TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ia tiba-tiba nongol. FYP kata algoritma media sosial sekarang. Padahal yang saya tahu, dia cuma penjual minyak wangi yang sangat pinter ngomong. Ngalor ngidul!
Tapi di medsos ia seakan seorang dokter yang paham sekali beragam penyakit dan obatnya. Tampak profesional sekali ia.
Advertisement
Siapa? Maaf saya tidak menyebutnya. Tapi dia sekarang menjadi influenzer, selebgram, tiktoker, atau apalah. Pokoknya itu. Konon dapat banyak duit dari penggemarnya di dunia socmed.
Memang sih, di media sosial hari ini, semua orang bisa jadi apa saja. Pagi jadi dokter, siang jadi pengamat politik, malam jadi ustaz. Tak perlu kuliah, cukup percaya diri. Dan tentu saja, sinyal internet.
Itulah dunia kita sekarang. Sebuah panggung raksasa tanpa pintu masuk dan tanpa tiket keluar. Semua boleh bicara, semua merasa benar, dan semua berlomba didengar. Masalahnya, tidak semua yang terdengar itu benar.
China sadar lebih dulu. Tahun 2022 mereka membuat aturan yang bikin heboh dunia maya. Negara itu melarang influencer bicara soal hal-hal profesional,
kecuali punya kredensial (kompetensi, kualifikasi) resmi.
Mau bicara kesehatan? Harus dokter sungguhan. Bahas hukum? Harus pengacara beneran.
Ngomong ekonomi? Minimal punya ijazah ekonomi, bukan cuma ide besar di kepala.
China terdengar ketat, bahkan otoriter. Tapi di satu sisi, juga logis. Karena ketika dunia maya sudah jadi sumber utama pengetahuan publik, maka “omongan” punya dampak lebih besar dari “kebijakan”. Itu poinnya!
Sekarang bayangkan kalau aturan itu diterapkan di Indonesia. Berapa banyak konten akan hilang dari timeline? Berapa banyak “ahli gizi dadakan” dan “pakar ekonomi instan” yang akan pensiun dini?
Lucunya, sebagian dari kita malah akan protes. “Lho, kan kebebasan berpendapat dijamin undang-undang!”
Benar. Tapi tidak ada satu pun pasal yang membenarkan kebebasan menyesatkan.
Kita boleh bebas bicara. Tapi publik juga berhak mendapatkan kebenaran. Dan antara “bebas” dan “bebal”, garisnya makin kabur di layar ponsel kita.
Kredensial, Bukan Sensor
Kita tidak perlu meniru China. Kita cukup meniru semangatnya: mencegah kebodohan berjamaah.
Caranya? Bukan dengan menutup mulut orang, tapi dengan menandai siapa yang benar-benar tahu apa yang ia bicarakan.
Bayangkan jika setiap platform punya sistem verifikasi profesi. YouTube, TikTok, dan Instagram memberi lencana kredibel untuk dokter, guru, advokat, dosen, dan profesional lainnya.
Yang bicara kesehatan punya label verified doctor. Yang bahas hukum diberi label verified legal expert. Sisanya, boleh tetap bicara, tapi publik tahu: ini pendapat pribadi, bukan kebenaran ilmiah.
Dengan begitu, kebebasan tetap hidup. Tapi publik punya panduan: siapa yang bicara berdasarkan ilmu, siapa yang sekadar berdasarkan imajinasi.
AI Sebagai Filter Baru
Teknologi kita sudah cukup canggih untuk itu. AI bisa membantu mengenali topik-topik profesional dan memberi tanda otomatis.
Bahkan bisa memberi peringatan: “Konten ini bersifat opini, bukan rekomendasi medis.” Atau, “Pernyataan ini belum diverifikasi oleh sumber resmi.”
Kalau dulu koran punya redaksi dan editor yang ketat, sekarang dunia digital butuh versi modernnya: AI editor etik.
Bukan untuk menakut-nakuti kreator. Tapi menjaga publik tetap waras.
Kreator Boleh Nakal, Asal Bertanggung Jawab
Menjadi kreator konten bukan sekadar hiburan. Ia adalah pekerjaan baru di abad ini. Dan seperti semua profesi lain, pekerjaan ini juga perlu etika.
Kita butuh gelombang baru. Influencer yang bertanggung jawab.
Bukan hanya pintar berbicara, tapi juga sadar efek dari kata-katanya.
Kalimat di layar ponsel bisa lebih tajam dari pisau, dan lebih berbahaya dari peluru, kalau diarahkan ke kepala yang salah.
Tentu, tidak semua kreator harus bersertifikat. Tapi kalau sudah membahas hal-hal profesional. Jangan lagi menebar klaim asal-asalan.
Karena setiap hoaks yang viral, selalu ada orang yang benar-benar celaka di baliknya.
Saring Sebelum Sharing
Kita hidup di zaman di mana “viral” sering lebih penting dari “benar”. Kebenaran kini kalah cepat dari algoritma.
Yang menyesatkan menyebar lebih dulu, yang ilmiah datang belakangan, dan sering tak sempat dibaca.
Maka, sebelum semua ini makin gila, kita perlu satu prinsip baru: saring sebelum viral.
Ciptakan budaya kredibel, bukan sekadar populer. Bangun sistem yang menilai isi kepala, bukan jumlah followers.
Negeri ini terlalu besar untuk dikendalikan oleh ketidaktahuan yang viral. Kita butuh keberanian baru; membela kebenaran, bukan sekadar kebebasan.
Karena seperti kata seorang bijak digital; “Di dunia maya, orang yang paling lantang belum tentu paling paham. Tapi yang paling banyak dipercaya sering kali paling berani berbohong.”
Dan kita, rakyat yang santai scroll setiap hari, kadang lupa bahwa scroll tanpa saring, bisa bikin bangsa tersesat.
Dan sebagai jurnalis, rasanya patut protes. Jika jurnalis untuk meliput saja wajib bersertifikat kompetensi, mengapa influencer yang konon lebih berpengaruh, tapi belum diatur sertifikasinya lewat semacam uji kompetensi konten kreator. Ini paradoks zaman digital.” (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Khoirul Anwar |
| Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |