
“Siapapun yang datang ke rumah, kalau kerabat dekat, tidak masuk ke ruang tamu, tapi ke dapur. Dalam bahasa masyarakat Tengger disebut pagenen. Dapur itu tempat hangat, tempat orang berkumpul, berbagi cerita, dan menautkan hubungan,” ujarnya.
Ia menambahkan, dalam konteks masyarakat pegunungan seperti Tengger, pawon memiliki fungsi ganda: privat sekaligus publik. “Dapur adalah ruang sosial yang strategis, bukan hanya soal pangan, tetapi juga kultur, kebiasaan, dan kesehatan,” lanjutnya.
Menurut Ari, pandemi COVID-19 justru membuka kesadaran baru tentang pentingnya ruang pawon. Saat krisis pangan melanda, masyarakat kembali menggali pengetahuan lokal.

“Ketahanan pangan masyarakat Indonesia sebenarnya sudah sangat maju sejak lama. Lumbung pengetahuan itu ada di pawon—tempat di mana kita belajar tentang ketercukupan dan keberlanjutan,” tuturnya.
Sementara itu, Dwi Cahyono mengajak peserta memahami dapur dari sisi historis dan linguistik. Menurutnya, posisi dapur yang biasanya berada di belakang rumah justru menjadi ukuran kebersihan dan keteraturan penghuni rumah.
“Dapur itu di belakang, tapi justru menjadi wajah rumah. Kebersihan dapur mencerminkan karakter penghuninya,” katanya.
Dwi juga menjelaskan bahwa istilah “pawon” dalam bahasa Jawa memiliki akar yang kaya makna. “Kata ‘pawon’ berasal dari kata dasar awu atau hawu yang berarti abu. "Dengan awalan pa- dan akhiran -an, artinya tempat yang berkaitan dengan abu, yakni tempat memasak,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menuturkan bahwa istilah pawon berkembang secara asosiatif karena kegiatan memasak menghasilkan abu. Dari situlah kemudian muncul istilah pawonan, yakni peralatan atau tempat pembakaran tradisional seperti tungku.
Dwi juga memaparkan berbagai bentuk tungku tradisional (pawonan) yang dulu umum dijumpai di dapur-dapur pedesaan. Dari susunan batu bata sederhana hingga anglo tanah liat yang lebih portabel, semuanya merepresentasikan kreativitas masyarakat dalam menyesuaikan fungsi dan kondisi.
“Tungku itu tidak hanya alat memasak, tapi juga artefak budaya. Ia mencerminkan hubungan manusia dengan api, bahan pangan, dan alam sekitar,” ungkapnya.
Menurut Dwi, budaya dapur tidak pernah benar-benar hilang. Ia hanya bertransformasi seiring perkembangan sosial dan teknologi. “Dari masa ke masa, aktivitas dapur tetap ada, meski bentuknya berubah. Kini dapur tak lagi identik dengan ruang perempuan saja, tapi sudah menjadi ruang bersama. Ia tetap eksis karena manusia selalu membutuhkan kehangatan sosial dari dapur,” katanya.
Pandangan ini selaras dengan semangat acara Nguri-nguri Budoyo Pawon Kampung Ketawanggede, yang berupaya memosisikan kembali pawon sebagai ruang nilai dan identitas budaya di tengah kehidupan urban yang kian serba instan.
Diskusi publik tersebut menjadi ruang refleksi bersama, bahwa menjaga tradisi bukan berarti menolak inovasi, melainkan menghidupkan kembali nilai-nilai lokal agar tetap relevan dalam kehidupan modern.
Melalui dialog lintas generasi ini, para peserta diingatkan bahwa dapur adalah titik awal peradaban: tempat lahirnya kehangatan, solidaritas, dan pengetahuan hidup. Dari ruang yang sederhana inilah, api tradisi dijaga agar tetap menyala di tengah dinginnya modernitas kota. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |
| Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |