Pernikahan Dini di Jatim Masih Tinggi, Siswa SMAN 19 Ajak Hindari Jadi Janda Usia Sekolah
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Angka pernikahan dini di Provinsi Jawa Timur (Jatim) masih tinggi dan menjadi pekerjaan rumah tersendiri. Berdasarkan data dari Pengadilan Tinggi Agama Tahun 2024, jumlah pernikahan dini di Jawa Timur mencapai 8.164 perempuan dan 1.541 laki-laki.
Sementara itu, tercatat 3.552 permohonan dispensasi kawin masuk ke Pengadilan Tinggi Agama Jatim antara Januari hingga Juni 2025. Rata-rata, sekitar 20 anak menikah setiap hari di provinsi ini, yang sebagian besar disebabkan oleh kehamilan di luar nikah.
Advertisement
Beberapa kabupaten seperti Pasuruan dan Bojonegoro menjadi wilayah dengan kasus dispensasi kawin terbanyak di Jatim. Sekitar 80% pengajuan dispensasi nikah di Jatim disebabkan oleh kehamilan di luar nikah.
Berbagai upaya untuk menekan angka pernikahan dini pun dilakukan oleh pemerintah melalui Kemendukbangga/BKKBN Perwakilan Provinsi Jatim.
Salah satunya dengan menggelar sosialisasi Stop Pernikahan Dini agar Tidak Menjadi JUS (Janda Usia Sekolah) di SMAN 19 Kota Surabaya, Senin (10/11/2025).
Acara tersebut berkolaborasi bersama DP3APPKB Kota Surabaya, Pokja Instan Jurnalistik Keluarga Berencana (PIJAR), serta pihak SMAN 19 Surabaya.
Hadir dalam kesempatan tersebut, Pelaksana Harian (Plh) Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur, Sukamto, Kepala SMAN 19 Surabaya, Agustina Pertiwiningrum, serta narasumber inspiratif seperti Dr. Lia Istifhama, Soffy Balgies, M.Psi., Psikolog, Astri Kurniasari, S.Tr.Keb, dan Akbar Maulida Arissadewa, S.Ked.
Kegiatan ini bukan sekadar sosialisasi, tetapi gerakan moral yang menggugah kesadaran generasi muda untuk lebih mencintai masa depan mereka.
Ratusan siswa tampak antusias menyimak paparan para narasumber yang berbicara tentang isu yang begitu dekat dengan kehidupan remaja pernikahan dini.
Plh. Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Jawa Timur, Sukamto, menegaskan bahwa remaja merupakan aset penting bangsa, calon ayah dan ibu masa depan yang perlu disiapkan dengan baik.
Ia menyoroti pentingnya tiga hal yang harus dihindari generasi muda: pernikahan dini, narkoba, dan hubungan pranikah tanpa pengetahuan kesehatan reproduksi yang benar.
“Masih banyak kasus pernikahan dini di beberapa daerah Jawa Timur. Dampaknya bukan hanya pada kesiapan mental dan ekonomi, tetapi juga berpotensi melahirkan anak-anak stunting. Itulah sebabnya, pemerintah mendorong agar usia ideal menikah 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki dapat benar-benar dipahami oleh para remaja,” jelas Sukamto.
Ia menambahkan, gerakan ini harus terus berlanjut hingga ke tingkat SMP dan pondok pesantren, dengan dukungan media dan komunitas pendidikan.
“Kami berharap kolaborasi seperti ini menjadi langkah kecil menuju zero pernikahan usia dini di Jawa Timur,” ujarnya penuh harap.
Sementara itu, Agustina Pertiwiningrum, Kepala SMAN 19 Surabaya, menyampaikan rasa terima kasih atas terselenggaranya kegiatan ini di sekolah yang dipimpinnya.
Baginya, edukasi seperti ini sangat penting untuk membentengi siswa dari keputusan-keputusan yang bisa merugikan masa depan mereka.
“Program ini sangat membantu sekolah. Anak-anak perlu tahu risiko dan dampak dari pernikahan dini. Kami berharap mereka bisa fokus pada pendidikan dan menggapai cita-cita sebelum memikirkan pernikahan,” ujarnya.
Agustina juga menjelaskan bahwa di sekolahnya telah terbentuk Sekolah Siaga Kependudukan (SSK) dan PIK-R (Pusat Informasi dan Konseling Remaja), yang menjadi ruang aman bagi siswa untuk berbagi cerita dan mendapat pendampingan.
“Melalui SSK dan PIK-R, kami membentuk konselor sebaya yang siap mendengarkan curhatan teman-temannya. Sekolah harus menjadi tempat ternyaman bagi anak-anak, tempat mereka tumbuh tanpa takut dihakimi,” tambahnya penuh empati.
Ketua Pokja PIJAR, Tunggal Teja Asmara, menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian jurnalis terhadap masa depan generasi muda.
“Kami ingin menyampaikan pesan moral bahwa pernikahan dini bukan solusi, melainkan awal dari banyak masalah. Melalui edukasi ini, kami ingin membangun kesadaran, memperkuat karakter, dan menumbuhkan semangat generasi muda untuk merencanakan masa depan dengan matang,” ujarnya.
Ia berharap sinergi antara jurnalis, pemerintah, dan sekolah terus berlanjut.
“Kegiatan ini adalah awal dari gerakan berkelanjutan. Semoga dari SMAN 19 Surabaya, pesan ini menyebar ke sekolah-sekolah lain di seluruh Jawa Timur,” tegasnya.
Kegiatan edukasi yang diikuti sekitar 500 siswa itu berjalan lancar dan penuh semangat. Para siswa tampak aktif bertanya dan berbagi pandangan tentang masa depan, cita-cita, serta pentingnya menjaga diri dari risiko pernikahan dini.
Di akhir acara, suasana haru dan bangga menyelimuti ruangan. Para guru, jurnalis, dan pejabat yang hadir tersenyum melihat antusiasme generasi muda yang kini semakin sadar akan pentingnya menata masa depan.
Gerakan “Stop Pernikahan Dini agar Tidak Menjadi JUS (Janda Usia Sekolah)” bukan hanya sekadar edukasi, tetapi bentuk kasih dan kepedulian terhadap masa depan anak-anak bangsa.
Mereka bukan sekadar murid di sekolah mereka adalah harapan negeri yang perlu dijaga, dibimbing, dan dikuatkan agar tumbuh menjadi generasi yang cerdas, berdaya, dan berakhlak mulia. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Deasy Mayasari |
| Publisher | : Sholihin Nur |