TIMESINDONESIA, JAKARTA – Media sosial sering disebut ruang tanpa batas yang menghubungkan miliaran orang di seluruh dunia. Laporan Global Digital Reports dari Data Reportal mencatat, ada 5,25 miliar pengguna aktif media sosial hingga 2025. Namun, ironisnya, linimasa yang ramai dengan video hiburan justru menyisakan rasa sepi bagi sebagian penggunanya.
Fenomena inilah yang ditangkap oleh sekelompok mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Mereka menamai risetnya “Loneliness in the Crowd: Eksplorasi Literasi Media Digital pada Fenomena Kesepian di TikTok melalui Konfigurasi Kajian Hiperrealitas Audiovisual”. Penelitian ini berhasil lolos dalam Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH) 2025 dan memperoleh pendanaan dari Kemendiktisaintek.
Ketua tim riset, Fifin Anggela Prista, mengatakan ide ini lahir dari kebiasaan Gen Z yang begitu melekat dengan TikTok. Hampir setiap saat, interaksi mereka terjalin lewat layar. Namun, interaksi nyata justru semakin menipis.
“Awalnya kami bertanya, kenapa seseorang bisa aktif sekali di dunia maya, tapi minim interaksi langsung? Dari diskusi tim dan riset kecil, kami menemukan kaitan erat antara penggunaan media sosial berlebihan dengan rasa kesepian, insecure, bahkan masalah kesehatan mental,” ujar Fifin, dikutip dari laman resmi UMY, Minggu (14/9/2025).
Tim ini terdiri dari lima mahasiswa: Fifin Anggela Prista, Gifatul Hidayah, Najwa Aulia Habibah, Rossy Safitri Putra Pratama, dan Muhammad Rasyid Ridha. Mereka menggunakan metode kualitatif untuk menggali pengalaman pengguna TikTok secara lebih mendalam.
Menurut Fifin, konten di media sosial sering kali bersifat rekayasa. Namun, yang menarik, narasi tersebut tetap dikonsumsi, dibagikan, bahkan diyakini pengguna.
“Dalam teori hiperrealitas, representasi digital justru lebih ‘nyata’ daripada realitas itu sendiri. Emosi yang dibentuk media bisa memengaruhi kesehatan mental dan hubungan sosial seseorang,” jelasnya.
Hasil pengamatan mereka menunjukkan, banyak akun TikTok memproduksi ulang narasi kesepian dengan sentuhan estetis. Mulai dari kutipan tentang kehilangan, percintaan, hingga rasa terasing.
“Konten orang lain sering kali terasa mewakili diri kita. Walau sebagian konten sifatnya komersial, pengguna tetap menyebarkan karena merasa terhubung dengan narasi emosional itu,” tambahnya.
Efek domino kemudian terjadi. Semakin sering seseorang membagikan konten bertema kesepian, algoritma akan terus menampilkan hal serupa di linimasa mereka. Tanpa disadari, ini membentuk pola konsumsi emosional yang justru memperburuk kondisi mental.
Melihat risiko yang muncul, tim riset ini berencana menggandeng Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi). Tujuannya, mengembangkan strategi literasi digital sekaligus manajemen penggunaan gawai bagi generasi muda.
“Kesepian sering dianggap masalah personal. Padahal, dari hal-hal yang terlihat sepele seperti linimasa media sosial, dampaknya bisa sangat besar bagi kesehatan mental Gen Z. Harapannya riset ini jadi jalan untuk solusi yang lebih luas,” pungkas Fifin.(*)
Pewarta | : Rochmat Shobirin |
Editor | : Imadudin Muhammad |
Ancaman Deepfake dan Literasi Digital
Pemkab Sidoarjo Dapat Bantuan Jargas 7.223 Sambungan Rumah dari Kementerian ESDM
India Memerangi Penyakit Amuba Pemakan Otak, 19 Orang Meninggal
Dua Bibit Siklon Tropis Terpantau, BMKG: Waspada Hujan Lebat dan Gelombang Tinggi
Wujudkan Layanan Humanis, Kapolres Pacitan Suguhkan Kopi untuk Warga Antrean SKCK
BUMDes Binaan Bank UMKM Jangkau Pasar Kalimantan
Kuliah Umum Perdana IAIT Pacitan, Rektor Prof Musa Asy’arie Tegaskan Pentingnya Nalar Attarmasi
Wali Kota Mojokerto Tekankan Profesionalisme dan Tanggungjawab Pengawas Koperasi
BTN Gandeng UM Malang, Dorong Mahasiswa Jadi Agen Perubahan di Era Digital
Pemkab Bondowoso Terus Berupaya Meningkatkan PAD Tanpa Naikkan PBB