Jadi Sumber Nafkah Musiman, Sepuluh Tahun Pak Nano Mengais Rezeki dari Bendera

TIMESINDONESIA, BANYUMAS – Menjelang perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, ada kisah sunyi penuh ketekunan yang bergantung pada lembar-lembar merah putih. Nano, pria asal Garut, Jawa Barat, yang selama satu dekade terakhir setia menjajakan bendera setiap bulan Agustus dan jauh dari keluarganya.
Setiap pagi hingga petang, pria paruh baya itu tampak sabar menata deretan bendera Merah Putih yang tergantung di depan kantor Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas. Tenda kecilnya meneduhi berbagai ukuran bendera yang dijualnya seharga Rp10 ribu hingga Rp25 ribu.
Advertisement
Di bawah terik matahari dan semilir angin sore, deretan bendera Merah Putih berkibar di depan Kantor Kecamatan Wangon, Banyumas. Di sanalah Bapak Nano, pria asal Garut, kembali setia menjajakan bendera sejak awal Juli, seperti yang sudah dilakukannya selama sepuluh tahun terakhir.
“Saya ke sini tiap tahun. Sudah sepuluh kali. Ngontrak rumah sebulan, jualan sampai tanggal 17an lewat,” ujarnya sembari menata bendera ukuran sedang yang baru ia turunkan dari gantungan.
Kepada TIMES Indonesia, Selasa (22/7/2025) ia mengatakan bendera-bendera yang dijual dibanderol mulai Rp10 ribu hingga Rp25 ribu, tergantung ukuran.
Nano datang ke Wangon tak hanya untuk berdagang, melainkan untuk mencari penghidupan. “Hasil jualan ini buat anak sama istri di Garut, kalau rame, bisa kirim lebih banyak, tapi kalau sepi ya cuma cukup makan,” tuturnya lirih.
Tak selalu ramai. Dalam sehari, kadang hanya satu bendera yang laku. Di saat-saat sepi itu, Nano mengaku hanya duduk menunggu sambil mengantuk, tapi ia tak pernah lupa waktu salat. “Kalau waktu salat ya salat dulu. Rezeki tetap Allah yang ngatur,” katanya.
Meski dagangan kadang tak banyak terjual, Nano tetap optimis. “Biasanya seminggu sebelum 17an baru rame. Banyak yang beli dari RT, guru-guru, juga tentara,” tambahnya.
Salah satu pembeli yang datang sore itu adalah Eko Prasetiyo, warga Pengadegan. Eko membeli satu bendera ukuran sedang untuk dipasang di rumah dan gerobak jualan bakso ikan miliknya.
“Tiap tahun saya beli. Yang lama biasanya saya kasih orang lain yang belum punya,” ujar Eko.
Bagi Eko, membeli dan memasang bendera bukan soal simbol, melainkan bagian dari menjaga rasa cinta tanah air.
“Rasa nasionalisme itu tumbuh lagi tiap Agustusan, makanya saya semangat pasang bendera, apalagi buat usaha juga,” katanya sambil membenahi ikatan bendera yang baru dibelinya.
Eko sendiri adalah ayah satu anak yang kini menggantungkan hidup dari gerobak bakso ikan. Ia sempat bekerja di pabrik onderdil di Jakarta, namun akhirnya memilih pulang kampung dan membuka usaha sendiri.
“Rezeki memang enggak pasti, tapi saya lebih tenang kerja begini. Bisa dekat keluarga, bisa ikut upacara juga tiap 17-an,” ungkapnya.
Di antara bentangan kain merah putih yang dijajakan Nano dan tangan-tangan yang membelinya seperti milik Eko, semangat kemerdekaan terasa nyata. Mereka bukan pahlawan di medan laga, tapi sosok sosok kecil yang setiap tahun merawat nasionalisme dengan cara mereka sendiri sederhana, diam diam, tapi tulus dan terus-menerus. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Deasy Mayasari |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |