Peristiwa Nasional

Tiga Pahlawan dari Tebuireng: Jejak Tiga Generasi Ulama yang Menjahit Sejarah Indonesia

Senin, 10 November 2025 - 17:32 | 1.47k
Gerbang depan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. (FOTO: Rohmadi/TIMES Indonesia)
Gerbang depan Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. (FOTO: Rohmadi/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Di jantung Kabupaten Jombang, berdiri sebuah pesantren tua yang namanya tak lekang oleh zaman. Pondok Pesantren Tebuireng, yang terletak di Kecamatan Diwek, bukan sekadar lembaga pendidikan Islam. 

Tebuireng adalah saksi hidup perjalanan bangsa, tempat di mana lahir tiga tokoh besar yang menorehkan sejarah dan kini menyandang gelar Pahlawan Nasional: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Tiga generasi, satu garis darah, dan satu semangat besar, berjuang demi agama, bangsa, dan kemanusiaan.

Advertisement

Dari Tebuireng, lahir api nasionalisme yang membakar semangat kemerdekaan, menuntun arah lahirnya republik, hingga menegakkan demokrasi di era modern.

Dari Resolusi Jihad, Nyala Kemerdekaan Menyala

Semua bermula dari sosok Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Pesantren Tebuireng tahun 1899 dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), pada 1926.

Ketika bangsa ini berada di ujung tanduk pasca-Proklamasi, beliau menyerukan Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945 — fatwa bersejarah yang menggerakkan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajah.

Seruan itu memantik pertempuran besar di Surabaya, yang kini dikenang sebagai Hari Pahlawan 10 November. Warisan perjuangannya tak hanya terekam dalam sejarah, tapi juga dalam semboyan yang terus hidup di dada para santri: “Hubbul Wathan Minal Iman” — Cinta Tanah Air adalah bagian dari Iman.

KH. Wahid Hasyim: Ulama yang Merumuskan Jalan Tengah Pancasila

Perjuangan Hadratussyaikh diteruskan oleh putranya, KH. Abdul Wahid Hasyim, sosok ulama muda yang berpikir jauh ke depan.
Sebagai anggota BPUPKI dan PPKI, ia turut merumuskan dasar-dasar konstitusi Indonesia yang baru lahir.

Keputusannya menyetujui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta menjadi penanda kedewasaan politik dan ketulusan ulama pesantren dalam menjaga keutuhan bangsa.

Sebagai Menteri Agama pertama Republik Indonesia, KH. Wahid Hasyim menanamkan harmoni antara agama dan negara.

Dari tangannya, lahir kebijakan penting dalam pendidikan Islam dan upaya membangun moderasi beragama. Beliau mengajarkan bahwa keberagamaan dan kebangsaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan disatukan demi kemaslahatan bersama.

Gus Dur: Dari Pesantren ke Panggung Dunia

Puncak perjalanan tiga generasi Tebuireng terwujud dalam sosok KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), cucu pendiri Tebuireng yang kelak menjadi Presiden ke-4 Republik Indonesia. Dikenal sebagai pembaharu, pemikir universal, sekaligus tokoh pluralisme, Gus Dur menegakkan demokrasi di masa transisi yang penuh gejolak pasca-Reformasi 1998.

Melalui kebijakannya, Gus Dur menegaskan wajah Indonesia yang majemuk. Ia menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa, mengakui keberadaan agama-agama di luar arus utama, dan membela hak-hak minoritas.
Bagi Gus Dur, “kemanusiaan adalah agama tertinggi.”

Tebuireng, Lentera yang Tak Pernah Padam

Penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Gus Dur pada 2014 melengkapi lingkar sejarah keluarga besar Tebuireng. Sang kakek, KH. Hasyim Asy’ari, telah lebih dulu menerima gelar itu pada 1964, disusul sang ayah, KH. Wahid Hasyim, di tahun yang sama.

Menurut Gus Variz Muhammad Mirza, salah satu kerabat keluarga Tebuireng, penghargaan ini bukan sekadar bentuk penghormatan simbolik.

“Dari sinilah lahir gagasan jihad kebangsaan, moderasi Islam, dan demokrasi yang berakar pada nilai kemanusiaan,” ujarnya, Senin (10/11/2025).

Gus Variz menegaskan bahwa Jombang memiliki warisan sejarah luar biasa. “Selain keluarga Tebuireng, di Tambakberas juga ada KH. Wahab Chasbullah, tokoh besar yang turut mendapat gelar Pahlawan Nasional,” tambahnya.

Warisan Tiga Mahkota dari Tebuireng

Kisah tiga pahlawan dari Tebuireng bukan sekadar cerita tentang satu keluarga ulama, melainkan potret kesinambungan perjuangan bangsa.

Dari tangan mereka, Indonesia belajar bahwa nasionalisme dan religiusitas dapat berjalan seiring; bahwa mencintai agama tak harus menjauh dari kebangsaan, dan mencintai bangsa tak berarti meninggalkan kemanusiaan.

Tiga nama itu kini abadi dalam sejarah yaitu KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahid Hasyim, dan KH. Abdurrahman Wahid. Tiga generasi, satu cita, menjahit merah putih dengan benang iman dan cinta. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES