TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketika yang rendah diangkat dan yang sederhana dimuliakan
Dalam dunia yang gemar mengukur nilai manusia dari prestasi dan pengakuan, kita mudah lupa bahwa dalam pandangan Tuhan, kemuliaan justru berakar pada kerendahan.
Minggu ini, tiga bacaan membawa kita menyelami misteri kekuatan yang lahir dari kerendahan hati. Suatu sikap yang tidak populer, namun justru menjadi jalan keselamatan.
Kitab Putra Sirakh menegaskan: “Tuhan tidak memihak terhadap orang miskin, tetapi Ia mendengarkan doa orang yang tertindas” (Sir 35:12-13).
Pesan ini mengingatkan bahwa Tuhan bukan hakim yang terpesona oleh status, pangkat, atau jabatan. Ia melihat hati, bukan gelar.
Dalam dunia yang semakin berisik oleh pencitraan, suara hati orang kecil sering tak terdengar. Namun justru di sanalah Tuhan hadir—di ruang sunyi, di antara ratapan dan harapan yang tulus.
Santo Paulus dalam suratnya kepada Timotius menggambarkan dirinya sebagai pelari yang hampir mencapai garis akhir: “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir, dan aku telah memelihara iman” (2 Tim 4:7).
Kekuatan sejati bukan terletak pada kemenangan yang gemerlap, melainkan pada kesetiaan di tengah kekecewaan, kesendirian, dan penderitaan.
Bagi Paulus, iman bukan perhiasan, tetapi napas perjuangan. Dalam diam penjara, ia justru menemukan kemuliaan batin, sebuah mahkota yang tidak akan pudar.
Injil Lukas menutup permenungan ini dengan kisah kontras antara dua orang di Bait Allah: Farisi yang berdoa dengan kesombongan dan pemungut cukai yang memukul dada, berkata, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.”
Yang mengejutkan, justru si pemungut cukai yang “dibenarkan” oleh Tuhan.
Kerendahan hati bukan kelemahan, melainkan keberanian untuk jujur pada diri sendiri di hadapan Allah.
Tuhan tidak mencari kesempurnaan, melainkan ketulusan. Ia tidak butuh pujian manusia, melainkan hati yang terbuka dan mau dibentuk.
Kerendahan hati membuat kita lebih peka—peka pada bisikan hati, pada penderitaan sesama, dan pada kebenaran yang sering tersembunyi dalam hal-hal kecil.
Dalam keluarga, di tempat kerja, di tengah masyarakat, kita diajak untuk melihat yang tak terlihat dan mendengar yang tak bersuara. Sebab di sanalah Tuhan berdiam, menunggu orang yang mau merendahkan diri agar dapat diangkat-Nya.
Kerendahan hati bukanlah tanda kekalahan, tetapi awal dari kebijaksanaan. Ia adalah kekuatan lembut yang memampukan kita menatap dunia dengan belas kasih, bukan dengan penghakiman.
Ketika kita berani menjadi kecil di hadapan Tuhan, justru di sanalah kita mengalami kasih-Nya yang besar.
“Barangsiapa meninggikan diri akan direndahkan, dan barangsiapa merendahkan diri akan ditinggikan.”
— Lukas 18:14. (*)
| Pewarta | : Ge Recta Geson |
| Editor | : Deasy Mayasari |
Ribuan Guru Ngaji Banyuwangi Menulis Mushaf Al-Qur’an, Wujud Cinta dan Khidmat di Hari Santri
Langkah Pemkab Jayapura untuk Hidupkan Ekonomi Kreatif
Integritas Naik Tajam, Ponorogo Jadi Contoh Tata Kelola Pemerintahan Bersih
Ribuan Santri Ponorogo Ikut Fun Walk HSN 2025
Lestari Moerdijat: Bahasa Inggris Wajib di SD, Langkah Strategis Cetak SDM Unggul
SETARA Institute: Soeharto Tidak Layak Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional
Operasi Gabungan Lapas Bondowoso, Tak Ada Narkoba tapi Ditemukan Barang Terlarang
Luka Santri Menuju Gerakan Kesadaran Digital
BGN Dorong Kota Malang Wujudkan Kemandirian Pasokan Melalui Konsep MBG Preneur
Hidayat Nur Wahid: Pembentukan Ditjen Pesantren Jadi Kado Indah Hari Santri