TIMESINDONESIA, WONOGIRI – Setiap 28 Oktober, kita seringkali disajikan dengan seremoni dan riuh rendah perayaan. Tapi di balik itu semua, tersimpan sebuah panggilan jiwa yang sering kita lupakan ini bukan sekadar catatan sejarah, melainkan pengingat akan sebuah keajaiban bernama persatuan.
Bayangkan tahun 1928. Di tengah belenggu penjajahan yang licik memecah belah, sekelompok anak muda dari berbagai pulau berkumpul. Mereka bukan sekadar berkumpul mereka sedang melahirkan sebuah mimpi bersama.
Soegondo Joyopranoto, Mohammad Yamin, dan kawan-kawan bukan lagi sekadar pemimpin, mereka adalah para penari yang merajut benang-benang cinta tanah kelahiran mereka menjadi sebuah kain besar bernama Indonesia. Ikrar "satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa" bukanlah mantra, melainkan percikan api yang membakar semangat hingga akhirnya menyala dalam Proklamasi 1945.
Sekarang, hampir seratus tahun kemudian, api itu terkadang terasa redup di tengah tantangan yang berbeda. Coba buka ponselmu. Rasakan panasnya perdebatan di kolom komentar, di mana perbedaan suku dan agama jadi senjata untuk melukai.
Informasi palsu menyebar seperti virus, menciptakan kebingungan. Di sisi lain, banyak sahabat kita yang merasa tersisih oleh ketimpangan, seolah pintarnya tak punya ruang untuk berkembang.
Di sinilah Sumpah Pemuda berbicara lebih keras dari sebelumnya. Ia mengajarkan bahwa persatuan bukan tentang menghilangkan perbedaan, melainkan menari di atasnya.
Tantangan kita adalah ruang maya yang seharusnya menghubungkan, justru memenjarakan kita dalam gelembung echo chamber. Kita lebih hafal tren global daripada isu di sekitar kita, yang perlahan mengikis identitas kita sebagai bangsa.
Tapi kita bisa memilih untuk berbeda. Kita bisa memilih menjadi penyebar kebaikan, memerangi hoaks dengan kebijaksanaan, dan memulai kolaborasi dengan teman dari latar belakang budaya yang berbeda.
Bayangkan sebuah program magang yang memungkinkan pemuda dari Aceh bekerja sama dengan pemuda dari Papua, atau sebuah hackathon nasional di mana anak muda bersama-sama mencari solusi. Itulah Sumpah Pemuda yang hidup, yang bernapas dalam tindakan.
Jadi, jangan biarkan ikrar 1928 hanya menjadi cerita nenek moyang. Jadikan ia kompas di setiap pilihanmu, arah perjuanganmu menuju Indonesia Emas 2045.
Mari, pemuda Indonesia, kita bangkitkan kembali semangat itu. Persatuan bukanlah angan-angan di awang-awang. Persatuan adalah pilihan yang kita ambil, di setiap ketik dan setiap ucapannya. (*)
***
*) Oleh : Ervina Rahmawati, Mahasiswa STAIMAS Wonogiri.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Editor | : Hainorrahman |
Tracing the Spirit of Tatah Natah with Nyoman Bratayasa at Tugu Kunstkring Paleis
Gelar Sumbar Expo 2025, Gubernur: UMKM Harus Mampu Bersaing
Zahra Fitriyana Bicara Eskalasi Kesataraan Gender dengan Advokasi Woman Empowerment
'Livin' Bank Mandiri Catatkan Transaksi Fantastis Rp3.220 Triliun dalam 9 Bulan
Superbank Cetak Laba Rp80,9 Miliar di Q3
Sumpah Pemuda dalam Gaya Gen Z ala UK Petra, Wujudkan Batik yang Berinovasi dengan AI
Tangan-Tangan Kecil Penyelamat Pesisir Pantai Kenjeran
Mendagri Tito Karnavian Minta Pemda Kendalikan Harga Komoditas di Daerah Berinflasi Tinggi
Purbaya: Presiden Prabowo Sukses Pulihkan Kepercayaan Rakyat
Menkeu Purbaya Sebut Presiden Prabowo Subianto Pulihkan Optimisme Publik dalam Dua Bulan Terakhir