Peristiwa Daerah

Akademisi UB Soroti Bias Kebijakan Tata Ruang di Balik Rencana Jalan Tembus Griya Shanta–Candi Panggung

Senin, 27 Oktober 2025 - 17:09 | 764
Lokasi ruas jalan tembus Griya Shanta menuju Candi Panggung. (Foto: Rizky Kurniawan Pratama/TIMES Indonesia)
Lokasi ruas jalan tembus Griya Shanta menuju Candi Panggung. (Foto: Rizky Kurniawan Pratama/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Rencana pembangunan jalan tembus antara Perumahan Griya Shanta dan Candi Panggung di Kota Malang kembali memantik perdebatan publik. Di balik klaim Pemerintah Kota Malang yang menyebut proyek itu sebagai solusi kemacetan, muncul kritik tajam dari akademisi UB (Universitas Brawijaya) yang menilai kebijakan tersebut sarat bias dan minim kajian data.

Ahli tata ruang Universitas Brawijaya, Prof. Dr. Ir. Budi Sugiarto Waloejo, M.S.P., menilai proyek jalan tembus itu terlalu terburu-buru tanpa landasan perencanaan yang kuat. Menurutnya, keputusan membuka akses baru mestinya didukung oleh data empiris dan analisis kebutuhan publik, bukan sekadar persepsi kemacetan.

Advertisement

“Argumen bahwa kawasan Simpang Lima Candi Panggung macet tidak sepenuhnya benar. Berdasarkan data penelitian mahasiswa kami di Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota UB, tingkat pelayanan jalannya masih di bawah angka satu — artinya masih lancar,” ujar Prof. Budi, saat ditemui awak media Minggu (26/10/2025) malam.

Data tersebut mengindikasikan bahwa klaim kemacetan yang dijadikan dasar proyek tidak cukup kuat untuk dijadikan justifikasi pembangunan jalan baru.

Bias Kepentingan dalam Tata Ruang Kota

Dalam kajian yang dilakukan oleh akademisi UB, muncul dugaan adanya bias kebijakan dalam rencana tata ruang. Prof. Budi menilai, pembukaan jalan tembus yang melewati kawasan padat penduduk berpotensi lebih menguntungkan pihak swasta dibanding masyarakat.

“Kalau tujuannya mengurai lalu lintas, cukup dengan manajemen rekayasa jalan. Tapi jika pembukaannya mengarah ke wilayah tertentu yang punya nilai komersial, itu perlu diawasi,” ujarnya.

Ia menyebut fenomena ini sebagai gejala “tata ruang pesanan” — ketika perubahan peruntukan lahan disesuaikan untuk kepentingan pengembang tertentu, bukan kebutuhan warga.

Akademisi UB Dorong Transparansi Data dan Partisipasi Publik

Menurut Prof. Budi, perubahan tata ruang seharusnya berbasis data terbuka dan disertai partisipasi publik. Ia menegaskan bahwa pemerintah daerah wajib mempublikasikan hasil kajian teknis, analisis dampak lingkungan (AMDAL), serta pertimbangan sosial sebelum kebijakan dijalankan.

“Setiap perubahan tata ruang harus bisa diuji publik. Warga berhak tahu dasar keputusan itu diambil, termasuk siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan,” tegasnya.

Akademisi UB tersebut juga mengingatkan agar Pemkot Malang tidak mengabaikan aspek sosial. Warga RW 12 Griya Shanta, yang menolak pembukaan akses baru, disebut memiliki posisi hukum yang sah.

“Kalau warga menolak, itu bentuk kontrol sosial yang sehat. Pemerintah seharusnya membuka dialog, bukan memaksakan proyek,” katanya.

Ketimpangan Narasi: Antara Data dan Kepentingan

Sementara Pemkot Malang tetap berpegang pada argumen teknis. Kepala Dinas Perhubungan Kota Malang, Widjaja Saleh Putra, menyebut tingkat kejenuhan Jalan Candi Panggung sudah mencapai 0,8 hingga 0,9 — mendekati batas kritis 1,0. Namun, akademisi UB menilai data tersebut perlu diinterpretasi secara kontekstual.

“Angka kejenuhan tinggi di jam sibuk tidak serta-merta berarti jalan harus ditembus. Perlu dipetakan siapa pengguna jalan dominan, apa pola mobilitasnya, dan apakah solusi rekayasa lalu lintas sudah diuji terlebih dahulu,” ujar Prof. Budi.

Dari analisis tersebut, tampak adanya perbedaan paradigma: pemerintah berpikir dalam kerangka infrastruktur fisik, sementara akademisi menekankan pendekatan berbasis bukti (evidence-based policy).

Evaluasi Kebijakan Diperlukan Sebelum Konflik Melebar

Melihat risiko sosial yang mengintai, akademisi UB mendesak agar proyek ini dikaji ulang secara multidisipliner. Selain aspek teknis lalu lintas, perlu ditinjau pula implikasi sosial, hukum, dan ekonomi yang mungkin muncul.

“Kalau datanya lemah dan risiko konflik tinggi, sebaiknya ditunda. Infrastruktur seharusnya membangun harmoni sosial, bukan menimbulkan resistensi,” pungkas Prof. Budi. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES