KH Iskandar Sulaiman, Pejuang dan Imam Tentara dari Kota Batu
TIMESINDONESIA, BATU – Pesawat pemburu Belanda meraung-raung di udara, suara ledakan mortir pasukan Sekutu seolah tidak pernah berhenti. Pasukan sekutu sangat bernafsu merebut kembali daerah jajahannya. Arek-arek Suroboyo berjuang mati-matian mempertahankan setiap jengkal tanah.
Hingga Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari selaku Rois Akbar Nahdlatoell Oelama mengeluarkan seruan jihad yang mewajibkan semua orang yang berada dalam radius 94 KM dari Surabaya mengangkat senjata.
Advertisement

Adalah Raden Panji Iskandar Sulaiman, Pejuang dari Kota Batu ikut serta melawan Belanda saat itu. Kisah tentara yang juga seorang pendidik ini dan kyai ini direkam oleh Alfi Saifullah seorang dalam bukunya yang berjudul KH Raden Panji Iskandar Sulaiman, Jejak Jejak Perjalanan Hidup Santri Hadratussyaikh Hasyim Asyari.
"Saat itu Kolonel Kiai Iskandar Sulaiman menjabat sebagai Kepala Staf Divisi Suropati yang dipimpin oleh Mayjend Imam Soedja'i sebagai Panglima," ujar Alfi.
Sebagai ketaatan terhadap seruan Revolusi Jihad, Divisi Suropati mengirimkan sejumlah pasukan untuk terjun ke Surabaya. Berturut turut kompi dari Divisi Suropati diberangkatkan ke medan pertempuran.
Mereka adalah Kompi Sochifudin dari Resimen 38 Malang, Kompi Untung dari Resimen Bondowoso, Kompi Oesadi dari Probolinggo dan dari berbagai daerah di wilayah Karesidenan Malang.
Gaung dan semangat resolusi Jihad tidak hanya berkobar dalam pasukan TKR saja, melainkan merambat kepada sejumlah komponen perjuangan yang ada di Kota Malang.
Tidak ketinggalan beberapa laskar laskar seperti Hizbullah, Sabilillah, BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia), Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan lain sebagainya turut terjun dalam pertempuran di Surabaya.
Bahkan tidak cuma itu, beberapa pelajar sekolah ikut terbakar semangatnya untuk ikut berjuang di medan pertempuran. Para pelajar itu ikut diberangkatkan ke front pertempuran, seperti pelajar dari SMTP (Sekolah Menengah Tingkat Pertama) dan SMTA (Sekolah Menengah Tingkat Atas) dengan menggabungkan diri terhadap pasukan dari POLRI.
Mereka berada di front selama 14 hari, selanjutnya dipulangkan. Dari kepulangan ini terjadilah pertukaran informasi tentang situasi di medan pertempuran.
Dari pengiriman tentara ke Surabaya juga ada yang gugur sebagai kusuma bangsa sebut saja Komandan peleton Letnan Juari dan beberapa temannya.
Selain mengirim beberapa pasukan, Divisi Suropati juga mengirim beberapa alim ulama sebagai motivator dan penyemangat dalam berjuang.
Salah satu dari para alim ulama ini adalah KH. Muhammad Yahya Gading, seorang ulama kharismatik dari Malang. Sejumlah tentara dari Malang merupakan alumni Pondok Gading, terutama sekali dari wilayah Malang Barat.
Banyaknya 'santri Gading' yang turut terjun ke front pertempuran berawal dari permintaan Mayor Sullam Syamsun kepada menantu Kiai Ismail tersebut, agar para santri turut serta dalam perjuangan.
Selain Kiai Yahya, sederetan kiai juga turut andil dalam memotivasi para pejuang, diantaranya adalah, Kiai Masykur Singosari, Kiai Malik, Kiai Nachrowi Thohir. Kiai Kholil, dan beberapa kiai lainnya. Dhawuh para kiai tersebut selain sebagai motivasi juga membakar semangat
"Para pejuang laksana api yang berkobar kobar didalam dada, sehingga para pejuang tidak takut dengan kematian. Keikutsertaan para alim ulama ini tidaklah terlepas dari faktor Mayjend Imam Soedja'i dan Kolonel KH. Iskandar Sulaiman selain sebagai tokoh militer, dua orang ini adalah tokoh agama (ulama)," tulis Alfi dalam bukunya.
Siapa sebenarnya Kiai Iskandar Sulaiman, ia adalah tokoh NU sekaligus alumni Pondok Pesantren Tebuireng. Kehadiran para kiai dan alim ulama ini menjadi spirit tersendiri bagi pasukan yang hendak berjuang digaris pertempuran.
Pertempuran yang tidak seimbang, antara Pasukan Inggris sebagai pemenang dalam Perang Dunia II dengan pasukan Republik Indonesia yang serba terbatas baik dari senjata, taktik, strategi maupun sumber daya manusianya, mengakibatkan banyaknya pasukan republik terdesak di Surabaya hingga bergeser menuju kesebelah selatan ke daerah Sidoarjo sebagai basis pertahanan.
Terjadilah pertempuran di front barat seperti di daerah Pagerwojo, serta front timur di Prasungtambak dan Prasungtani. Dari sejumlah pertempuran ini, gugurlah para bunga bangsa seperi Komandan Kompi Soeprapto di Pagerwojo dari Batalyon II, drh Soewondo, Mayor Rantam beserta 10 anak buahnya dari Batalyon I Bondowoso, juga Komandan Kompi Lettu Karyadi yang tertawan pasukan Inggris karena menderita banyak luka. 96 Para pejuang kita mati matian mempertahankan Sidoarjo sebagai basis pertahanan, dengan pertimbangan jika Sidoarjo jatuh dan dikuasai oleh Inggris, maka tidak menutup kemungkinan daerah Malang dan sekitarnya berada didalam situasi gawat.
Perjuangan melawan Inggris juga didukung oleh segenap rakyat dengan membantu memukul kentongan pada malam hari guna mengacaukan konsentrasi pasukan Inggris. Penyerbuan pasukan republik dilakukan pada malam hari, sebab terbatasnya berbagai senjata dan amunisi.
Pertempuran terus berlangsung, pasukan Belanda dengan bantuan Inggris terus mendesak para pejuang kita, hingga mengakibatkan daerah Buduran dan Tulangan di duduki pada tanggal 25 Januari 1947. Pertempuran masih berkobar, serangan dari pasukan 'Londo' tidak berhenti hanya sebatas itu, mereka terus mendesak pasukan Republik.
Tentara pejuang Indonesia dengan keterbatasan terpaksa mereka harus memindahkan markas pertahanan berbagai amunisi semakin terdesak mundur. Maka dengan ke daerah Gempol dan Porong.
"Walaupun semangat juang masih belum padam, pasukan kita terus terdesak. Markas pertahanan terpaksa harus kembali dipindahkan ke daerah Pandaan. Tentara Belanda dengan kelengkapan senjatanya dapat menguasai wilayah Pandaan, pasukan Republik terpukul mundur hingga tergeser ke daerah Malang. Para pejuang pejuang kita membuat pertahanan di daerah Turen, tepatnya di Kantor Kawedanan Turen," jelas Alfi.
Namun apa hendak dikata, Kota Malang pada akhirnya jatuh juga ke dalam penguasaan musuh. Peristiwa ini yang mengakibatkan Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari menjadi sedih dan prihatin ketika mendengar kejatuhan Kota Malang sebagai basis terakhir pertahan Pasukan Republik.
Selain ikut angkat senjata KH. R.P. Iskandar Sulaiman juga dikenal seorang Imam tentara. Selain bertugas menjadi Imam saat sholat, seorang Imam tentara juga bertugas mengurus jenazah hingga memimpin ziarah.
Disetiap ada peringatan hari besar keagamaan seperti Maulid Nabi, Isra miraj, Idul rajurit itu, meliputi upacara pemakaman, mendoakan Fitri, Idul Adha dan tahun baru Islam, mereka para imam tentara itulah yang diharuskan untuk mengadakan acara keagamaan.
Pada intinya para imam tentara bertugas terkait semua hal yang berhubungan ajaran agama Islam tanpa terkecuali.
Hal ini merupakan suatu kewajaran, mengingat Kiai dari Dusun Sekarputih itu selain sebagai seorang ulama, juga seorang pendidik, tokoh NU dan pejuang yang gigih. Jiwa pengabdiannya kepada agama dan negara sudah tidak perlu untuk diragukan lagi.
Iskandar Sulaiman adalah sosok menyebar ajaran Islam melalui Nahdlatul Ulama (NU) di Malang Raya. Ia adalah santri Pesantren Tebuireng Jombang.
Iskandar Sulaiman juga santri yang dipercaya keluarga ndalem KH. Hasyim Asy’ari. Hal ini dibuktikan dengan penunjukannya sebagai Konsul NU Jawa Timur I untuk wilayah Malang dan Matraman pada 1934.
Ia juga ditunjuk sebagai Sekretaris sekaligus tuan rumah Muktamar NU ke 12 pada 1937. Selanjutnya ketika PETA dibentuk pada 1943 dan menggelar Pelatihan Militer untuk pertamakalinya, bersama Kholiq Hasyim (Putra KH. Hasyim Asyari) dan Wahid Wahab (Putra KH. Wahab Hasbulloh), Iskandar Sulaiman diperintahkan untuk mengikutinya.
Sehingga ketika KH. Hasyim Asyari di tahan oleh Jepang, Wahid Wahab ditemani Iskandar Sulaiman yang diperintahkan untuk berdiplomasi dengan pihak Jepang agar membebaskan Rois Akbar Jam’iyyah NU tersebut.
Sebagai perwira angkatan pertama PETA, KH. Iskandar Sulaiman selanjutnya ditugaskan untuk melaksanakan Pendidikan Militer PETA di tingkat wilayah.
Karena kedudukannya tersebut, sehingga beliau selalu terlibat dalam semua operasi militer baik dimasa merebut atau ketika mempertahankan kemerdekaan.
Semasa Indonesia merdeka, ia juga mengembangkan pendidikan dasar. Hingga kini di Kota Batu banyak sekolah Iskandar Sulaiman berdiri.
Imam tentara ini meninggal dunia pada 1963 ketika masih aktif menjadi Anggota DPRGR yang mewakili Golongan NU Jawa Timur. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Imadudin Muhammad |
| Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |