Logo Baru PSI Dinilai Jadi Strategi Rebranding Politik Menuju Pusat Kekuasaan

TIMESINDONESIA, MALANG – Perubahan logo Partai Solidaritas Indonesia (PSI) dari mawar menjadi gajah bukan sekadar soal estetika visual, melainkan strategi komunikasi politik yang menyiratkan reposisi arah dan identitas partai. Hal ini disampaikan oleh Dosen Komunikasi Politik FISIP Universitas Brawijaya, Verdy Firmantoro, saat dimintai tanggapan atas rebranding visual PSI yang mulai diperkenalkan ke publik menjelang Pemilu 2029.
Menurut Verdy, dalam kacamata komunikasi politik, perubahan simbol dari bunga mawar ke gajah menunjukkan upaya repositioning PSI dari partai anak muda dan idealis menjadi partai yang ingin tampil sebagai kekuatan strategis dan pemimpin masa depan.
Advertisement
“Perubahan logo PSI dari mawar menjadi gajah bukan sekadar estetika visual. Dalam kacamata komunikasi politik, ini sebagai strategi simbolik yang menunjukkan pergeseran identitas, positioning politik, dan narasi kekuasaan yang sedang ditata ulang,” jelasnya.
Logo mawar, kata Verdy, dulunya merepresentasikan semangat anak muda, idealisme antikorupsi, dan posisi PSI sebagai outsider dalam sistem politik. Kini, dengan mengganti logo menjadi gajah, hewan yang dalam simbolisme politik kerap diasosiasikan dengan kekuatan, memori kolektif, dan legitimasi kekuasaan. PSI mencoba menampilkan dirinya sebagai partai yang siap berada di pusat kekuasaan.
“Ini menandai pergeseran narasi dari aktivisme moral, tapi ingin menjadi pusat kekuatan. Dalam budaya India dan Asia Tenggara, gajah muncul dalam simbol-simbol sebagai penanda legitimasi kekuasaan dan otoritas politik kerajaan,” tambah Verdy.
Tak hanya itu, ia juga melihat simbol gajah sebagai bentuk positioning politik baru yang potensial menjadi pesaing langsung dari PDI Perjuangan yang menggunakan banteng sebagai logo. "Gajah vs banteng" menjadi metafora baru dalam lanskap politik nasional.
“Jika logo mawar terlalu ‘lembut’ untuk realitas politik Indonesia yang keras, maka gajah diposisikan untuk menyesuaikan diri dengan gaya politik baru yang lebih kuat,” ungkapnya.
Dalam konteks strategi political branding, Verdy menyebut bahwa perubahan logo ini merupakan upaya PSI untuk keluar dari citra "partai kecil" atau minority image menuju identitas arus utama (mainstream identity). PSI tidak lagi sekadar ingin dikenal sebagai "hero" atau pembela, melainkan sebagai pemimpin politik yang matang dan siap mengambil peran lebih besar.
“Jika sebelumnya PSI menempatkan diri sebagai 'hero' (pembela rakyat, antikorupsi, muda), kini mereka ingin dipercaya sebagai pemimpin, bukan sekadar pengkritik,” jelas Verdy.
Lebih lanjut, rebranding ini juga dibaca sebagai langkah awal PSI dalam menyambut Pemilu 2029. Dengan tingkat elektabilitas yang masih rendah, PSI membutuhkan diferensiasi yang kuat, termasuk dalam ranah simbol dan visual politik.
“Perubahan ini bisa juga dibaca sebagai bagian dari branding elektoral jangka panjang untuk 2029. Dengan elektabilitas rendah, PSI butuh diferensiasi, bukan hanya dari isu, tapi dari simbol,” katanya.
Tak hanya soal partai, perubahan ini dinilai juga menyentuh dinamika kekuasaan nasional, khususnya terkait dengan posisi mantan Presiden Joko Widodo pasca hengkang dari PDIP. PSI, melalui simbol gajahnya, dinilai siap menjadi kendaraan politik baru bagi pengaruh politik Jokowi di pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Rebranding politik PSI juga menandai ruang politik baru bagi mantan Presiden Jokowi pasca keluar dari PDIP, sebagai dukungan politik dan simbol kendaraan kekuasaan yang siap menampung pengaruhnya,” terang Verdy.
Namun, Verdy juga mengingatkan bahwa rebranding visual harus diikuti dengan langkah konkret. “Upaya reposisi PSI ini menarik, tapi tetap harus diikuti dengan narasi dan aksi politik yang konkret untuk diuji di ruang publik,” tutupnya. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Ferry Agusta Satrio |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |