Peristiwa Daerah

Viral Kasus Pengusiran Mantan Dosen UIN Malang, Pakar Hukum: RT dan RW Tak Punya Kewenangan Formal

Jumat, 03 Oktober 2025 - 19:30 | 6.31k
Mantan Dosen UIN Malang M Imam Muslimin atau Yai MIM yang diusir dari kediamannya oleh warga didukung oleh RT dan RW setempat. (Istimewa)
Mantan Dosen UIN Malang M Imam Muslimin atau Yai MIM yang diusir dari kediamannya oleh warga didukung oleh RT dan RW setempat. (Istimewa)

TIMESINDONESIA, MALANG – Kasus pengusiran seorang mantan dosen UIN Malang, M Imam Muslimin atau Yai MIM oleh warga RT 09 RW IX Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, terus menjadi sorotan publik. Terlebih, aksi pengusiran tersebut mendapat dukungan dari pengurus RT dan RW setempat.

Hal itu dibuktikan dengan keluarnya lembaran surat dengan Kop RT 09 RW IX Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, yang memerintahkan agar Yai MIM segera dikeluarkan dan meninggalkan rumahnya yang ada di Joyogrand Kavling Depag RT 9 RW 9.

Menanggapi hal ini, pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya (UB), Prof. Dr. Muchamad Ali Safaat, S.H., M.H., menegaskan bahwa dalam hukum formal, pengurus RT maupun RW tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pengusiran.

“Ya kalau bicara hukum formal ya memang enggak ada kewenangan RT, RW itu melakukan pengusiran,” ujarnya.

Meski begitu, Prof. Ali mengingatkan bahwa dalam kehidupan masyarakat, ada realitas lain di luar hukum formal yang sering dijadikan dasar penyelesaian masalah. Ia menyebutnya sebagai tatanan sosial, kebiasaan, atau kesepakatan bersama di lingkungan tertentu.

“Tapi kan kita memahami bahwa di samping hukum formal, kan memang ada tatanan yang biasa disebut sebagai kebiasaan atau semacam kesepakatan di masyarakat-masyarakat tertentu, yang itu dibutuhkan. kadang-kadang untuk menyelesaikan satu persoalan secara konkret,” jelasnya.

Menurutnya, perkara antarwarga atau antar-tetangga jarang bisa tuntas dengan jalur hukum. RT dan RW, meskipun tidak memiliki kewenangan hukum formal, kerap dipandang sebagai representasi warga untuk menjaga keteraturan dan keamanan lingkungan.

“Jadi memang kalau urusan antar tetangga ini kan tidak bisa menyelesaikan dengan proses hukum secara formal. itu tidak akan bisa menyelesaikan persoalan,” tegasnya.

Dia mencontohkan praktik lain di lingkungan masyarakat yang juga berjalan tanpa dasar kewenangan formal, namun tetap diterima secara sosial.

“Misalnya apakah kawasan RT, RW itu boleh mengatur mana yang satu jalur, mana yang tidak, tentu tidak bisa. Tapi secara real mereka yang hidup di situ, kemudian bertanggung jawab atas keamanan, kelancaran, ya memang juga secara nyata memiliki bisa disebut sebagai kewenangan, walaupun bukan kewenangan hukum,” ujarnya.

“Tapi kewenangan yang bisa dikatakan diberikan oleh masyarakat setempat untuk mengatur lingkungannya ya. Termasuk itu tadi, soal apakah sampai pengusiran atau tidak. kalau kita bicara kewenangan formal, ya enggak ada. setiap orang memiliki hak sebetulnya untuk bertempat tinggal di rumahnya dan sebagainya,” lanjutnya.

Prof. Ali menekankan bahwa persoalan seperti ini muncul karena sifatnya sudah menjadi masalah komunal. Maka, pendekatan hukum pidana justru dinilai tidak efektif.

“Nah tapi kan problemnya lalu dihadapkan pada kenyataan pada saat itu sudah menjadi persoalan komunal, kan berarti harus ada yang menyelesaikan. Dan kalau menggunakan pendekatan hukum, ya kan pasti selesainya lama, kan begitu,” katanya.

Menurutnya, komunikasi sosial di tingkat RT dan RW menjadi sangat penting, apalagi di kawasan urban dengan keragaman profesi dan generasi.

“Pendekatannya tentu harus menggunakan pendekatan sosial. Dimana dalam satu kesatuan sosial RT atau RW, itu lalu perlu ada komunikasi, yang bisa saja untuk kawasan urban itu agak lebih kompleks. Karena profesinya bisa bermacam-macam, ada yang profesi dosen, ada yang profesi ini itu,” jelasnya.

Dia menambahkan, perbedaan generasi juga berpengaruh dalam menyikapi persoalan di lingkungan. “Ada yang generasi saat ini yang mungkin cukup toleran. Maksudnya ruang toleransinya lebih luas soal kebisingan, tapi itu kan biasa. Tapi ada juga generasi, ya bisa dikatakan generasi yang lebih senior, yang berdasarkan pada pengalaman hidup dan kebiasaannya, ya ruang toleransinya berbeda, jadi mereka butuh ketenangan dan macam-macam,” ujarnya.

Karena itu, ia menekankan kembali bahwa penyelesaian konflik di masyarakat sebaiknya dilakukan di tingkat sosial, bukan dengan jalur hukum pidana.

“Jadi, nah itu semua memang penyelesaiannya ya harus di level masyarakat kecil itu. Yang menurut saya peran dari, lagi-lagi misalnya ketua RT, ketua RW, atau kemasyarakat yang justru lebih berperan untuk bisa menyelesaikan itu secara sosial. Bukan secara hukum,” katanya.

Dia menyebut, apabila persoalan semacam ini diselesaikan dengan cara hukum pidana, baginya penderitaan yang akan terjadi itu lebih besar jika dibandingkan dengan manfaat yang akan diperoleh. Karena pasti akan ada pihak yang harus dipidana

"Pasti membawa korban. Korban dalam arti orang yang harus ditindak pidana itu, dan itu kan pasti membekas," katanya.

"Jadi menurut saya penyelesaiannya harus lebih diarahkan ke penyelesaian sosial, bukan menggunakan instrumen hukum yang biasanya itu kan hitam putih,” pungkasnya. (*)

Advertisement

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES