TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di sela menikmati hari kedua Seven Lakes Festival 2025 di Danau Segaran, Tiris, Probolinggo, sore kemarin, iseng saya tanya ke salah satu anak yang berpakaian ala pejuang.
Pakai topi ala Bung Tomo. Ada selempang krem. Tapi pakai kaos.
Advertisement
Mungkin tahu kalau keesokan harinya (hari ini, 10 November), adalah hari Pahlawan Nasional..
Iseng saya tanya. Pakai bahasa Madura tapal kuda. Kira-kira begini jika di-Indonesia-kan.
“Le kalau kamu hidup di zaman Bung Tomo, kamu mau berjuang di mana?”
Dia menjawab cepat, “Di TikTok, Pak. Saya bikin konten semangat perjuangan.”
Saya terdiam. Bukan karena jawabannya lucu. Tapi karena ada benarnya.
Zaman memang berubah. Dulu, pahlawan memanggul senjata. Sekarang, menenteng smartphone.
Bedanya: dulu melawan penjajah. Sekarang melawan algoritma.
***
Kita sekarang hidup di masa aneh. Mesin berpikir lebih cepat dari manusia. AI (kecerdasan buatan) bisa membuat caption, berita dll. Bisa pula menciptakan musik, bahkan menjawab pertanyaan dengan nada yang lebih sabar dari guru.
Tapi ada satu hal yang AI tidak bisa: punya hati.
AI tidak bisa merasa bersalah. Tidak bisa menyesal. Tidak bisa meneteskan air mata saat melihat ketidakadilan. Itulah wilayah manusia. Wilayah nurani.
Dan saya kira, di situlah medan perang baru kita sekarang.
Banyak orang takut: “AI akan mengambil pekerjaan manusia.” Saya pikir, yang lebih menakutkan bukan kehilangan pekerjaan. Tapi kehilangan peran kemanusiaan.
Karena begini: manusia yang hanya bekerja seperti mesin, akan mudah digantikan oleh mesin. Tapi manusia yang bekerja dengan hati, tak akan pernah tergantikan.
Di satu pabrik di China, seluruh lini produksi dijalankan robot. Tapi di sudut ruangan, masih ada satu orang tua yang tugasnya sederhana: memeriksa apakah warna produk itu “terasa” benar.
Katanya, robot bisa meniru warna. Tapi tidak bisa merasakan “nyawa” warna.
Kadang saya pikir, barangkali begitu juga dengan hidup. AI bisa meniru gaya bicara manusia. Tapi tidak bisa meniru jiwa manusia.
Dari Bung Karno ke ChatGPT
Sekarang pahlawan tidak selalu bersepatu bot. Banyak yang berkaus oblong, duduk di depan laptop.
Mereka menulis program agar anak-anak desa bisa belajar daring. Mereka membuat aplikasi untuk memantau kualitas udara.
Mereka melawan hoaks dengan fakta.
Tidak berteriak. Tapi bekerja. Otak diperas.
Mereka pahlawan. Meski tidak ada yang menabuh genderang di belakangnya.
Saya kadang merasa, dunia digital ini seperti medan perang tanpa suara tembakan. Tapi korbannya nyata: waktu, perhatian, dan kebenaran.
Dan para pahlawan digital itu adalah mereka yang memilih berpihak pada kebenaran, meski kalah populer.
Bung Karno dulu berjuang agar bangsa ini merdeka dari penjajahan fisik. Sekarang generasi muda berjuang agar merdeka dari penjajahan mental. Penjajahan algoritma, iklan, dan notifikasi.
Kita semua, sadar atau tidak, sudah dikendalikan mesin.
Algoritma tahu kita lebih baik dari diri sendiri.
Tahu apa yang kita suka, bahkan tahu kapan kita kesepian.
Maka, perjuangan kita sekarang bukan lagi “mengusir penjajah”. Tapi mengendalikan diri di tengah algoritma yang ingin mengendalikan kita.
Gotong Royong Versi 5.0
Saya percaya, nilai-nilai lama tidak pernah benar-benar usang.
Gotong royong, misalnya. Itu adalah teknologi sosial paling canggih yang dimiliki bangsa ini.
Sekarang, mungkin bentuknya beda. Gotong royong digital. Kita tidak lagi bantu bikin jembatan bambu, tapi bantu sebarkan literasi digital.
Kita tidak lagi menimba air bersama, tapi menimba kesadaran bersama. Bahwa ruang digital ini harus dijaga, bukan dijajahi.
Itulah kepahlawanan zaman ini: berbuat baik tanpa menunggu disorot kamera.
Saya tidak anti-AI. Saya bahkan sering menggunakannya. Tapi saya percaya, AI tanpa nilai kemanusiaan adalah mesin tanpa arah.
Dan manusia tanpa nurani, sama saja seperti AI tanpa batas.
Pahlawan masa depan bukan yang paling pintar, tapi yang paling beradab. Yang tahu kapan harus berkata tidak. Bahkan pada kemudahan yang menipu.
AI boleh menulis lebih cepat dari saya. Tapi AI tidak tahu rasanya menulis sambil menahan air mata.
Merasakan denyut setiap kata dengan sarat makna.
AI boleh membuat desain luar biasa, tapi tidak tahu rasanya gagal dan bangkit lagi. AI boleh menghafal ribuan puisi, tapi tidak tahu rasanya jatuh cinta.
Menjadi Pahlawan di Era Mesin
Hari ini, kepahlawanan tidak perlu diukur dengan bendera di dada. Cukup dengan satu hal sederhana. Tetap manusia di tengah dunia yang makin tidak manusiawi.
Kalau Bung Tomo dulu berteriak lewat radio Surabaya, mungkin hari ini dia berteriak lewat podcast atau TikTok, IG, X, FB dll. Tapi semangatnya tetap sama: membangunkan yang tertidur.
Dan kalau Bung Karno dulu berkata, “Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia,”
Mungkin hari ini beliau akan berkata: “Beri aku sepuluh kreator yang jujur, niscaya akan kuhidupkan kembali nurani bangsa.”
AI boleh memprediksi masa depan. Tapi masa depan tetap milik mereka yang punya hati. Karena hati tidak bisa diprogram. Selamat Hari Pahlawan Nasional kawan! (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Deasy Mayasari |
| Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |