Rakyat Miskin Paling Banyak Minuman Kemasan Berpemanis, Cukai MBDK Perlu Segera Diterapkan

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI) menemukan masyarakat miskin paling banyak mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), sehingga cukai MBDK perlu segera diterapkan.
Quantitative Research Officer CISDI Salsabil Rifqi Qatrunnada dalam diskusi kelompok terpumpun di Jakarta, Rabu, menyampaikan, berdasarkan karakteristik rumah tangga, konsumsi MBDK lebih banyak ditemukan pada rumah tangga yang tergolong miskin (69 persen).
Advertisement
"Minuman ini bahkan sangat mudah didapatkan oleh anak-anak, kemudian rasanya juga enak sehingga mereka suka sekali mengonsumsi, apalagi harganya murah, ada yang bisa diperoleh dengan harga Rp1.000 saja," katanya.
Studi CISDI juga menemukan, konsumsi MBDK paling tinggi kedua yakni di rumah tangga yang tinggal di wilayah perkotaan (73,3 persen), dengan kepala RT yang menamatkan pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas sederajat (73 persen), dan 74,2 persen rumah tangga dengan kepala RT yang bekerja di sektor formal.
Salsabil juga menyebutkan, berdasarkan data Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), lebih dari 50 persen anak-anak di perkotaan dalam satu hari minimal mengonsumsi satu MBDK.
"Padahal, berdasarkan studi, gula yang berlebih di MBDK menimbulkan risiko faktor penyakit tidak menular, karies gigi, dan kolesterol. Semakin sering anak mengonsumsi MBDK, semakin besar anak terkena karies gigi," ujar dia.
Pro dan Kontra Penerapan Cukai MBDK
Kepala Pusat Kebijakan Sistem Ketahanan Kesehatan, Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) Kementerian Kesehatan Anas Ma'ruf menyampaikan data berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) tahun 2023, konsumsi minuman manis masyarakat Indonesia cenderung tinggi.
Masyarakat yang mengonsumsi minuman manis sebanyak satu kali atau lebih per hari yakni 47,5 persen, sebanyak satu hingga enam kali per minggu 43,3 persen, dan tiga kali atau lebih dalam sebulan sebesar 9,2 persen.
Menurut dia, masih terdapat pro dan kontra penerapan cukai MBDK, mengingat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebelumnya menetapkan peraturan tidak ada penambahan pajak baru pada tahun 2026, sehingga rekomendasi-rekomendasi kebijakan yang diberikan perlu lebih implementatif.
"Kami sudah melakukan koordinasi lebih lanjut hasil pembahasan Komisi XI DPR RI dengan Kemenkeu, rencana cukai MBDK diberlakukan pada tahun 2026," kata Anas.
Saat ini, lanjut dia, Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) Penanggulangan Penyakit, termasuk substansi penyakit tidak menular akibat konsumsi gula, garam, dan lemak yang tinggi kini sedang dalam proses harmonisasi.
Sebelumnya, DPR RI dan Pemerintah sepakat pungutan cukai MBDK akan diterapkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, namun besaran tarifnya masih perlu didiskusikan.
Hal itu sejalan dengan kenaikan target penerimaan kepabeanan dan cukai sebesar 7,7 persen menjadi Rp334,3 triliun.
“Ekstensifikasi barang kena cukai (BKC) antara lain penambahan objek cukai baru berupa MBDK untuk diterapkan pada APBN 2026, di mana pengenaan tarifnya harus dikonsultasikan dengan DPR,” kata Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |
Publisher | : Rizal Dani |