Peristiwa Internasional

Lee Jae Myung dan Xi Jinping Gelar Pertemuan Puncak Bahas Denuklirisasi Semenanjung Korea

Sabtu, 01 November 2025 - 13:16 | 650
Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung. (ANTARA/Anadolu)
Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung. (ANTARA/Anadolu)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung dan Presiden China Xi Jinping dijadwalkan menggelar pertemuan puncak pada Sabtu (1/11/2025) di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Gyeongju, Korea Selatan. Pertemuan ini menjadi momentum penting, karena merupakan kunjungan pertama Xi ke Korea Selatan dalam 11 tahun terakhir.

Pertemuan dua pemimpin Asia Timur ini akan membahas berbagai isu strategis, termasuk denuklirisasi di Semenanjung Korea, perdamaian kawasan, dan kerja sama ekonomi bilateral. Isu ini menjadi semakin krusial di tengah meningkatnya ketegangan antara Korea Selatan dan Korea Utara (Korut), serta rivalitas global antara Amerika Serikat (AS) dan China yang turut memengaruhi dinamika kawasan.

Advertisement

Upaya Menjaga Keseimbangan Diplomatik

Pemerintahan Lee Jae Myung tengah menghadapi tantangan besar untuk menyeimbangkan hubungan dengan dua kekuatan besar dunia: AS sebagai sekutu keamanan utama, dan China sebagai mitra dagang terbesar sekaligus sekutu tradisional Korea Utara.

Dalam konferensi pers pada Jumat (31/10), Juru Bicara Kepresidenan Korsel Kang Yu-jung menyebut pertemuan ini akan menyoroti “pelucutan senjata nuklir di Semenanjung Korea, perdamaian dan stabilitas kawasan, serta isu-isu ekonomi yang memengaruhi kesejahteraan rakyat.”

Lee mengusung pendekatan yang disebutnya “diplomasi pragmatis”, yaitu kebijakan luar negeri yang menekankan keseimbangan, kepentingan nasional, dan kerja sama lintas blok tanpa terjebak dalam rivalitas ideologis.

“Korea Selatan akan membangun hubungan yang lebih seimbang dan berorientasi masa depan dengan China,” ujar Lee dalam pernyataannya, menekankan pentingnya peran Beijing sebagai mitra kawasan dan pendukung perdamaian Semenanjung Korea.

Harapan Baru untuk Denuklirisasi

Salah satu agenda utama pertemuan Lee dan Xi adalah membahas denuklirisasi Semenanjung Korea, isu yang telah mandek sejak 2019. Upaya diplomatik sebelumnya sempat menemui jalan buntu setelah pertemuan antara pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dan Presiden AS saat itu, Donald Trump, gagal mencapai kesepakatan konkret.

Lee Jae Myung berharap Beijing dapat berperan konstruktif dalam memfasilitasi dialog baru dengan Pyongyang, mengingat pengaruh China yang signifikan terhadap Korea Utara.

“China memiliki peran kunci dalam menjaga stabilitas kawasan dan mendorong kembali proses perdamaian,” ujar salah satu penasihat kebijakan luar negeri Lee kepada media lokal.

Namun, hingga saat ini, Korea Utara masih menolak tawaran dialog terbuka dari Seoul. Bahkan, Pyongyang tidak merespons ajakan terbaru Presiden Trump untuk melakukan pertemuan trilateral dengan Lee Jae Myung dan Kim Jong-un di sela kunjungan Trump ke Korsel.

Bayang-bayang Ketegangan Ekonomi dan Sanksi

Pertemuan puncak Korsel–China ini juga berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan ekonomi antara Beijing dan Washington, yang turut menimbulkan efek domino terhadap Seoul.

Bulan lalu, China mengumumkan langkah balasan terhadap lima anak perusahaan Amerika Serikat di bawah Hanwha Ocean, menuduh mereka bekerja sama dengan pemerintah AS dalam penyelidikan terhadap industri maritim dan galangan kapal China.

Kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di Korea Selatan, mengingat perusahaan-perusahaan tersebut berperan penting dalam proyek pembangunan galangan kapal strategis AS-Korsel. Beberapa analis menilai langkah Beijing itu sebagai sinyal keras terhadap negara-negara sekutu Washington di Asia Timur.

Ekonom dari Yonsei University, Dr. Park Sung-hoon, menyebut bahwa posisi Korsel kini semakin rumit.

“Korea Selatan berada di antara dua kekuatan besar dengan kepentingan yang saling bertentangan. Tantangannya adalah menjaga hubungan ekonomi yang sehat dengan China tanpa mengorbankan komitmen keamanan dengan AS,” ujar Park.

Momentum Baru dalam Hubungan Korsel–China

Kunjungan Xi ke Korea Selatan setelah lebih dari satu dekade dianggap sebagai upaya untuk memulihkan kepercayaan diplomatik yang sempat renggang akibat kebijakan keamanan Seoul yang dekat dengan Washington, terutama dalam isu pertahanan rudal dan Indo-Pasifik.

Pemerintahan Lee Jae Myung berusaha membuka lembaran baru dalam hubungan dengan Beijing. Dalam beberapa bulan terakhir, kedua negara telah meningkatkan komunikasi tingkat tinggi, termasuk pembicaraan antara Menteri Luar Negeri Korsel Park Jin dan Menteri Luar Negeri China Wang Yi.

Analis politik luar negeri dari Hankuk University, Kim Yeon-su, menilai bahwa pertemuan Lee dan Xi bisa menjadi “batu loncatan penting untuk mencairkan ketegangan dan membuka jalur kerja sama konkret, khususnya di bidang energi, semikonduktor, dan stabilitas rantai pasok regional.”

Hubungan Segitiga dengan Amerika Serikat

Pertemuan Lee dan Xi juga terjadi hanya dua hari setelah Presiden Lee bertemu Presiden AS Donald Trump di Seoul. Dalam pertemuan tersebut, kedua negara menandatangani kesepakatan dagang baru yang menurunkan tarif ekspor produk teknologi Korea Selatan ke AS, serta persetujuan penggunaan bahan bakar nuklir untuk proyek kapal selam bertenaga nuklir Korsel.

Kesepakatan itu menegaskan kedekatan Seoul dengan Washington di bidang pertahanan dan teknologi strategis — sebuah langkah yang kemungkinan akan menjadi poin sensitif dalam pembicaraan Lee dengan Xi.

Meskipun demikian, Lee menegaskan bahwa hubungan ekonomi dan keamanan dengan AS tidak dimaksudkan untuk merugikan kepentingan China.

“Korea Selatan tidak akan menjadi pihak yang memihak, melainkan mitra yang rasional dan pragmatis bagi semua pihak,” tegasnya.

Menatap Masa Depan Diplomasi Asia Timur

Pertemuan Lee Jae Myung dan Xi Jinping di Gyeongju dipandang sebagai ujian penting bagi kebijakan luar negeri Korea Selatan di era baru geopolitik Asia Timur.

Di satu sisi, Seoul ingin memperkuat hubungan ekonomi dengan China untuk menjaga pertumbuhan industri dan perdagangan. Di sisi lain, tekanan politik dan keamanan dari Washington membuat Korea Selatan harus berhati-hati agar tidak dianggap condong ke satu pihak.

Analis memperkirakan hasil pertemuan ini akan menjadi tolak ukur arah diplomasi Korsel ke depan, terutama dalam menavigasi peran sebagai jembatan antara kekuatan Barat dan Timur.

“Jika Lee berhasil menyeimbangkan hubungan dengan Xi tanpa mengganggu komitmennya dengan Trump, itu akan menjadi pencapaian diplomatik besar bagi Korea Selatan,” tulis The Korea Herald dalam editorialnya.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Imadudin Muhammad
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES