Peristiwa Daerah

Lima Tahun Khofifah Indar Parawansa Hadapi Badai Bencana di Jawa Timur

Senin, 25 Agustus 2025 - 17:15 | 8.18k
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menyambut baik rencana peluncuran buku
Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, menyambut baik rencana peluncuran buku "Discover Disaster" karya Lely Yuana Jurnalis TIMES Indonesia

TIMESINDONESIA, MALANG – Ada banyak cara menulis tentang bencana. Terutama dalam dunia jurnalistik.

Bisa seperti laporan resmi. Penuh angka, tabel, dan singkatan teknis yang membuat alis berkerut. Bisa pula seperti drama sinetron; penuh air mata dan adegan slow motion.

Advertisement

Namun, buku "Discovery Disaster" karya Lely Yuana, jurnalis TIMES Indonesia, ini tidak memilih keduanya. Ia menulis bencana dengan wajah manusia.

Bukan sekadar banjir. Pula bukan erupsi, atau deret panjang pandemi. Di setiap halamannya, kita menemukan satu tokoh yang berjalan di tengah lumpur, memeluk korban, memeriksa pompa air, bahkan memborong dagangan bocah penjual donat. 

Tokoh itu adalah Khofifah Indar Parawansa. Gubernur Jawa Timur.

Dalam beberapa kesempatan mengisi motivasi, saya sering bilang, bahwa pemimpin itu seperti nakhoda kapal di laut lepas. Ombak tinggi itu sudah pasti. Bedanya, ada nakhoda yang hanya duduk di kabin, dan ada pula yang naik ke dek, menatap langsung arah angin. 

Bunda Khofifah, begitu saya akrab memanggilnya, memilih yang kedua. Sepasang boots karetnya bukan atribut seremonial. Ia benar-benar terjun, basah kuyup, kaki menjejak lumpur.

Lima tahun masa jabatannya (2019–2024) bisa dibilang adalah periode terpadat bencana dalam sejarah Jawa Timur modern.
Pandemi Covid global, karhutla, banjir bandang, letusan gunung, pagebluk ternak, dan segala turunan krisis yang mereka bawa terjadi. Maka, kalau hidup adalah ujian, maka lima tahun itu adalah ujian gabungan bagi beliau. Ada esai, pilihan ganda, dan praktek lapangan, semua di hari yang sama.

Buku ini membuktikan bahwa bencana tidak hanya dihadapi dengan alat berat dan logistik. Ada strategi, ada koordinasi, ada kepemimpinan. Ada juga hal yang lebih sulit diukur: empati.

Misalnya, ketika pompa banjir di Sampang harus diperbaiki sebelum Natal, Bunda Khofifah menepati janji. Ketika anak-anak TK merajuk ingin sekolah lagi, ia jawab dengan senyum dan logika sederhana. Dan ketika Rangga, bocah penjual donat, datang ke Grahadi, ia pulang bukan hanya dengan dagangan habis, tapi juga dengan beasiswa.

Khofifah-Indar-Parawansa-11.jpg

Membaca buku ini, saya merasa seperti ikut naik mobil dinasnya. Duduk di kursi belakang, mendengar suara patwal meraung, dan melihat sendiri bagaimana keputusan diambil di tengah jalan, bukan di ruang rapat.

Ada momen di mana kebijakan besar lahir dari data. Ada juga yang lahir dari tatapan mata korban bencana. Kombinasi keduanya itulah yang membuat kepemimpinannya terasa lengkap.

Saya percaya, buku ini bukan sekadar catatan masa lalu dari seorang jurnalis Lely Yuana. Buku ini adalah peta mental untuk masa depan. Siapa pun yang kelak memimpin daerah rawan bencana, bahkan negara, bisa belajar dari sini. Belajar bahwa kecepatan respons bukan berarti tergesa-gesa, dan ketegasan tidak harus kehilangan kelembutan.

Bunda Khofifah mungkin tidak pernah menyebut dirinya pahlawan. Tapi di mata banyak orang yang pernah ia dekati, ia sudah jadi “ibu” dalam arti yang paling luas.

Dan, di negeri yang rawan bencana seperti Indonesia, pemimpin dengan hati seperti itu adalah berkah sekaligus kebutuhan.

Selamat membaca. Lalu, bersiaplah! Karena buku ini akan membuat Anda melihat bencana bukan hanya dari sisi gelapnya, tapi juga dari cahaya yang bisa memecah awan. (*)

* Oleh Khoirul Anwar, CEO TIMES Indonesia National Network

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES