Peristiwa Daerah

Mengapa Santri Terus Demo Trans7? Ini Alasan Menurut Ketum PBNU Gus Yahya

Minggu, 19 Oktober 2025 - 16:37 | 3.39k
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). (foto: istimewa)
Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). (foto: istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) menegaskan bahwa kemarahan warga NU dan santri terhadap tayangan Trans7 bukan semata karena lembaga pesantren atau organisasi NU diserang, tapi karena serangan itu menohok kelompok identitas bangsa. Tindakan itu dinilai PBNU sebagai tindakan yang berpotensi memecah keutuhan nasional.

Pernyataan itu disampaikan Gus Yahya dalam acara Kick Off Hari Santri Nasional 2025 di Auditorium Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Minggu (19/10/2025). Acara digelar oleh PWNU Jawa Timur bekerja sama dengan PBNU dan Pemprov Jatim.

Advertisement

“Tayangan itu tidak hanya melukai NU atau Lirboyo saja, tapi juga merendahkan kelompok identitas yang menjadi bagian dari kebangsaan Indonesia. Ini bukan soal institusi, ini soal jati diri bangsa,” tegasnya.

Kelompok Identitas, Fondasi Keindonesiaan

Menurut Gus Yahya, Indonesia berdiri di atas keberagaman identitas, agama, suku, ras, dan golongan. Setiap kelompok identitas adalah pilar kebangsaan yang saling menopang, bukan lawan yang harus disingkirkan.

“NU dan pesantren adalah kelompok identitas, sama seperti yang lain. Menyerang satu berarti mengoyak kain kebangsaan kita sendiri,” ujarnya.

Ia mengingatkan, politik kebencian dan serangan terhadap kelompok identitas tidak boleh dibiarkan tumbuh. Dalam sejarah Indonesia, pesantren selalu menjadi benteng moral yang menjaga keseimbangan sosial, bukan sumber perpecahan.

Dengan gaya khasnya, Gus Yahya mengumpamakan pentingnya kebersamaan dalam perbedaan melalui analogi sederhana.

“Dalam rumah tangga saja, soal sayur kurang asin bisa jadi masalah. Tapi bukan berarti harus berpisah. Begitu juga bangsa ini, kita boleh berbeda, tapi tidak boleh bercerai,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa NU harus lebih dulu bersatu secara internal, sebelum mengajak bangsa bersatu. “Kalau keluarga besar NU kok tidak rukun, bagaimana mau jadi penopang persatuan nasional?” tambahnya.

Adab dan Peradaban: Dua Sayap NU

Acara Kick Off Hari Santri itu juga ditandai dengan peluncuran buku “Resolusi Jihad NU: Perang Sabil di Surabaya 1945” karya Riadi Ngasiran, Ketua Lesbumi PWNU Jatim. Gus Yahya menyebut peluncuran buku ini sebagai pengingat bahwa NU dan santri memiliki DNA perjuangan kebangsaan yang kuat.

“Dulu santri mengawal kemerdekaan lewat Resolusi Jihad, kini santri harus mengawal peradaban agar cita-cita kemerdekaan tidak menyimpang,” katanya.

Ketua PWNU Jawa Timur, KH Abdul Hakim Mahfudz (Kiai Kikin), menambahkan bahwa pendidikan di bawah NU—baik umum maupun pesantren—harus tetap berpijak pada adab.

“Adab itu bukan romantisme masa lalu, tapi ajaran Nabi. Di situlah kunci lahirnya manusia berilmu dan berperadaban,” ujarnya.

Sementara Prof. Dr. Mohammad Nuh, Rais Syuriah PBNU sekaligus Ketua Yarsis, menekankan bahwa pembangunan peradaban tidak bisa lepas dari penguatan human capital.

“Pabrik peradaban itu ada di pesantren dan pendidikan. NU sedang menyiapkan 23 universitas untuk melahirkan SDM unggul menuju Indonesia Emas 2045,” ungkapnya.

Identitas yang Menyatukan

Peringatan Hari Santri ke-10 ini menjadi refleksi bahwa identitas bukan untuk memisahkan, tapi menyatukan. Serangan terhadap kelompok identitas agama atau sosial adalah ancaman terhadap fondasi keindonesiaan itu sendiri.

“Santri hari ini tidak hanya menjaga kitab dan masjid, tapi juga menjaga kohesi sosial. Karena dari santri, kita belajar bahwa kemarahan pun harus disalurkan dengan cara yang beradab,” pungkas Gus Yahya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES