Menlu Turki: Israel Ingin Tetangganya Terpecah Belah Agar Bisa Memperluas Wilayahnya

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tidak perlu berdalih, Israel sedang melakukan genosida di Gaza dan menginginkan tetangganya terpecah belah, tersebar, dan lemah, kemudian jelas menginginkan memperluas wilayahnya dalam jangka panjang dan tidak pernah meninggalkan tujuannya itu.
Penegasan itu disampaikan Menteri Luar Negeri Turki, Hakan dalam sebuah konferensi di Institut Hubungan Internasional di Roma, Jumat (12/9/2025) kemarin.
Advertisement
Fidan menyatakan, bahwa ada kemungkinan pergeseran besar dalam definisi tujuan keamanan di kawasan Teluk.
"Sekarang sudah semakin jelas tentang Israel, bahkan Amerika Serikat pun tidak akan mampu menjamin keamanan, karena semua kebijakan Israel dikecualikan oleh Amerika Serikat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran besar di negara-negara Teluk," ujarnya.
Karena itu Hakan Fidan menegaskan, perlunya menekan Israel dan rencananya di Suriah yang menginginkan tetangganya itu terpecah belah, tersebar, dan lemah, dan tidak ingin melihat negara-negara lain dalam posisi ekonomi atau politik yang baik.
Menurutnya, mengakui realitas di jalur Gaza dan mengungkap kejahatan Israel terhadap kemanusiaan adalah langkah pertama menuju dunia yang adil.
Dalam konferensi itu, Hakan Fidan menjelaskan bahwa Gaza akan masuk dalam agenda Majelis Umum PBB, dan akan menjadi ujian bagi masyarakat internasional untuk membedakan antara yang benar dan yang salah.
"Tidak perlu berdalih. Israel sedang melakukan genosida di Gaza, dan dukungan tegas Italia akan menjadi lebih penting dari sebelumnya," tambahnya.
"Para pemimpin politik Israel di masa depan harus menyadari bahwa masa depan Israel dan bangsa Arab di kawasan ini harus dibangun diatas kesejahteraan, kehormatan, dan keamanan bersama," lanjutnya.
Pejabat Turki itu juga menekankan bahwa badai geopolitik yang dihadapi benua Eropa saat ini bisa dihindari dengan kehadiran Turki di meja perundingan Uni Eropa.
Patut dicatat, dengan dukungan Amerika Serikat, Israel telah melakukan genosida di Gaza sejak 7 Oktober 2023, yang telah membunuh 64.756 warga Palestina, melukai 164.059 orang lainnya serta mengubur hidup-hidup puluhan ribu lewat penghancuran rumah dan gedung pengungsian. Tragisnya sebagian besar korban-korban itu adalah anak-anak dan perempuan.
Ratusan ribu warga Palestina juga diping-pong dengan cara dipaksa mengungsi kemana-mana. Terakhir Israel sengaja menciptakan bencana kelaparan yang telah merenggut nyawa 413 warga Palestina, termasuk 143 anak-anak.
Palestina Tanpa Hamas
Sementara itu dilansir Turkey Today, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengadopsi "Deklarasi New York", sebuah resolusi yang dirancang untuk menghidupkan kembali momentum solusi dua negara untuk konflik Israel-Palestina, dan sambil secara eksplisit mengecualikan Hamas dari kepemimpinan masa depan di Gaza.
Resolusi tersebut disahkan dengan 142 suara mendukung, 10 suara menentang termasuk Israel dan Amerika Serikat.
Deklarasi tersebut juga menyatakan bahwa Hamas harus menyerahkan kendali atas Gaza kepada Otoritas Palestina, dengan dukungan internasional, untuk membuka jalan bagi negara Palestina yang berdaulat dan merdeka.
Pemungutan suara dilakukan menjelang pertemuan puncak tingkat tinggi PBB yang akan dipimpin bersama oleh Riyadh dan Paris pada 22 September mendatang, dimana Presiden Prancis Emmanuel Macron telah berjanji untuk secara resmi mengakui negara Palestina.
Resolusi tersebut mengecam keras Hamas atas serangan 7 Oktober 2023, menuntut agar kelompok tersebut melucuti senjata dan membebaskan semua sandera, serta menyerukan aksi internasional kolektif untuk mengakhiri perang di Gaza.
Secara resmi diberi judul Deklarasi New York tentang Penyelesaian Damai Masalah Palestina dan Implementasi Solusi Dua Negara, resolusi tersebut diajukan bersama oleh Arab Saudi dan Prancis dan sebelumnya telah mendapat dukungan dari Liga Arab dan 17 negara anggota PBB.
Deklarasi ini menggarisbawahi perlunya Hamas mengakhiri kekuasaannya di Gaza, dengan menyerahkan persenjataannya kepada Otoritas Palestina di bawah pengawasan internasional, sebagai bagian dari peta jalan yang lebih luas menuju perdamaian abadi.
Rencana itu mencakup gencatan senjata, pembentukan negara Palestina, pelucutan senjata Hamas, dan normalisasi hubungan antara Israel dan negara-negara Arab.
Duta Besar Prancis, Jerome Bonnafont, yang mengajukan resolusi tersebut, menggambarkannya sebagai "sebuah peta jalan tunggal untuk mewujudkan solusi dua negara," yang menekankan komitmen Otoritas Palestina dan negara-negara Arab terhadap perdamaian dan keamanan.
Ia juga menyoroti pentingnya gencatan senjata segera dan pembebasan sandera.
Perwakilan AS, Morgan Ortagus, menentang keras resolusi tersebut, menyebutnya sebagai aksi publisitas yang salah arah dan tidak tepat waktu yang menguntungkan Hamas dan merusak upaya diplomatik yang sesungguhnya.
Ia mengkritik bahasa deklarasi yang mendukung apa yang disebut “hak untuk kembali,” dan memperingatkan bahwa hal itu mengancam status Israel sebagai negara Yahudi.
"Resolusi ini merupakan hadiah bagi Hamas," ujar Ortagus, seraya menambahkan bahwa melucuti senjata Hamas dan membebaskan sandera adalah kunci untuk mengakhiri perang. Ia mendesak negara-negara lain untuk bergabung dengan AS dalam menentang deklarasi tersebut.
Namun Menlu Turki, Hakan Fidan telah menegaskan, bahwa Israel Israel sedang melakukan genosida di Gaza bahkan menginginkan tetangganya terpecah belah, tersebar, dan lemah, kemudian akan dengan mudah memperluas wilayahnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Faizal R Arief |
Publisher | : Sholihin Nur |