In Memoriam Suryadharma Ali: Senyap yang Menyala untuk Umat

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Saya terdiam pagi ini, Kamis (31/7/2025). Kabar itu datang bukan seperti petir. Tapi seperti angin subuh. Dingin. Menusuk.
Pak SDA (Suryadharma Ali) wafat. Pukul 04.12 WIB. Di RS MMC, Jakarta. Begitu WA salah satu sahabat di Kemenag.
Advertisement
Jakarta yang sudah terang, tapi terasa sendu. Innalillahi wa Inna ilaihi raji'un.
Saya tidak langsung percaya. Karena buat saya, sosok yang satu ini seperti tak mungkin pergi begitu saja. Ia bukan tokoh gaduh. Tapi ia punya jejak panjang dalam sunyi.
Saya kenal beliau. Bukan di ruang rapat. Bukan di atas panggung politik.
Tapi dalam percakapan yang jernih. Di sela-sela tugas.
Sosoknya tenang. Bahkan terlalu tenang untuk ukuran seorang Ketua Umum partai. Nada bicaranya berat. Khas. Tapi kalimatnya penuh empati. Bukan retorika, namun refleksi.
Saya ingat benar percakapan kami tentang haji. Ia seperti punya visi besar: "Mas Anwar,” katanya waktu itu, “uang umat jangan disimpan doang. Harus bermanfaat.”
Maka di bawah kepemimpinannya sebagai Menteri Agama (2009–2014), dana haji mulai dikelola dengan pendekatan yang produktif, transparan, dan maslahat. Ia berani mengubah struktur biaya.
Paspor gratis. Transportasi lokal, makan, bahkan hotel transit; semua dibebaskan.
Dibiayai dari hasil manfaat simpanan dana haji. Tidak membebani APBN. Tidak pula menyentuh pokok dana jemaah.
Baginya, ini bukan kehebatan. Tapi kewajiban. “Ini uang umat. Harus kembali ke umat.” katanya.
Dan rencananya jauh lebih visioner. Ia ingin membangun pemondokan jemaah Indonesia langsung di Mekkah.
Bukan kontrak tahunan yang membakar dana. Tapi investasi jangka panjang. Bekerja sama dengan pengusaha nasional.
Ia juga pernah merancang pembelian Airbus A380 untuk transportasi haji. Bukan main-main. Tapi agar jemaah bisa lebih nyaman.
Masa tinggal dipangkas dari 40 hari menjadi 30. Lebih efisien. Lebih manusiawi.
Pak SDA tidak hanya sibuk dengan angka dan grafik. Ia juga turun ke pesantren. Menghidupkan kembali Dana Abadi Umat.
Dari situ, ratusan masjid bisa dibangun tiap tahun. Tanpa APBN, tanpa proposal berbelit.
Ia percaya, umat butuh kehadiran negara. Tapi lebih dari itu, negara harus hadir dengan ikhlas.
Itulah sebabnya ia sering mengutip ini; "Khairunnaas anfa’uhum linnas". Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Tanggung Jawab Nomor Satu
Tapi, politik sering tak seindah niat. Ketika badai datang, ia tidak mengelak.
Kasus dana haji menyeretnya ke pengadilan. Ia dijatuhi vonis. Dipenjara.
Pak SDA pu turun dari panggung. Tapi tidak pernah melarikan diri dari tanggung jawab.
Saya menyaksikan masa-masa itu. Saya pernah menemuinya, saat kamera-kamera televisi sudah berpindah ke tempat lain.
Ia tetap tenang. Dengan mata yang sayu tapi suara yang jernih, ia berkata: “Saya tidak merasa bersalah dalam niat. Tapi biarlah hukum berjalan. Saya siap.”
Tidak semua orang bisa setegar itu. Apalagi setelah pernah ada di puncak kuasa.
Yang membuat saya takjub, banyak pengacaranya mendampingi tanpa bayaran. “Pak SDA itu orang baik,” kata salah satu kuasa hukumnya waktu itu.
“Kalau dia salah, bukan karena niat. Tapi sistem.”
Setelah bebas, ia tidak kembali ke politik. Ia juga tidak menyalahkan siapa pun. Ia memilih jalan sunyi. Mengajar anak-anak muda di pesantrennya.
Mendatangi madrasah terpencil. Memberi dana, dari sisa tabungan dan loyalis yang masih percaya padanya.
Dan ia melakukannya tanpa publikasi. Bukan pencitraan. Tapi pengabdian yang tersisa.
“Biar saya mati dengan husnul khatimah,” katanya kepada salah satu koleganya suatu kali. “Bukan sebagai pejabat. Tapi sebagai ayah, suami, dan hamba Allah.”
Dan pagi ini, Allah memanggilnya. Lengkap dengan semua takdirnya. Dengan segala pujian dan luka. Dengan catatan hitam dan putihnya.
Dan, hari ini pula saya ingin mengingat Suryadharma Ali bukan sebagai “terpidana”. Bukan sebagai eks Ketua Umum PPP. Tapi sebagai bapak umat. Orang tua yang pernah mencoba membawa manfaat dari dana umat kembali ke umat.
Sebagai menteri yang pernah menyederhanakan haji.
Menyehatkan pengelolaan keuangan keagamaan, dan menyalakan kembali cahaya masjid-masjid kecil di desa.
Pak SDA bukan manusia sempurna. Tapi dia pernah menjadi lentera.
Dan untuk itu, saya merasa wajib menulis ini. Agar generasi setelah kita tahu, bahwa di balik headline negatif, ada manusia yang pernah bekerja dengan hati.
Selamat jalan, Pak SDA. Jalan Sampean kini sudah lapang. Menuju panggilan-Nya yang paling suci dengan Husnul khatimah. Aamiin. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Khoirul Anwar |
Publisher | : Rizal Dani |