TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Ada masa ketika nama ulama selalu disebut dengan penuh hormat. Ketika ucapan mereka bukan hanya dianggap nasihat, tapi juga cahaya. Namun hari ini, kita hidup di zaman yang aneh: orang yang mencaci ulama dianggap kritis, sementara yang menghormati dianggap fanatik.Pola ini bukan muncul tiba-tiba, ia tumbuh perlahan, dirancang, dan dijaga dengan narasi yang sistematis.
KH Afifuddin Muhajir mengingatkan bahwa setelah habaib “dihabisi”, kini giliran para kyai pesantren menjadi sasaran. Bukan dalam arti fisik, tapi dalam bentuk penghancuran wibawa dan kepercayaan.
Dulu, orang awam diajari untuk mencaci habaib, menuduh mereka sombong atau memanfaatkan nasab. Kini, setelah kebencian itu berhasil dipelihara, targetnya digeser: para kyai pesantren.
Lihat bagaimana media sosial bekerja. Sebuah potongan video tentang kasus oknum guru di pesantren disebarkan tanpa konteks, diviralkan, dan kemudian digeneralisasi: “Pesantren itu tempat pelecehan.” “Santri diperlakukan seperti budak.” “Ngabdi roan ngecor disebut perbudakan.”
Satu kesalahan dijadikan alat untuk menjatuhkan seluruh lembaga. Padahal, siapa pun yang pernah mondok tahu bahwa ngabdi di pesantren bukan paksaan, tapi latihan ikhlas. Di situlah letak paradoks zaman: yang ikhlas dituduh bodoh, yang berkhidmah dituduh tertindas.
Kita hidup di era yang menyebut segala bentuk penghormatan sebagai keterbelakangan. Segala yang tradisional dianggap kuno, dan semua yang berbau spiritual dicap tidak rasional. Dalam konteks ini, serangan terhadap ulama dan pesantren bukan sekadar konflik sosial, tapi gejala dekonstruksi nilai.
Dulu, serangan terhadap agama dilakukan secara frontal melalui ideologi dan senjata. Sekarang, senjatanya adalah opini, dan medannya adalah ruang digital. Ulama tidak lagi diserang karena fatwanya, tapi karena gaya hidupnya.
Pesantren tidak lagi dituduh salah karena ilmunya, tapi karena bangunannya. Bahkan yang lebih berbahaya, umat dipaksa memilih: antara mencintai Islam atau menjadi “modern”. Padahal, keduanya bisa berjalan beriringan bila hati tetap berakar pada ilmu dan adab.
Ketika masyarakat mulai terbiasa menertawakan habib, mem-bully kyai, dan mencurigai pesantren, maka rasa hormat pada ilmu pun ikut hancur. Dan saat ilmu tak lagi dimuliakan, yang tersisa hanyalah opini, sensasi, dan arogansi.
Inilah yang dimaksud KH Afifuddin Muhajir: setelah habib, lalu kyai, lalu pesantren dan akhirnya, Islam itu sendiri. Namun perlu dicatat, serangan ini tak selalu datang dari luar. Ia tumbuh dari dalam tubuh umat sendiri dari generasi yang kehilangan arah dan haus pengakuan. Mereka yang mengaku “bebas berpikir” tapi sesungguhnya hanya ikut arus algoritma.
Generasi yang lebih percaya pada influencer daripada mursyid, lebih menghormati selebritas ketimbang ulama, dan lebih banyak belajar agama dari potongan video 30 detik ketimbang dari kitab. Maka bukan hanya musuh dari luar yang berbahaya, tapi kelalaian umat sendiri yang membiarkan kehormatan ulama digerus secara diam-diam.
Santri dan Pesantren
Pesantren, dengan segala keterbatasannya, masih menjadi benteng terakhir. Di sanalah nilai kesederhanaan, pengabdian, dan keikhlasan terus dijaga. Mungkin bangunannya tak megah, tetapi di situlah lahir generasi yang mencintai ilmu lebih dari dirinya sendiri. Ketika dunia sibuk mengejar prestise, santri masih belajar diam-diam tentang arti ketulusan.
Ketika orang lain sibuk memperjuangkan panggung, santri justru sibuk membersihkan masjid dan menimba air untuk wudhu. Namun hari ini, benteng itu mulai retak oleh stigma. Satu-dua kasus dijadikan alasan untuk memusuhi semua.
Dikatakan “pesantren tidak aman”, “kiai banyak yang menyimpang”, padahal justru di pesantrenlah banyak jiwa disembuhkan dan akhlak diluruskan. Tentu, bukan berarti pesantren tanpa cacat. Tapi cara menghancurkan pesantren bukan dengan generalisasi dan caci maki, melainkan dengan perbaikan dan dukungan.
Dan di titik ini, kita harus bertanya: siapa yang diuntungkan ketika umat membenci ulama? Siapa yang diuntungkan ketika santri tak lagi mau mondok? Siapa yang diuntungkan ketika Islam dianggap tidak relevan?
Jawabannya jelas mereka yang ingin memutus mata rantai keilmuan Islam. Sebab, jika santri berhenti belajar, maka ilmu akan berhenti mengalir. Jika umat berhenti menghormati ulama, maka bimbingan akan hilang. Dan ketika itu terjadi, Islam tinggal menjadi label, bukan lagi jalan hidup.
Kini, tugas terbesar bukan lagi sekadar membela kyai di media sosial, tapi menghidupkan kembali adab terhadap ilmu dan ulama. Kita perlu sadar bahwa serangan terhadap pesantren bukan hanya serangan terhadap institusi pendidikan, tapi juga serangan terhadap akar moral bangsa.
Dari rahim pesantrenlah lahir tokoh-tokoh bangsa pejuang, pendidik, bahkan pemimpin. Pesantren adalah tempat di mana logika dan iman berdialog, bukan bertentangan. Kita harus berani menolak narasi yang menormalisasi penghinaan terhadap ulama. Sebab kritik tanpa adab hanyalah kebencian yang dibungkus intelektualitas palsu.
Umat Islam mesti kembali belajar menempatkan ulama pada posisi yang semestinya: bukan disembah, tapi dihormati. Kita butuh ulama bukan untuk memuja, tapi untuk dibimbing. Dan ulama pun butuh umat yang sadar bahwa perjuangan mereka tidak untuk popularitas, melainkan untuk menjaga iman tetap hidup di dada generasi.
KH Afifuddin Muhajir menutup pesannya dengan tajam: setelah habib, lalu kiai, lalu pesantren, dan target terakhir adalah Islam. Kata-kata itu bukan sekadar peringatan, tapi peta jalan kehancuran bila kita diam saja. Sebab bila umat kehilangan rasa cinta kepada ulama, maka sesungguhnya umat telah kehilangan arah menuju Allah.
Kini saatnya kembali menegakkan marwah itu dengan ilmu, adab, dan keberanian menjaga kebenaran. Sebab menjaga ulama bukan sekadar membela orang, tapi mempertahankan cahaya yang menuntun kita dalam gelap zaman.
***
*) Oleh : Fauzi Rahman, Mahasantri Lembaga Pengembangan Bahasa Asing Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Mark Ruffalo dan Javier Bardem Bergabung untuk Film Tentang Palestina
Fondasi Kecil untuk Perubahan Besar, Cintara Nabila Bicara Urgensi Karakter dan Disiplin
Mengenal Kacang Pistachiosi Hijau yang Lagi Hype
Anak Tersangka Riza Chalid Didakwa Perkaya Diri Rp3,07 Triliun dari Korupsi Migas
Rugikan Negara Rp285 Triliun, JPU Beberkan 18 Korporasi Diuntungkan dalam Kasus Korupsi Migas
Gubernur DKI Segera Terbitkan Pergub Larangan Perdagangan Daging Anjing dan Kucing
Krisis Regenerasi Petani Ancam Ketahanan Pangan Nasional
Menkeu Purbaya Tegaskan APBN Tak Akan Dipakai untuk Family Office
Warnai Milangkala Pangandaran ke-13, Pemkab Gelar Kegiatan Pesisir Run
Samator Gas Tegaskan Tak Terlibat dalam Naik Turunnya Saham AGII