Religi

Menginstal Algoritma Moral Kanjeng Nabi di Hati

Jumat, 05 September 2025 - 08:39 | 21.26k
Flayer Maulid Nabi Muhammad SAW
Flayer Maulid Nabi Muhammad SAW

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ada algoritma yang tidak bisa diprogram. Tidak bisa dikodekan. Tidak ada di server mana pun. Itu algoritma moral yang ada di hati.

Algoritma yang Nabi Muhammad ajarkan sejak 14 abad lalu.

Advertisement

Hari ini, 1447 hijriah atau tahun lalu sejak Rasulullah hijah, hidup kita dikendalikan algoritma lain. Algoritma media sosial. 

Sebuah tatanan buatan yang menentukan apa yang muncul di timeline gadget. Apa yang membuat kita tersenyum. Apa yang membuat kita marah. Bahkan apa yang kita percaya.

Ia bekerja dengan logika sederhana: keterlibatan. Semakin kita klik, semakin ia muncul. Semakin kita marah, semakin ia dipertontonkan. Lama-lama, kita merasa dunia sesempit layar.

Dan di sinilah masalahnya.

Dari timeline diri ke timeline bangsa. Hasilnya, bangsa ini seperti terisi penuh dengan kebisingan. Dengan caci-maki. Dengan fitnah. Dengan narasi yang sengaja diproduksi untuk memecah.

Padahal, Nabi mengajarkan algoritma yang lain. Algoritma moral. Jujur.

Kisah yang Tak Pernah Usang

Di usia muda, Muhammad kecil  hanya seorang yatim. Tak punya gelar. Tak punya kuasa. Tapi ia punya satu hal yang sulit ditandingi: kejujuran.

Ia berdagang ke negeri Syam. Membawa barang titipan seorang perempuan kaya, Khadijah. Di perjalanan, ia tidak menipu timbangan. Tidak mengurangi kualitas barang. Tidak memanipulasi harga.

Saat sampai di Mekkah, keuntungan yang didapat justru lebih besar. Bukan karena tipu daya, tapi karena kepercayaan. Khadijah terkesan. Ia jatuh hati pada Muhammad karena integritasnya. Dari situlah lahir keluarga, yang menjadi pondasi kenabian.

Sejak itu, reputasi Muhammad sebagai Al-Amin (orang terpercaya) lahir jauh sebelum ia diangkat sebagai Nabi. Dan reputasi itu menjadi modal sosial yang lebih kuat dari modal uang.

Di masa jahiliyah, kebohongan dianggap biasa. Manipulasi dianggap pintar. Fitnah dianggap senjata.

Di masa kini, apakah kita jauh berbeda? Hoaks berseliweran. Fitnah jadi industri. Manipulasi data jadi politik.

Jujur itu revolusioner. Karena ia menentang kebiasaan. Karena ia tidak gampang. Karena ia butuh keberanian.

Nabi menunjukkan: membangun peradaban bisa dimulai dari satu hal kecil: jujur.

Algoritma yang Melawan Arus

Algoritma media sosial mengajarkan; semakin kontroversial, semakin ramai. Semakin kasar, semakin viral.

Nabi mengajarkan kebalikannya. Semakin tenang, semakin kuat. Semakin jujur, semakin dipercaya.

Suatu ketika, Nabi dituduh menyihir. Dituduh gila. Dituduh pemecah belah keluarga. Fitnah itu terus digencarkan. Tapi Nabi tidak membalas dengan kebohongan. Tidak dengan cacian.

Ia justru berjalan ke pasar, menyapa orang, menjual dagangan, tetap tersenyum. Hingga orang-orang sadar: yang mereka tuduh tidak sesuai dengan kenyataan.

Akhlaknya membantah fitnah. Bukan kata-kata.

Di sinilah algoritma hati bekerja. Ia tidak mengejar sensasi. Ia tidak butuh trending. Ia hanya konsisten.

Anak muda hari ini hidup dalam banjir notifikasi. Sulit keluar. Tapi ada pilihan. Apakah ikut arus algoritma buatan raksasa teknologi. Atau menulis ulang timeline dengan algoritma hati dan moral.

Caranya tidak rumit. Berhenti menyebarkan hoaks. Menolak jadi bagian dari mesin kebencian. Menyebarkan kebaikan meski kecil.

Mungkin tidak viral. Tidak trending. Tapi membangun kepercayaan.

Dan sejarah membuktikan: kepercayaan lebih panjang umurnya daripada viralitas.

Maulid Nabi sebagai Momentum

Maulid Nabi hari ini bukan sekadar perayaan. Bukan sekadar shalawat. Ia adalah pengingat. Bahwa ada cara lain mengisi ruang publik. Cara yang diwariskan Nabi.

Kalau dulu ia membongkar tradisi jahiliyah yang penuh kebohongan, hari ini tugas kita membongkar algoritma kebencian yang mendominasi media sosial.

Tidak perlu dengan amarah. Tidak perlu dengan narasi tandingan yang sama bisingnya. Cukup dengan jujur. Dengan tenang. Dengan konsisten.

***

Kita sedang menulis sejarah. Setiap status, setiap komentar, setiap pilihan, akan menjadi jejak. Akan dibaca generasi sesudah kita.

Pertanyaannya: apa yang mereka temukan di timeline bangsa? Jejak kebisingan? Atau algoritma hati yang jujur?

Sejarah Nabi menunjukkan: algoritma hati bisa mengubah peradaban. Dari padang pasir yang gersang lahirlah pusat ilmu. Dari seorang yatim piatu lahirlah umat besar.

Semua dimulai dari kejujuran. Mungkin itu terdengar sederhana. Tapi justru yang sederhana seringkali paling sulit. Dan di situlah kekuatannya.

Karena jujur bukan sekadar berkata benar. Jujur adalah keberanian. Jujur adalah perlawanan.

Dan Maulid Nabi Muhammad SAW hari ini, mestinya kita berani bertanya pada diri sendiri: algoritma moral Rasulullah itu sudahkah bekerja di dalam hati kita?

Ataukah kita masih lebih tunduk pada algoritma mesin? Selamat introspeksi. (*)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Khoirul Anwar
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES