Wawancara Khusus

"No Viral No Justice", Prof. Hufron: Keadilan Tak Boleh Dikendalikan Viralitas

Kamis, 23 Oktober 2025 - 22:34 | 886
Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Fenomena “No Viral No Justice” kini menjadi cermin buram penegakan hukum di Indonesia. Ungkapan yang semula bernada sindiran itu berubah menjadi realitas sosial ketika publik menyaksikan banyak kasus baru mendapat perhatian setelah viral di media sosial, sementara kasus serupa yang tak terekspos publik justru berjalan lambat atau bahkan tenggelam tanpa penyelesaian. 

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya, Prof. Dr. Hufron, S.H., M.H., menilai situasi ini bukan sekadar kegaduhan digital, melainkan bentuk krisis legitimasi terhadap lembaga penegak hukum. 

Advertisement

“Viralitas telah menjadi simbol ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum yang seharusnya bekerja berdasarkan asas legalitas dan due process of law, bukan oleh algoritma media sosial,” tegasnya, Kamis (23/10/2025).

Sebagai akademisi dan praktisi hukum selama hampir tiga dekade, Prof. Hufron menegaskan pentingnya menjaga kemurnian prinsip rule of law di tengah gempuran opini publik digital.

Ia mengingatkan bahwa viralisasi kasus memang dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas aparat, namun keadilan tidak boleh menjadi sandera dari tekanan sosial. 

Bagaimana Anda melihat fenomena “No Viral No Justice” ini? Apakah ini bentuk kritik terhadap lemahnya sistem hukum, atau sekadar ekspresi ketidakpercayaan publik? 

Fenomena “No Viral No Justice” saya lihat sebagai kritik serius terhadap lemahnya penegakan hukum sekaligus ekspresi ketidakpercayaan publik. Secara hukum, asas legalitas (Pasal 1 ayat 1 KUHAP) dan due process of law (Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) seharusnya menjadi landasan setiap proses peradilan, bukan opini publik atau algoritma media sosial.

Dari perspektif hukum tata negara misalkan, menegaskan bahwa pengawasan publik itu sah, tetapi keadilan tidak boleh dikendalikan oleh viralitas.

Apakah menurut Anda makna keadilan kini bergeser dari ranah hukum formal ke ruang publik digital? 

Makna keadilan tidak bergeser dari ranah hukum formal ke ruang publik digital. Apa yang terjadi di media sosial lebih tepat dipahami sebagai fenomena sosial, bukan fenomena hukum. Sama seperti di masa lalu ketika warga “menghakimi” pencuri secara massal, sekarang “penghakiman” berpindah ke ruang digital melalui viralisasi kasus. 

Hukum tetap menuntut proses dan prosedur yang sah, sementara opini publik digital hanya menjadi tekanan sosial atau refleksi ketidakpercayaan masyarakat, bukan sumber legitimasi hukum. Dengan kata lain, keadilan hukum formal tetap tidak berubah, hanya medium pengawasan sosial yang bergeser ke ranah digital.

Seberapa besar pengaruh media sosial terhadap jalannya proses hukum di Indonesia, baik dalam percepatan penanganan maupun tekanan terhadap aparat? 

Media sosial memiliki pengaruh signifikan, tetapi bersifat sekunder, bukan determinatif, terhadap proses hukum di Indonesia. 

Pertama, Percepatan penanganan Kasus yang viral sering mendapat perhatian cepat dari aparat, misalnya polisi atau kejaksaan memprioritaskan penyidikan atau penuntutan, agar terlihat responsif terhadap publik. Ini menunjukkan tekanan sosial nyata yang memengaruhi agenda penegakan hukum. 

Kedua, Tekanan terhadap aparat. Media sosial menjadi alat kontrol publik, memaksa aparat bekerja lebih transparan, responsif dan akuntabel. Namun, tekanan ini juga berisiko mengganggu independensi aparat penegak hukum, jika lebih mementingkan opini publik daripada penyidikan atau penuntutan.

Ketika publik mengadili lebih dulu lewat timeline, bagaimana risiko yang muncul terhadap asas praduga tak bersalah? 

Ketika publik “mengadili” seseorang lebih dulu lewat timeline atau medsos, asas praduga tak bersalah berisiko dilanggar. Fenomena orang menilai, memberi cap atau stigmatisasi, bahkan menuntut hukuman sebelum pengadilan yang memutuskan. Dampaknya bahwa reputasi terdakwa hancur karena stigmatisasi yang melekat.

Apakah fenomena ini menjadi bukti nyata bahwa masyarakat sudah kehilangan kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum konvensional? 

