Peristiwa Daerah

Pemerhati Budaya Malang Ajak Hidup dengan Filosofi Mati Sajroning Urip

Senin, 15 September 2025 - 15:02 | 6.96k
KRA. Dwi Indrotito Cahyono Adiningrat, SH. M. Hum pemerhati budaya Jawa. (Foto: Dok TIN)
KRA. Dwi Indrotito Cahyono Adiningrat, SH. M. Hum pemerhati budaya Jawa. (Foto: Dok TIN)

TIMESINDONESIA, MALANG – Pemerhati budaya Malang, KRA Dwi Indrotito Cahyono Adiningrat, SH., M.M., mengajak masyarakat untuk menerapkan ajaran luhur Jawa berupa Mati Sajroning Urip dan Weruh Tulisan Tanpa Papan lan Suworo Tanpa Rupo. Menurutnya, filosofi ini menjadi jalan untuk mencapai kedamaian hati sekaligus menjauhkan diri dari ego duniawi.

Filosofi Mati Sajroning Urip

“Mati sajroning urip” bermakna mati dalam hidup, yakni mengendalikan ego, nafsu, dan keinginan duniawi agar seseorang mampu mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

Advertisement

Dwi Indrotito menjelaskan, ajaran ini mengajak manusia untuk mengesampingkan kenikmatan duniawi seperti makanan, tidur, maupun kesenangan ragawi. Dengan “mematikan” ego, manusia dapat memperoleh ketenangan dan kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan semu yang bergantung pada hal-hal materi.

Makna Weruh Tulisan Tanpa Papan lan Suworo Tanpa Rupo

Selain itu, Dwi Indrotito juga menyinggung tentang Weruh Tulisan Tanpa Papan lan Suworo Tanpa Rupo, yang menurutnya merupakan konsekuensi dari praktik Mati Sajroning Urip.

Frasa “tulisan tanpa papan” berarti kemampuan memahami sesuatu tanpa media fisik. Sedangkan “suara tanpa rupa” menandakan kemampuan menangkap kebenaran tanpa perantara suara atau wujud nyata.

“Weruh Tulisan Tanpa Papan lan Suworo Tanpa Rupo adalah gambaran tentang kemampuan untuk memahami kebenaran batin, bukan sekadar pengetahuan lahiriah yang ditangkap melalui indra,” ujarnya.

Jalan Menuju Kebenaran Batin

Pria yang juga menjabat Ketua AAI Malang Raya itu menegaskan bahwa kombinasi dua ajaran tersebut mengajak manusia untuk “mati” terhadap dunia fisik agar dapat “melihat” dan “mendengar” kebenaran spiritual.

“Manusia juga harus belajar mati selagi hidup. Supoyo weruh tulisan tanpo papan, suworo tanpo rupo, supaya bisa memahami tulisan tanpa papan dan suara tanpa rupa. Jangan sampai terbalik,” pungkasnya.(D)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES