Bernyanyi di Puncak Lontar, Ritual Sakral Sabu Raijua demi Nira Berlimpah!

TIMESINDONESIA, SABU RAIJUA – Di Pulau Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, setiap pagi dan sore ada pemandangan yang tidak biasa. Seorang laki-laki memanjat pohon lontar (alu re) yang tinggi menjulang, membawa wadah bambu di pinggangnya. Di atas pohon itu, ia tidak hanya menyadap nira — ia juga menyanyi.
Suara nyanyian itu tak sekadar untuk mengisi kesunyian. Bagi masyarakat Sabu, bernyanyi sambil menyadap nira adalah bagian dari tradisi leluhur yang disebut "alu re". Sebuah praktik yang mencerminkan hubungan batin antara manusia, pohon, dan kehidupan.
Advertisement
“Mai we rae toe wui, dete wui ma tobo ab’u-ab’a.” Syair ini sering dilantunkan oleh para penyadap. Artinya, "Aku ini seperti anak yatim piatu. Wahai ibu, berikan aku air nira."
Melkianus, salah satu tokoh adat di Sabu Raijua, menjelaskan bahwa lontar bagi orang Sabu dipandang seperti ibu kandung. Ia memberikan makanan, minuman, bahkan atap dan kayu untuk rumah. Maka, tak heran jika si penyadap memohon pada pohon itu layaknya memohon kasih sayang seorang ibu.
“Laki-laki Sabu yang mampu menyadap lontar sambil bernyanyi dianggap hebat. Ia kuat, sabar, dan bertanggung jawab karena menyadap itu bukan hanya pekerjaan — itu cara memberi kehidupan bagi keluarga,” ujar Melki, sapaan akrab Melkianus, Sabtu (26/7/2025).
Ritus Sebelum Memanjat
Menyadap lontar bukan dimulai dari memanjat. Ada ritus adat yang dilakukan terlebih dahulu. Ritus seperti radda hubi due dan pro hogo dilakukan untuk memohon keselamatan bagi si penyadap, agar peralatannya berfungsi baik, cuaca bersahabat, dan lontar menghasilkan air nira yang melimpah.
Ritus ini dipimpin oleh kepala keluarga dan dilakukan secara khusus sesuai dengan kalender adat. Mereka akan merapikan mayang (bunga lontar) sebagai persiapan penyadapan, sekaligus bentuk penghormatan kepada pohon yang dianggap suci.
“Secara khusus Ritus sadap lontar sudah diatur dalam kalender masyarakat dimana seorang kepala rumah tangga berperan menjadi pemimpin Ritus seperti merapikan mayang lontar,”paparnya.
Lagu sebagai Doa, Lontar sebagai Kehidupan
Setiap lagu yang dinyanyikan di atas pohon mengandung pesan. Selain doa permohonan, juga ada ajakan untuk generasi muda: agar mencintai dan menjaga pohon lontar. Di balik nada-nada sederhana itu, tersimpan filosofi hidup orang Sabu — bahwa alam dan manusia harus hidup berdampingan.
Melki menekankan, menyadap sambil bernyanyi juga menjadi bentuk penghiburan diri. “Orang Sabu percaya, kalau lagu dinyanyikan dengan hati, maka nira yang dihasilkan akan lebih manis, lebih banyak, dan lebih bermanfaat,” tuturnya.
Sayangnya, tradisi ini kini mulai jarang dilakukan oleh generasi muda. Banyak yang memilih pekerjaan lain, meninggalkan kebiasaan menyadap, dan tidak lagi mengenal syair-syair alu re. Padahal, selain bernilai ekonomi, menyadap lontar juga memiliki nilai budaya yang tinggi.
Melki berharap anak-anak muda Sabu kembali diajak untuk mencintai pohon lontar dan tradisi ini. “Kalau tidak kita rawat, lama-lama akan hilang. Dan kalau lontar punah, orang Sabu akan kehilangan sumber hidupnya,” katanya.(*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |
Publisher | : Rizal Dani |