Hal ini bukan sekadar kegaduhan publik, fenomena ini mengindikasikan krisis legitimasi hukum. Lembaga penegak hukum masih memiliki wewenang formal, tetapi pengaruhnya terhadap persepsi publik melemah, sehingga opini dan algoritma media sosial mulai menentukan “keadilan” dalam pandangan masyarakat.

Bagaimana nasib korban atau pihak yang mencari keadilan namun tidak memiliki akses atau kemampuan untuk membuat kasusnya viral? 

Secara normatif, prinsip equality before the law menegaskan bahwa semua warga negara harus diperlakukan sama dalam hukum, tanpa diskriminasi atau prioritas berdasarkan status sosial, ekonomi, atau kemampuan mempengaruhi opini publik. 

Di Indonesia, prinsip ini tercermin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan sehingga wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya baik yang viral ataupun tidak.

Di tengah maraknya aktivisme digital, di mana batas antara advokasi publik dan penghakiman sosial harus ditarik? 

Advokasi publik sah ketika bertujuan menyuarakan ketidakadilan, mendorong transparansi, dan menuntut aparat hukum bekerja lebih baik, tanpa menghakimi individu bersalah sebelum proses hukum berjalan. 

Sebaliknya, penghakiman sosial terjadi ketika opini publik sudah “menjatuhkan vonis” di media sosial, menempelkan stigma, atau menuntut hukuman sebelum fakta hukum terbukti. Ini melanggar asas praduga tak bersalah.

Apakah tekanan publik melalui viralitas dapat mengganggu independensi penyidik, jaksa, atau hakim dalam memutus perkara? 

Tekanan publik melalui viralitas tidak seharusnya mengganggu independensi penyidik, jaksa, atau hakim, karena independensi aparat hukum dijamin secara konstitusional dan normatif. Prinsip due process of law di mana hukum tidak boleh tunduk pada tekanan sosial, melainkan hanya pada norma hukum dan fakta yang teruji di persidangan. 

Dengan kata lain, viralitas harusnya tidak boleh memengaruhi independensi hukum, karena keadilan formal dan integritas prosedural adalah pondasi sistem hukum yang sahih dan valid.

Apakah mungkin dua bentuk keadilan ini bisa berjalan beriringan, atau justru saling meniadakan? 

Viralitas hanya berfungsi sebagai alat kontrol sosial, bukan hakim. Bahwa putusan bersalah atau tidaknya seseorang hanya ditentukan melalui prosedur hukum yang sah, bukan oleh opini publik. Di mana hal ini sejalan dengan prinsip Beyond a reasonable Doubt, bahwa pengambilan putusan oleh hakim, harus berdasarkan bukti yang masuk akal, tanpa keraguan atau penuh keyakinan. 

Hal ini sesuai ketentuan Pasal 183 KUHAP , “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila ada dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 

Sebaliknya, bila hakim ragu terhadap alat bukti yang diajukan di pengadilan, maka berlaku adagium, “Lebih baik membebaskan 10 orang yang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. 

Bagaimana peran media dan para influencer dalam menjaga agar isu keadilan tidak berubah menjadi komoditas sensasi? 

Media dan para influencer memiliki peran strategis dalam menjaga agar isu keadilan tidak berubah menjadi komoditas sensasi. Mereka bertanggung jawab menyajikan informasi secara aktual, faktual dan kontekstual, sehingga publik memahami perkembangan kasus berdasarkan prosedur hukum yang sah, bukan sekadar opini atau spekulasi sehingga tetap harus selaras dengan prinsip due process of law, yakni proses hukum yang adil dan tidak memihak, tanpa paksaan, ancaman, kekerasan fisik maupun psikologis, bahkan tekanan dari media atau opini publik sekalipun, baik itu dalam tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan sidang pengadilan. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 117 ayat (1) KUHAP: “keterangan tersangka dan/atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan/atau dalam bentuk apapun”.

Apakah Anda melihat ada bahaya ketika keputusan publik bahkan mungkin aparat mulai dipengaruhi oleh algoritma media sosial? 

Algoritma menentukan apa yang trending, bukan apa yang benar secara hukum. Jika aparat penegak hukum atau publik menilai kasus berdasarkan popularitas atau eksposur digital, maka putusan hakim tidak memenuhi prinsip Beyond a reasonable Doubt, bahwa pengambilan putusan oleh hakim, harus berdasarkan bukti yang masuk akal, tanpa keraguan atau penuh keyakinan. 

Apa langkah konkret yang seharusnya diambil pemerintah dan lembaga hukum agar masyarakat tak lagi harus “memviralkan” demi mendapatkan keadilan? 

Pemerintah dan lembaga hukum harus menguatkan sistem hukum. Menurut Friedman, Sistem hukum meliputi substansi hukum, struktur hukum dan kultur hukum. Dari sisi substansi hukum, Undang-undang dan norma harus jelas, menjamin prosedur yang transparan, hak korban, dan asas praduga tak bersalah, sehingga jalur formal cukup dipercaya tanpa bergantung pada opini publik. 

Dari sisi struktur hukum, aparat hukum sebagai legal apparatus polisi, jaksa, dan hakim harus profesional, independen, akuntabel dan berintegritas, didukung mekanisme pengaduan, pemantauan kasus, serta transparansi proses yang memadai agar masyarakat dapat mengakses keadilan secara nyata.

Sementara itu, kultur hukum di masyarakat dan aparat perlu menekankan kepercayaan pada prosedur formal serta integritas penegak hukum, sehingga opini publik dan algoritma media sosial tidak menjadi penentu keadilan. 

Dengan memperkuat ketiga komponen ini-substansi, struktur, dan kultur hukum secara bersamaan, sistem hukum peradilan terpadu sebagai satu kesatuan yang saling berinteraksi untuk mewujudkan tujuan utamanya: keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum dan tidak bergantung pada popularitas kasus di ruang digital.

Banyak contoh kasus kecil viral cepat diproses, sementara kasus besar justru mengendap. Apa yang ini tunjukkan tentang struktur kekuasaan hukum kita? 

Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sistem norma hierarkis yang independen dari politik, moral, atau opini publik, di mana keputusan hukum seharusnya hanya didasarkan pada aturan normatif, bukan tekanan sosial.

Jika aparat hukum memprioritaskan kasus kecil karena viralitas, ini menunjukkan intervensi faktor eksternal (opini publik, media sosial), yang mengganggu hierarki norma dan mekanisme hukum normatif. 

Dalam kerangka Kelsen, fenomena ini mengindikasikan struktur kekuasaan hukum yang belum sepenuhnya independen, karena penegakan hukum tidak lagi murni mengikuti norma dan kerangka prosedur yang berlaku.

Menurut Anda, bagaimana reformasi hukum harus beradaptasi dengan era digital yang penuh tekanan publik semacam ini? 

Tekanan publik terhadap proses hukum bukan hal baru, hanya medianya kini berubah dari jalanan ke ruang digital. Dulu tekanan publik hadir dalam bentuk demonstrasi atau opini media cetak, kini ia bekerja melalui algoritma dan viralitas.

Karena itu, reformasi hukum di era digital tidak boleh dimaknai sekadar pembaruan peraturan, tetapi harus menyentuh tiga hal mendasar. Pertama, reformasi struktur hukum, yakni memperkuat independensi dan akuntabilitas aparat agar tidak mudah terpengaruh opini publik digital. Hukum harus berdiri di atas norma, bukan tekanan sosial. 

Kedua, reformasi substansi hukum, termasuk pembaruan regulasi terkait etika digital, perlindungan data, dan tanggung jawab media sosial, agar tekanan publik tidak melanggar asas praduga tak bersalah maupun prinsip due process of law. 

Ketiga, reformasi kultur hukum, yaitu membangun kesadaran kolektif masyarakat bahwa advokasi publik harus memperkuat sistem hukum, bukan menggantikannya.

Apa pesan Anda bagi masyarakat agar tetap kritis tanpa terjebak dalam budaya viral justice, dan bagi aparat agar tetap menegakkan hukum dengan nurani, bukan tekanan? 

Masyarakat harus memahami bahwa keadilan subsantif tidak lahir dari viralitas, melainkan dari tegaknya hukum yang berpihak pada kebenaran dan kemanusiaan. Kritik sosial melalui media digital adalah bentuk partisipasi demokratis yang sah, tetapi harus dijalankan dengan etika, verifikasi, dan tanggung jawab moral, agar tidak berubah menjadi penghakiman massal yang justru mencederai prinsip due process of law.

Bagi aparat penegak hukum, viralitas hendaknya tidak dijadikan kompas menentukan keadilan. Hukum harus ditegakkan dengan bukti, nurani dan integritas, bukan karena tekanan opini publik atau algoritma media sosial.

Dalam semangat kenegarawanan, aparat dan masyarakat sama-sama memikul tanggung jawab menjaga supremasi hukum sebagai pilar keadaban bangsa. Sebab pada akhirnya, negara hukum hanya akan hidup jika keadilan ditegakkan berdasarkan prinsip rule of law dan due process of law, bukan karena viralitas.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES