Dari Betis Ken Dedes Menjadi Dinasti Majapahit, Semua Dimulai di Petirtaan Watugede

TIMESINDONESIA, MALANG – Di lereng Singosari, Malang, Jawa Timur sebuah kolam suci tersembunyi di bawah rindangnya pohon Lo yang menjulang. Airnya mengalir dari mata air alami dan dipercaya berasal dari Gunung Arjuno, Semeru, dan Bromo. Namanya Petirtaan Watugede.
Situs ini bukan sekadar tempat mandi atau wisata spiritual, melainkan potongan sejarah penting yang menyatukan legenda, nilai kosmologis, dan warisan kebudayaan Jawa kuno.
Advertisement
Saksi Bisu Jejak Cinta dan Ambisi Leluhur
Watugede diyakini menjadi saksi awal pertemuan legendaris Ken Angrok dan Ken Dedes, sebagaimana dikisahkan dalam Pararaton.
Dalam versi tradisi, Ken Angrok melihat sinar bercahaya dari betis Ken Dedes saat turun dari kereta kerajaan. Menurut ramalan Brahmana Lohgawe, perempuan dengan cahaya di tubuhnya adalah nariswari, yang dari rahimnya akan lahir raja-raja besar.
Aliran air di Petirtaan Watugede masih mengalir deras melalui jaladwara kuno yang tersisa. (FOTO: Adi Surya/Local Guide)
Pertemuan itu memicu ambisi Ken Angrok untuk menumbangkan Tunggul Ametung, suami Ken Dedes, dan menjadi raja Tumapel.
Dari sini, sejarah bergulir menuju pendirian Singhasari dan kelak Majapahit. Watugede pun menjadi simbol awal mula berdirinya dinasti besar di tanah Jawa.
Penyelamatan Situs yang Terpendam
Petirtaan Watugede ditemukan kembali pada 1925 dan dipugar oleh Dinas Purbakala Hindia Belanda pada 1931. Situs ini memiliki luas struktur 112,5 meter persegi di atas lahan 2.500 meter persegi, terletak 9 meter di bawah permukaan tanah.
Struktur kolam ini terbuat dari batu bata merah bergaya Majapahit, dilengkapi dengan jaladwara (saluran air) yang menyalurkan air dari mata air ke kolam utama.
Peta kawasan Petirtaan Watugede menunjukkan tata letak area situs termasuk sumber mata air, pohon Lo, dan gazebo. (FOTO: Ardana Pramayoga/TIMES Indonesia)
Sayangnya, dari 16 jaladwara yang pernah ada, hanya satu yang kini tersisa di tempat. Tiga lainnya diamankan di Trowulan, selebihnya hilang karena penjarahan pasca kemerdekaan.
Antara Ritual, Kosmologi, dan Logika Garis Lurus Nenek Moyang
Menurut tradisi masyarakat dan pustaka kuno seperti Sutasoma serta Tantu Panggelaran, petirtaan tidak hanya berfungsi sebagai tempat mandi atau mengambil air (mangangsu), tetapi juga sebagai sarana penyucian (hanadyus) dan ritual.
Yang menarik, Watugede, Candi Singosari, dan Stupa Sumberawan ternyata membentuk garis lurus sempurna, yang jika ditarik terus mengarah langsung ke puncak Gunung Arjuno. Ini menimbulkan hipotesis bahwa pembangunan ketiganya mengacu pada prinsip kosmologi Jawa kuno dan ilmu tata ruang yang canggih mengingat pada masa itu jauh belum ditemukan adanya teknologi GPS atau citra satelit.
Tempat Awal Lahirnya Kerajaan Raksasa, Jangan Sampai Terlupakan
Meski menjadi Situs Cagar Budaya Nasional berdasarkan SK Menteri No. PM.56.PW.007/MKP/2010, semua pihak harus menjaga kondisi Petirtaan Watugede.
Ironisnya, warisan sejarah yang pernah dipugar dengan apik oleh Belanda kini sebagian besar rusak oleh tangan-tangan bangsa sendiri baik karena pencurian artefak maupun minimnya perawatan.
Watugede bukan sekadar kolam suci. Ia adalah penanda dimulainya narasi besar sejarah Nusantara.
Di sinilah spiritualitas, ambisi politik, dan kecanggihan tata ruang berpadu. Di tengah gempuran era digital dan pelupaannya, situs seperti ini menjadi pengingat bahwa jejak kejayaan Nusantara mengalir pelan namun pasti, selama ada yang menjaga dan menceritakannya kembali. (*)
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |