Jihad Santri di Era Modern: Menjaga Nilai, Menjemput Peradaban
TIMESINDONESIA, LAMONGAN – Sepuluh tahun sudah sejak Hari Santri Nasional pertama kali ditetapkan pada 22 Oktober 2015. Waktu berjalan cepat, tetapi semangat jihad santri tidak pernah pudar. Justru kini, jihad santri menemukan bentuk baru: bukan lagi perjuangan mengangkat senjata, melainkan perjuangan menjaga nilai, ilmu, dan martabat bangsa di tengah derasnya arus globalisasi.
Bagi dunia pendidikan, seperti di lingkungan kampus Islam seperti Universitas Islam Lamongan (Unisla), semangat santri tidak boleh hanya dimaknai sebagai simbol sejarah. Dikatakan Rektor Unisla, Dr H Abdul Ghofur, Ia menjadi roh penggerak peradaban dengan menjadi cermin keikhlasan dan kesungguhan.
Advertisement
“Hari Santri tahun 2025 adalah hari yang istimewa. Sepuluh tahun sudah sejak pertama kali ditetapkan, kita menyaksikan semakin kuatnya peran pesantren dan santri dalam membangun bangsa,” ujar Rektor Unisla, Dr H Abdul Ghofur, Rabu (22/10/2026).
Menurut Ghofur di tengah kemajuan teknologi dan tantangan digital, santri masa kini menghadapi bentuk jihad yang jauh lebih kompleks. Ia mengatakan, santri dituntut untuk melek informasi, adaptif terhadap perubahan, dan tetap berpegang pada nilai-nilai pesantren.
Namun, belakangan ini justru ada fenomena yang menyedihkan: ulama dihina, ajaran agama dipelintir, dan nilai keikhlasan dipandang sebelah mata. Di sinilah dikatakan Ghofur santri mengambil peran dengan karya dan keteladanan. Membela marwah ulama lewat kontribusi nyata di bidang ilmu, sosial, dan kemanusiaan.
Ghofur pun berpesan, ketika dunia maya dipenuhi ujaran kebencian dan disinformasi, santri hadir sebagai penebar kesejukan dan pencerah akal publik. “Sebagai seorang santri, kita tidak hanya cukup diam saja ketika seorang kiai pesantren yang senantiasa ikhlas dan tulus menyampaikan ilmu agama malah dihina seenaknya. Maka kita wajib bertindak tegas untuk membela kiai kita,” ucapnya.
Sebab Ghofur menyebut, menjadi santri hari ini berarti menjadi penjaga moral dan akal sehat bangsa dengan tampil di ruang publik seraya berpegang pada etika, pengetahuan, dan karakter yang memuliakan kemanusiaan. Santri tidak boleh hanya menjadi penonton di tengah dinamika zaman, tetapi harus menjadi pelaku perubahan.
Karena itu, ditambahkan Ghofur, jihad santri di era modern bukan lagi tentang peperangan fisik, tetapi perjuangan menegakkan ilmu, akhlak, dan kemaslahatan. Ia minta, santri mampu memadukan tradisi dan inovasi, pesantren dan peradaban, agar nilai-nilai luhur Islam tetap menjadi cahaya bagi dunia.
“Jadilah santri yang berilmu, berakhlak, dan berdaya. Bawalah semangat pesantren ke ruang publik, dunia kerja, dan ranah internasional,” tuturnya.
Kini, saat memperingati Hari Santri Nasional 2025 dengan tema “Jihad Santri Jayakan Negeri,” Ghofur mengajak santri meneguhkan komitmen untuk menjadikan semangat santri sebagai energi pembangunan bangsa. Santri yang berilmu, berakhlak, dan berdaya akan menjadi penentu arah masa depan Indonesia yang damai, maju, dan berkeadaban. “Tunjukkan bahwa santri mampu menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar penonton,” katanya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Deasy Mayasari |
| Publisher | : Sholihin Nur |