Gaya Hidup

Kerendahan Hati: Jalan Sunyi Menuju Kemuliaan

Minggu, 31 Agustus 2025 - 06:27 | 34.96k
Ilustrasi
Ilustrasi

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Bukan gengsi yang membuat hidup bermakna, melainkan hati yang sederhana dan siap melayani.

Ada satu nasihat yang tampaknya sederhana, tetapi sesungguhnya mengandung kedalaman yang tak habis-habis: “Rendahkanlah dirimu supaya engkau mendapat karunia di hadapan Tuhan” (Sirakh 3:18). Pesan ini bukan sekadar ajaran keagamaan yang eksklusif, melainkan sebuah nilai universal yang kita temukan di banyak tradisi dan kebudayaan.

Advertisement

Kerendahan hati adalah cermin kearifan. Dalam filsafat Timur, ia disebut sebagai jalan harmoni. Dalam kearifan lokal Nusantara, ia tampak dalam pepatah Jawa “ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana”—martabat seseorang lahir dari tutur kata dan sikap rendah hati. 

Bahkan dalam dunia modern yang serba kompetitif, kita masih memuji pemimpin yang sederhana, orang besar yang tidak menonjolkan diri, tetapi justru memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh.

Antara Gunung Sinai dan Gunung Sion

Surat kepada orang Ibrani (12:18-24) mengingatkan kita akan perjalanan iman: dari rasa gentar di Gunung Sinai menuju sukacita di Gunung Sion surgawi. Gambaran ini mengajak kita menyadari bahwa hidup bukan sekadar soal prestasi dan pencapaian, melainkan sebuah perjalanan menuju makna yang lebih tinggi.

Di puncak perjalanan itu, yang kita bawa bukanlah status atau gelar, melainkan hati yang siap menerima anugerah. Orang yang rendah hati akan lebih mudah menemukan kehadiran Ilahi dalam hidup sehari-hari. Dalam perjumpaan dengan sesama, dalam kesederhanaan alam, bahkan dalam keheningan batin.

Kursi Kehormatan yang Sebenarnya

Injil Lukas (14:1.7-14) menghadirkan kisah yang sangat dekat dengan realitas kita: orang-orang yang berebut tempat terhormat di sebuah jamuan. Bukankah kita pun sering mengalami hal serupa? 

Bukan hanya di pesta, tetapi juga di ruang kerja, di media sosial, bahkan dalam lingkaran keluarga. Kita ingin diakui, dihargai, dan mendapat posisi utama.

Namun Yesus menghadapkan kita pada logika yang berbeda: “Barangsiapa meninggikan diri akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan.” Sebuah pembalikan nilai yang radikal. 

Kehormatan sejati bukan datang dari tempat duduk di depan. Tapi kehormatan dari kemampuan kita untuk memberi ruang bagi mereka yang terpinggirkan.

Kerendahan hati bukan tentang meniadakan diri, melainkan tentang membebaskan diri dari keharusan untuk selalu menjadi pusat perhatian.

Buah bagi Kehidupan Bersama

Dalam masyarakat yang sering kali terjebak dalam hiruk-pikuk gengsi, kerendahan hati adalah nafas segar. Ia melatih kita untuk:

• Mendengar lebih banyak daripada berbicara.

• Menghargai orang lain tanpa melihat status.

• Memberi tanpa berharap balasan.

Nilai-nilai ini bukan hanya milik umat beriman, tetapi milik seluruh kemanusiaan. Bangsa yang besar bukanlah bangsa yang membusungkan dada di hadapan dunia, melainkan bangsa yang mampu menghormati martabat setiap warganya, termasuk yang paling kecil.

Kerendahan hati adalah jalan yang senantiasa relevan, dari masa lampau hingga kini. Ia mengajarkan kita untuk tidak sibuk mencari kehormatan, karena kehormatan sejati datang ketika kita membiarkan kasih dan kebaikan bekerja melalui diri kita.

Pada akhirnya, yang meninggikan kita bukanlah jabatan, kekayaan, atau popularitas, melainkan Dia yang menilai hati. Dan di situlah kita menemukan karunia sejati: damai, sukacita, dan hidup yang bermakna. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Rifky Rezfany

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES