Pendidikan

Pembangunan SDM Petani Harus Jadi Prioritas Utama

Sabtu, 08 November 2025 - 09:46 | 1.24k
Dr. M Syamsulhadi saat menjadi narasumber dalam Seminar Dialogista yang diadakan oleh BEM FP UB, Jumat (7/11/2025). (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)
Dr. M Syamsulhadi saat menjadi narasumber dalam Seminar Dialogista yang diadakan oleh BEM FP UB, Jumat (7/11/2025). (Foto: Achmad Fikyansyah/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Pembangunan sumber daya manusia (SDM) di sektor pertanian harus menjadi prioritas utama untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Hal ini ditegaskan oleh Dr. Mochamad Syamsulhadi, S.P., M.P., Ketua Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (UB), dalam seminar Dialogista bertajuk “Pemuda dan Ketahanan Pangan: Menggali Potensi Pemuda dalam Menjaga Kedaulatan Pangan Nasional” di Aula FP UB, Jumat (7/11/2025).

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian UB (BEM FP UB) bekerja sama dengan Pemuda Inspirasi Nusantara (PIN). Acara tersebut menghadirkan sejumlah narasumber untuk membahas tantangan dan peran generasi muda dalam menjaga ketahanan pangan nasional.

Advertisement

Dalam paparannya, Syamsulhadi menyoroti peningkatan anggaran pemerintah di sektor pertanian yang tidak sejalan dengan peningkatan produktivitas hasil pangan.

“Anggaran dari tahun 2020 hanya sekitar Rp75 triliun, di 2024 sudah Rp119 triliun, dan di 2025 mencapai sekitar Rp140 triliun. Tapi lihat produktivitasnya, justru menurun,” tegasnya.

Menurutnya, meski pada 2025 terjadi kenaikan produksi sekitar 13 persen hingga Oktober, hasil tersebut belum sebanding dengan besarnya dana yang digelontorkan.

“Bisa dibayangkan ke mana larinya uang itu dan seberapa efektif sebenarnya program yang dijalankan untuk mencapai swasembada pangan,” ujarnya.

Syamsulhadi juga menilai program food estate dan cetak sawah yang digagas pemerintah belum berdampak signifikan terhadap peta produksi pangan nasional.

“Provinsi penghasil padi terbesar masih itu-itu saja, Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Artinya, proyek food estate di Papua atau Kalimantan belum memberi kontribusi nyata terhadap peningkatan produktivitas nasional,” jelasnya.

Dia menilai, banyak kebijakan pangan hanya fokus pada aspek teknis seperti subsidi pupuk, pestisida, infrastruktur, dan irigasi, tanpa menyentuh aspek peningkatan kapasitas petani.

“Yang berkaitan dengan SDM itu minim, bahkan hampir tidak ada. Ini menyedihkan,” katanya.

Syamsulhadi menyoroti fenomena tidak efektifnya bantuan alat dan mesin pertanian (Alsintan) di berbagai daerah. Menurutnya, program tersebut seringkali dijalankan tanpa kajian mendalam dan tidak sesuai dengan kebutuhan petani.

“Contohnya di Jawa Timur, traktor dan mesin pertanian diberikan dalam jumlah besar. Tapi di lapangan, ada yang dijual sehari setelah diterima. Ada juga combine harvester yang hilang dalam seminggu. Bantuan ini akhirnya tidak berdampak nyata,” ungkapnya.

Ia menilai praktik tersebut terjadi karena pengadaan bantuan lebih berorientasi pada serapan anggaran daripada peningkatan kapasitas petani.

“Kalau anggaran triliunan itu dialokasikan untuk pemberdayaan petani, misalnya pelatihan dan peningkatan kapasitas SDM, hasilnya akan jauh lebih luar biasa,” tegasnya.

Lebih lanjut, Syamsulhadi menyoroti bahwa program pembangunan SDM jarang diprioritaskan oleh pemerintah karena hasilnya tidak bisa langsung terlihat.

“Pembangunan SDM itu tidak populer. Hasilnya baru terasa dua sampai tiga tahun ke depan. Pemerintah lebih suka proyek irigasi atau bantuan alat, karena efeknya langsung tampak di lapangan, padahal dampaknya terhadap produktivitas sangat kecil,” jelasnya.

Padahal, menurutnya, peningkatan kapasitas SDM merupakan kunci utama untuk mewujudkan pertanian modern yang berkelanjutan. “Kalau SDM petani kuat, mereka akan bisa mengelola teknologi, memahami pasar, dan menjaga produktivitas secara mandiri,” katanya menegaskan.

Menutup materinya, Syamsulhadi mengajak mahasiswa dan generasi muda untuk lebih dekat dengan dunia pertanian dan memahami persoalan di tingkat akar rumput.

“Mulailah berdampingan dengan petani. Turun ke lapangan, belajar dari mereka. Bagi yang memang punya cita-cita menjadi petani, niat kalian sudah benar,” katanya.

“Dan bagi yang punya cita-cita lain, berikan yang terbaik untuk pertanian Indonesia. Karena masa depan bangsa ini juga bergantung pada keberlanjutan sektor pangan,” tutupnya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Ferry Agusta Satrio
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES