Influencer dan Konten Viral, Menentukan Siapa Layak Didengar
TIMESINDONESIA, MALANG – Ruang publik kita mengalami pergeseran yang begitu cepat. Kini, suara-suara yang paling nyaring bukan lagi datang dari panggung kekuasaan atau institusi formal, melainkan dari layar kecil yang selalu kita genggam.
Di platform digital, setiap unggahan bisa menjadi referensi hidup: mulai dari cara berpakaian, pilihan konsumsi, hingga bagaimana seseorang melihat masa depannya. Viralitas menjadi ukuran baru keberhasilan, menggantikan standar pencapaian yang dulu diraih melalui proses panjang.
Advertisement
Di tengah derasnya arus perhatian publik itu, influencer muncul sebagai pemain utama. Mereka bukan hanya penghibur yang mengisi waktu luang, tetapi sumber opini yang memandu jutaan orang mengambil keputusan, kadang untuk hal sederhana, namun semakin sering untuk hal yang vital. Popularitas tidak lagi dipandang sebagai hasil dari kompetensi dan rekam jejak, melainkan seberapa jauh sebuah konten menyebar dan memancing reaksi.
Untuk menggali lebih jauh implikasi budaya viral dalam kehidupan masyarakat, terutama generasi muda yang tumbuh dalam ekosistem digital, TIMES Indonesia melakukan wawancara khusus bersama Arif Budi Prasetya, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang.
Wawancara ini mengajak kita menelisik sisi lain dunia digital: di balik konten warna-warni yang menghibur, terdapat pertaruhan nilai dan identitas yang pasarnya begitu besar. Di sanalah influencer tampil bukan sekadar sebagai kreator, melainkan penentu siapa yang layak didengar di tengah keramaian tanpa henti.
Berikut petikan lengkap wawancaranya.
Sebagai seorang akademisi di bidang ilmu Komunikasi, bagaimana Anda melihat fenomena influencer hari ini?
Fenomena influencer menunjukkan pergeseran struktur komunikasi publik: dari model top-down (institusi ke publik) ke jaringan yang lebih personal dan relasional (persona ke pengikut). Influencer bukan sekadar penyampai produk atau hiburan; mereka menjadi kurator gaya hidup, pembentuk opini mikro, dan simpul kepercayaan baru dalam ekosistem media digital.
Fenomena influencer menandai pergeseran pola otoritas komunikasi dari lembaga ke individu. Kini, kepercayaan publik lebih banyak diarahkan pada figur yang dianggap “autentik” dan “dekat”, bukan pada institusi formal. Influencer menjadi jembatan antara ekonomi digital, budaya populer, dan pembentukan opini publik.
Dari perspektif akademik, ini menarik karena menantang teori tradisional tentang otoritas informasi. Di satu sisi memperkaya pluralitas suara; di sisi lain menimbulkan tantangan regulasi, akuntabilitas, dan kualitas informasi hal yang harus ditangani lewat literasi dan kebijakan publik.
Contohnya terlihat dari dominasi figur seperti Jerome Polin, dr. Richard Lee, atau Najwa Shihab di ranah digital mereka bukan sekadar pembuat konten, tetapi simbol kredibilitas baru. Hal ini mencerminkan perubahan ekosistem komunikasi yang semakin berpusat pada personal branding dan relasi emosional.
Mengapa viralitas konten dapat dianggap sebagai bentuk kekuasaan baru di ruang digital?
Saya pikir jawabannya “ya”. Viralitas adalah mekanisme distribusi perhatian yang merepresentasikan kekuatan sosial-ekonomi: siapa yang viral memiliki akses ke perhatian massal, yang kemudian dapat dikonversi menjadi modal simbolik, politik, atau finansial. Dalam praktiknya, viralitas memengaruhi agenda publik, memprioritaskan isu, dan mengatur persepsi kolektif terhadap apa yang penting.
Namun perlu dilihat bahwa viralitas bukan kekuasaan yang homogen atau permanen, viralitas bersifat oportunistik dan terfragmentasi, sering muncul sementara dan dipengaruhi algoritma, konteks budaya, serta strategi kreator. Oleh karena itu kekuasaan viral bersifat rapuh namun berpengaruh, terutama pada publik yang kurang sadar media.
Tidak sedikit influencer membangun tren dan gaya hidup. Sejauh mana mereka mempengaruhi perilaku publik, khususnya anak muda?
Influencer mempunyai pengaruh besar terhadap perilaku anak muda karena kedekatan psikologis dan format komunikasinya (visual, personal, repetitif). Anak muda cenderung meniru gaya, produk, dan norma yang dipresentasikan oleh figur yang mereka kagumi, mereka melihat dari cara berpakaian sampai nilai konsumsi.
Pengaruh ini bisa positif misalnya mendorong kreativitas, kewirausahaan, edukasi ringan, maupun negatif (konsumtivitas berlebihan, tekanan identitas, normalisasi praktik berisiko. Intensitas pengaruh bergantung pada literasi digital audiens: semakin kritis dan berpengetahuan audiens, semakin tereduksi efek imitasi pasif.
Apakah loyalitas audiens terhadap influencer lebih kuat dibandingkan terhadap institusi media konvensional?
Dalam banyak kasus, loyalitas terhadap influencer bersifat lebih personal dan emosional, sehingga sering lebih kuat pada segmen tertentu, terutama generasi muda yang mengutamakan kedekatan dan otentisitas. Institusi media konvensional masih memiliki kredibilitas pada ranah berita serius, namun kehilangan sebagian trust di ranah gaya hidup dan opini sehari-hari.
Tetapi loyalitas influencer juga lebih dinamis, bergantung pada narasi personal, skandal, atau perubahan tren. Sementara itu, institusi media menawarkan continuitas, prosedur verifikasi, dan tanggung jawab kelembagaan yang cenderung lebih stabil dalam jangka panjang.
Loyalitas terhadap influencer sering kali lebih kuat karena sifatnya emosional dan interaktif. Contohnya, ketika Ria Ricis atau Atta Halilintar terkena kontroversi, sebagian besar pengikut tetap bertahan karena ada ikatan emosional. Namun loyalitas ini juga mudah goyah bila kredibilitas moral terganggu. Berbeda dengan media konvensional yang diatur oleh Kode Etik Jurnalistik dan Dewan Pers, influencer tidak memiliki mekanisme etik baku, menyebabkan risiko trust yang tidak stabil.
Banyak konten viral cenderung ringan, dramatis, atau kontroversial. Apakah ini mencerminkan kebutuhan masyarakat atau justru membentuk kebutuhan baru?
Keduanya terjadi. Di satu sisi format ringan dan dramatis merespons kebutuhan psikologis: hiburan cepat, pelepasan emosi, dan narasi sederhana untuk waktu perhatian yang pendek. Di sisi lain, industri atensi dan algoritma aktif memproduksi kebutuhan baru dengan memperkuat preferensi terhadap sensasi, mendorong konten yang mudah memancing reaksi.
Jadi ada hubungan timbal balik: masyarakat mencari hiburan, namun struktur platform dan ekonomi perhatian memperkuat jenis konten tertentu sehingga preferensi publik pun berubah. Ini menghasilkan siklus di mana pasokan konten dan permintaan audiens saling membentuk.
Dalam kacamata etika komunikasi, bagaimana Anda menilai influencer yang memproduksi konten tanpa memperhatikan akurasi dan dampak sosial?
Secara etika, tindakan tersebut problematis karena influencer sering berfungsi sebagai sumber rujukan bagi audiens yang menganggap mereka otoritatif. Penyebaran informasi tidak-akurat bisa menimbulkan bahaya nyata, dari kesehatan hingga polarisasi sosial. Akuntabilitas dan tanggung jawab publik tetap harus menjadi norma dalam praktik berkomunikasi.
Solusinya multipihak: platform perlu memperkuat mekanisme moderasi dan transparansi; influencer perlu kode etik dan literasi; publik perlu pendidikan kritis. Di samping itu, regulasi proporsional yang tidak mengekang kebebasan berekspresi tapi menegakkan standar dasar kebenaran perlu dipertimbangkan.
Secara etika, influencer wajib mempertimbangkan dampak sosial setiap kontennya. Penyebaran informasi keliru, terutama yang menyangkut kesehatan, dapat melanggar Pasal 28 ayat (1) UU ITE tentang penyebaran berita bohong yang menimbulkan kerugian publik.
Kasus konten hoaks kesehatan selama pandemi atau edukasi skincare abal-abal menunjukkan urgensi tanggung jawab moral influencer. Maka, kode etik influencer digital perlu segera dirumuskan, mirip dengan etika jurnalistik namun disesuaikan dengan konteks kreator.
Apakah algoritma platform turut memperparah budaya viral yang dangkal dan instan?
Tentu saja iya, algoritma yang mengutamakan engagement (like, share, watch time) cenderung mempromosikan konten yang cepat memancing reaksi emosional, bukan konten yang menuntut refleksi mendalam. Ini menyebabkan distorsi sinyal nilai: yang viral bukan selalu yang paling informatif tetapi yang paling memancing.
Algoritma memang memperkuat budaya instan, dimana algoritma menilai keberhasilan berdasarkan engagement, bukan akurasi. Karena itu, konten edukatif sering kalah pamor dibanding gosip atau drama. Untuk mengatasinya, platform dapat menerapkan mekanisme kurasi tematik, seperti yang dilakukan YouTube dengan kanal Learning.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Kominfo No. 5 Tahun 2020 juga memiliki dasar hukum untuk menata platform agar lebih transparan dalam algoritma rekomendasi. Namun algoritma hanya setengah cerita: kreator dan model bisnis juga bereaksi terhadap insentif tersebut.
Perubahan kebijakan platform, desain pengalaman pengguna, atau insentif ekonomi bisa menggeser keseimbangan ini, oleh karena itu intervensi desain dan kebijakan penting untuk memperbaiki kualitas ekosistem.
Ada anggapan bahwa popularitas kini lebih diutamakan daripada kualitas. Apakah Anda melihat ini sebagai krisis nilai?
Ini memang mengindikasikan krisis nilai pada tingkat distribusi perhatian: nilai dihitung dari metrik engagement bukan kualitas substantif. Namun bukan berarti kualitas hilang total, melainkan ditempatkan pada posisi yang lebih sulit untuk dilihat dan diakses.
Sikap kritis dan literasi publik bisa mengurangi efek ini; pada saat yang sama, pembuat konten berkualitas perlu memadukan estetika menarik dengan kedalaman pesan agar kompetitif. Dengan kata lain, tantangan ini bersifat sistemik dan memerlukan respons kolektif, bukan hanya moralizing terhadap kreator.
Sejauh mana influencer berperan dalam pembentukan identitas dan karakter generasi muda?
Influencer berperan signifikan karena mereka menyediakan repertoar budaya yang mudah ditiru dan diinternalisasi, bahasa, gaya, nilai, hingga pandangan dunia. Bagi anak muda yang sedang membentuk identitas, role model digital seringkali lebih relevan daripada narasi institusional.
Namun pembentukan identitas tidak monolitik; keluarga, sekolah, komunitas, dan konteks lokal tetap sangat menentukan. Jadi peran influencer penting tetapi bukan satu-satunya; peran tersebut menjadi semakin determinan ketika sistem pendukung lain melemah atau ketika literasi kritis rendah.
Bagaimana risiko ketika publik menjadikan influencer sebagai role model tanpa literasi yang memadai?
Risikonya beragam: dari keputusan konsumsi yang merugikan (utang konsumtif) hingga adopsi praktik yang berbahaya (mis. saran kesehatan non-ilmiah). Kekurangan literasi juga memudahkan manipulasi opini politik dan penyebaran misinformasi.
Untuk menanggulanginya perlu intervensi pendidikan (literasi media dan informasi), kebijakan platform (labelisasi konten bersponsor), serta tanggung jawab etis influencer sendiri. Kombinasi ini akan membantu publik menilai kredibilitas sumber sebelum meniru. Tanpa literasi, publik mudah terseret blind following.
Kasus flexing influencer atau promosi crypto dan trading bodong adalah contoh nyata kerugian akibat kepercayaan tanpa verifikasi. UU ITE dan UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) sudah memberi dasar hukum bagi perlindungan publik, tapi penegakannya masih perlu diperkuat melalui edukasi dan kolaborasi platform.
Adakah kategori influencer yang menurut Anda berkontribusi positif terhadap peningkatan literasi dan budaya kritis?
Ada banyak, kategori seperti educator-influencers (para akademisi, praktisi kesehatan, jurnalis yang aktif di medsos), content creator yang fokus pada sains populer, dan pembuat konten yang mengedepankan verifikasi fakta, tutur ilmiah, dan diskusi reflektif dapat meningkatkan literasi publik.
Banyak influencer justru berkontribusi positif: Doctor Tirta, Gustika Jusuf Hatta, Ismail Fahmi, dan Dian Sastro lewat konten edukatifnya memperkuat literasi publik. Mereka menunjukkan bahwa pengaruh bisa diarahkan untuk perubahan sosial. Model seperti ini perlu dukungan institusional.
Misalnya, kampus bisa menyediakan fact-check hub atau kolaborasi riset konten agar pesan edukatif punya daya sebar sebesar konten hiburan. Pengaruh positif semakin kuat jika mereka konsisten, transparan soal sumber, dan mempraktikkan etika komunikasi (mis. memisahkan opini dan fakta). Kolaborasi antar institusi pendidikan, media, dan influencer juga efektif untuk menyebarkan literasi gaya baru.
Apakah kampanye sosial yang dilakukan influencer efektif mengubah perilaku publik atau hanya sebatas awareness?
Banyak kampanye influencer efektif dalam meningkatkan awareness dan menggerakkan tindakan singkat (donasi, partisipasi acara). Kampanye seperti #GerakanBersamaLawanCovid19 atau #BijakBersosmed menunjukkan bahwa influencer bisa efektif meningkatkan kesadaran publik.
Namun, perubahan perilaku jangka panjang, misalnya membuang sampah dengan benar atau taat pajak, perlu dukungan kebijakan dan pendidikan. Kampanye yang efektif menggabungkan pesan emosional, bukti ilmiah, dan teladan perilaku nyata.
Kolaborasi antara influencer, pemerintah, dan NGO adalah kunci agar kampanye tidak berhenti di “trending topic” semata. Jadi efektivitas bergantung pada desain kampanye: kampanye yang terintegrasi dengan program edukasi, fasilitasi sumber daya, dan fase tindak lanjut punya peluang lebih besar mengubah perilaku daripada sekadar viral moment.
Bagaimana peran pemerintah, kampus, atau lembaga publik dalam mengawasi sekaligus memanfaatkan kekuatan influencer?
Pemerintah memiliki kewenangan pengawasan melalui UU No. 11 Tahun 2008 (UU ITE) dan peraturan turunannya. Namun pendekatan yang represif tidak efektif; perlu kemitraan. Pemerintah dan lembaga publik perlu dua peran: pengaturan (menetapkan aturan transparansi, iklan berbayar, dan perlindungan data) dan pemanfaatan (menggandeng influencer untuk kampanye edukasi publik).
Pendekatan kolaboratif lebih efektif daripada pendekatan yang repressif semata. Perguruan tinggi dapat berperan sebagai sumber kredibilitas, menghasilkan konten edukatif yang bekerja sama dengan influencer untuk menjangkau audiens lebih luas. Penting juga menciptakan standar etika dan akreditasi informal bagi influencer yang berfokus pada isu publik.
Ketika konten viral digunakan untuk kepentingan politik, apa dampak jangka panjang terhadap demokrasi?
Penggunaan viralitas dalam politik dapat mempercepat penyebaran narasi, meningkatkan partisipasi, tapi juga memperdalam polarisasi jika diwarnai disinformasi atau manipulasi emosional.
Sebagai contohnya Fenomena buzzer politik atau cyber army membuktikan bahwa viralitas bisa menjadi alat politik. Kasus “buzzerRp” di Pemilu 2019 menunjukkan dampak nyata terhadap persepsi publik. Dampak jangka panjangnya adalah erosi kepercayaan terhadap institusi demokrasi jika ruang digital dikuasai oleh narasi manipulatif.
Karena itu, aturan transparansi iklan politik digital seperti yang diatur Komisi Pemilihan Umum (KPU) perlu ditegakkan. Demokrasi bisa terancam jika ruang publik berubah menjadi arena persaingan atensi tanpa landasan fakta dan deliberasi.
Untuk menjaga kesehatan demokrasi diperlukan regulasi transparansi politik digital (mis. iklan politik berbayar diberi label jelas), penguatan media publik yang kredibel, dan literasi kritis agar warga dapat menilai klaim politik secara rasional.
Bagaimana cara kita membedakan antara influence yang membangun dan yang manipulatif?
Influence yang membangun cenderung: transparan soal kepentingan (misalnya: sponsorship), berbasis bukti bila menyangkut fakta, mendorong diskusi kritis, dan bertanggung jawab atas konsekuensi konten. Sebaliknya influence manipulatif: mengaburkan sumber kepentingan, memanfaatkan emosi tanpa dasar, dan mengulang narasi yang memecah.
Publik dapat memeriksa indikasi ini: apakah ada rujukan sumber, apakah klaim disertai bukti, apakah ada upaya dialog (bukan sekadar ajakan konsumsi), dan apakah konten secara konsisten bertanggung jawab. Literasi sederhana ini membantu membedakan motivasi di balik pesan.
Apakah Anda melihat potensi burnout atau tekanan psikologis bagi influencer karena tuntutan untuk selalu viral?
Tentunya hal ini sangat mungkin berpotensi untuk terjadi. Tuntutan performatif, harus terus-menerus menghasilkan konten menarik, menimbulkan tekanan kreatif, gangguan privasi, dan risiko kesehatan mental. Banyak kreator melaporkan kecemasan, kelelahan, dan kehilangan batas antara publik dan privat.
Pendekatan preventif meliputi kebijakan platform yang memungkinkan istirahat (misalnya fitur break), dukungan komunitas, pendidikan manajemen konten, dan kesadaran diri dari kreator untuk menjaga keseimbangan kerja-hidup. Stakeholder lain (agensi, platform) juga harus bertanggung jawab demi keberlanjutan ekosistem kreator.
Bagaimana masyarakat dapat meningkatkan literasi digital agar tidak mudah terpengaruh oleh konten provokatif atau menyesatkan?
Pendidikan literasi digital perlu diintegrasikan sejak sekolah dasar sampai perguruan tinggi: keterampilan memeriksa sumber, memahami model bisnis platform, dan membaca sinyal sponsor. Selain kurikulum formal, kampanye publik, modul online, dan kolaborasi komunitas juga efektif mencapai audiens luas.
Peningkatan literasi bisa melalui gerakan nasional seperti Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi yang digagas Kominfo/ Komdigi saat ini. Pendekatannya kolaboratif, kampus, komunitas, dan media lokal.
Selain itu, kurikulum pendidikan dasar hingga perguruan tinggi perlu memasukkan kompetensi media dan data. Literasi digital bukan sekadar tahu teknologi, tapi juga memahami logika ekonomi dan politik di baliknya.
Kunci lain adalah mendorong sikap skeptis sehat, bertanya “siapa pembuatnya, apa motivasinya, dan bukti apa yang disajikan”, sehingga masyarakat tidak menjadi konsumen pasif. Peran media lokal dan organisasi masyarakat sipil sangat penting dalam memperluas akses pelatihan ini.
Dalam perspektif kritis, apakah budaya viral turut menggerus ruang refleksi dan kedalaman berpikir?
Saya pikir sudah pasti jawabannya IYA, budaya viral cenderung mempersingkat waktu perhatian dan menormalisasi konsumsi figuratif yang cepat; ini memang mengurangi ruang untuk refleksi mendalam. Ketika pengalaman diukur oleh metrik singkat, konten yang menuntut waktu intelektual menjadi kurang “kompetitif”.
Namun bentuk komunikasi baru seperti podcast panjang, serial edukatif di YouTube, atau konten explainers di TikTok menunjukkan jalan tengah antara cepat dan bermakna. Bentuk baru komunikasi yang mengombinasikan estetika viral dengan kedalaman (mis. serial edukatif micro-learning) bisa memulihkan ruang refleksi.
Tanggung jawab ada pada pembuat konten berkualitas, platform, dan institusi pendidikan untuk menyediakan alternatif yang menarik dan reflektif atau dalam bahasa lain perlu ada keseimbangan antara speed dan depth. Tugas akademisi dan kreator adalah menemukan formula agar kedalaman gagasan bisa tetap viral, tanpa kehilangan substansi.
Apa peran perguruan tinggi dan akademisi dalam merespons fenomena influencer ini?
Perguruan tinggi punya tiga peran penting: penelitian kritis untuk memahami dinamika baru, pendidikan (mengajarkan literasi media dan etika), serta keterlibatan publik (menghasilkan konten populer berkualitas dan bekerjasama dengan influencer). Akademisi dapat menerjemahkan temuan riset menjadi pedoman praktis bagi publik dan pembuat kebijakan.
Selain itu, kampus dapat menjadi jembatan antara produk riset dan praktik: misalnya program residensi untuk kreator yang ingin meningkatkan kualitas konten, atau kerja sama lab media untuk memvalidasi klaim kesehatan/ilmiah sebelum disebarkan secara viral.
Terakhir, pesan atau rekomendasi Anda kepada generasi muda dalam menghadapi banjir konten dan kehidupan influencer?
Untuk generasi muda saat ini : Jaga rasa ingin tahu tetapi latih sikap kritis dengan cara selalu cek sumber, tanyakan motivasi pembuat konten, dan jangan langsung mengadopsi perilaku sebelum menimbang konsekuensinya. Bangun identitas melalui pengalaman nyata, komunitas, studi, dan praktik, bukan hanya lewat layar.
Manfaatkan sisi positif influencer, inspirasi, peluang, pembelajaran, tetapi juga tetapkan batas: kesehatan mental, keuangan, dan privasi lebih berharga daripada popularitas sesaat. Jadilah pengguna yang sadar, bukan hanya penonton pasif.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
| Editor | : Hainorrahman |
| Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |