5.626 Anak Keracunan MBG, Program Gizi Gratis yang Jadi Bumerang

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang awalnya dipuji sebagai salah satu gebrakan pemerintahan baru, kini menghadapi badai kritik. Alih-alih memperbaiki kualitas gizi generasi muda, program ini justru memicu gelombang keracunan massal.
Data resmi mencatat 5.626 kasus keracunan di 16 provinsi hingga September 2025. Angka itu melonjak drastis dari 1.376 kasus pada Juni lalu, atau naik hampir empat kali lipat hanya dalam tiga bulan. Pekan kemarin, dua peristiwa besar kembali mencuat: lebih dari 300 anak di Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, dan 569 anak di Garut, Jawa Barat dilarikan ke rumah sakit dengan gejala keracunan setelah menyantap menu MBG.
Advertisement
Kasus demi kasus ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah program MBG harus dihentikan sementara untuk evaluasi menyeluruh, atau bahkan dialihkan anggarannya ke sektor lain, seperti pendidikan?
Ambisi Politik, Tata Kelola yang Rapuh
Sejak awal, pemerintah menargetkan MBG menjangkau 82,9 juta anak hingga akhir 2025. Namun, di balik target ambisius itu, tata kelola terlihat rapuh.
Menurut Diah Saminarsih, Founder dan CEO lembaga kajian CISDI, program ini sejak awal dijalankan terburu-buru.
“Program makan bergizi gratis adalah pangkal persoalan. Demi mengejar target yang sangat masif, kualitas tata kelola penyediaan makanan hingga distribusinya dikorbankan,” ujarnya, yang dikutip dari BBC, Sabtu (27/9/2025).
Ia menegaskan, program yang belum siap dari sisi regulasi, keamanan pangan, dan monitoring justru membuka celah masalah baru. Menu MBG di banyak sekolah pun diwarnai makanan ultra-proses seperti burger dan susu berperisa tinggi gula—kontradiktif dengan klaim meningkatkan gizi anak.
“Jika pemerintah bersikukuh melanjutkan tanpa evaluasi total, kasus keracunan akan terus berulang dan yang menjadi taruhan adalah kesehatan anak-anak,” tambah Diah.
Orang Tua Resah: Dari Trauma hingga Usulan Konversi
Kekhawatiran masyarakat kian terasa di berbagai daerah. Banyak orang tua mulai melarang anaknya memakan MBG, lebih karena rasa takut daripada manfaat yang dijanjikan.
Lina (42), ibu rumah tangga di Makassar, mengaku kecewa. Dari tiga anaknya, hanya satu yang menerima MBG. Namun menu yang diberikan justru membuatnya ragu.
“Katanya bergizi, tapi kok ada burger? Itu kan lebih mirip junk food. Kadang hanya telur dan tempe, ya sama saja dengan menu di rumah,” ujarnya.
Ia menilai lebih baik dana MBG, yang bersumber dari anggaran pendidikan hingga Rp335 triliun, dialihkan untuk pendidikan gratis tanpa pungutan.
“Kalau dana itu dipakai agar sekolah betul-betul gratis, orang tua tidak lagi pusing biaya seragam atau buku. Urusan gizi bisa ditangani keluarga sendiri,” tambahnya.
Pandangan serupa muncul dari Pras (40), orang tua siswa asal Batang, Jawa Tengah. Ia menyoroti persoalan distribusi.
“Masak jam dua pagi, sampai sekolah jam 12 siang, wajar kalau basi. Kalau mau tetap ada, biar sekolah yang kelola dapurnya. Kalau tidak, ya lebih baik dialihkan ke pendidikan,” katanya.
Namun tidak semua suara bernada penolakan. Catur, orang tua siswa di Semarang, menilai MBG masih bisa diteruskan dengan catatan ketat.
“Makanannya kadang membantu gizi anak, tapi kadang basi. Jadi yang harus diperkuat itu pengawasan dan standar dapurnya,” ujarnya.
Surat Edaran Misterius dan Isu Transparansi
Situasi kian runyam ketika beredar surat pernyataan di sejumlah sekolah di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Surat itu mencantumkan tanggung jawab orang tua atas segala risiko MBG, bahkan kewajiban mengganti tray makan yang hilang seharga Rp80 ribu. Lebih parah, surat itu melarang orang tua menyebarkan informasi ke luar jika terjadi keracunan.
Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana membantah keras. Ia menegaskan BGN tidak pernah mengeluarkan surat tersebut.
“Kami justru mendorong semua satuan pelayanan gizi untuk terbuka, termasuk mempublikasikan menu harian di media sosial,” ujarnya.
Meski begitu, persoalan transparansi tetap menghantui. Hingga kini, dashboard pelaporan publik yang dijanjikan belum tersedia. Padahal keterbukaan data sangat penting untuk mengembalikan kepercayaan publik.
Evaluasi Pemerintah: Satgas KLB dan Akreditasi Dini
Menghadapi kritik, BGN membentuk Satgas Kejadian Luar Biasa (KLB) untuk mengevaluasi penyebab keracunan. Dadan mengungkapkan, kasus di Banggai dipicu pergantian pemasok ikan tanpa uji bertahap. Sementara di Garut, keterlambatan distribusi membuat nasi basi dikonsumsi siswa.
“Setiap dapur mitra wajib diawasi, dari kualitas bahan baku hingga pengolahan limbah. Ke depan, akreditasi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) akan dipercepat, tidak menunggu tahun depan,” katanya.
Namun langkah ini masih dianggap tambal sulam. Serapan anggaran MBG per September baru 18,6% atau Rp13,2 triliun dari total Rp71 triliun, menandakan implementasi program masih jauh dari target.
Jalan di Persimpangan: Reformasi atau Moratorium?
Dilema program MBG kini semakin nyata. Di satu sisi, niatnya mulia: memperbaiki gizi jutaan anak sekolah. Di sisi lain, ribuan kasus keracunan dan buruknya tata kelola membuat program ini terasa lebih berisiko daripada bermanfaat.
Bagi sebagian masyarakat, MBG hanyalah proyek politik yang dipaksakan tanpa kesiapan lapangan. Bagi lainnya, program ini masih bisa diperbaiki jika dilakukan reformasi besar-besaran.
Yang jelas, tanpa moratorium dan evaluasi total, program ini bisa kehilangan legitimasi dan berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap kebijakan sosial pemerintah. Sebuah taruhan besar yang melibatkan bukan hanya angka triliunan rupiah, tetapi juga masa depan kesehatan generasi muda Indonesia. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Imadudin Muhammad |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |