TIMESINDONESIA, KALIMANTAN BARAT – Masyarakat Kalimantan Barat sempat dibuat geger dengan kemunculan surat penolakan rencana pembangunan sebuah Gereja Katolik di Kabupaten Kubu Raya. Dalam surat yang mengatasnamakan Forum RT Dusun Parit Mayor Darat Desa Kapur tersebut, dikatakan bahwa penolakan dilakukan dengan dalih keamanan.
Pasca beredar luas di media sosial, surat tersebut pun dengan segera menuai reaksi keras dari masyarakat. Jika disimak dari aneka komentar di media sosial, secara garis besar, banyak masyarakat setempat yang menyayangkan tindakan intoleran bisa terjadi di bumi Khatulistiwa.
Menyikapi peristiwa tersebut, Bupati Kubu Raya, Sujiwo, menegaskan bahwa tidak ada ruang untuk intoleransi. Ia pun mengambil langkah cepat dengan memanggil pihak-pihak terkait.
Tidak hanya itu, melalui laman media sosialnya, Sujiwo juga menjamin perlindungan atas rencana pendirian Gereja Katolik di wilayahnya. Sikap ini lantas mendapat banyak apresiasi dari masyarakat luas, tidak hanya di Kalimantan Barat.
Reaksi masyarakat dan Sujiwo selaku kepala daerah sejatinya sangat wajar. Selama berabad-abad, berbagai etnis besar seperti Dayak, Melayu, dan Tionghoa telah hidup berdampingan, yang kemudian diperkaya oleh kehadiran suku-suku lain seperti Jawa, Madura, Bugis, dan lainnya.
Interaksi lintas budaya ini bukanlah sebuah konsep teoretis, melainkan pemandangan sehari-hari di pasar, warung kopi, sekolah, hingga dalam hubungan kekerabatan. Dinamika inilah yang membentuk karakter masyarakat Kalimantan Barat yang toleran, luwes dan terbuka.
Khusus daerah Kubu Raya sendiri, pemerintah Indonesia pada tahun 2020 melalui Kementerian Agama pernah menetapkan salah satu desanya, yakni Desa Kapur I di Kecamatan Sungai Raya sebagai Desa Sadar Kerukunan. Penetapan ini membuktikan bahwa praktik baik toleransi sebenarnya telah tumbuh subur di wilayah tersebut.
Fakta ini seharusnya menjadi pengingat bahwa benih-benih kebaikan dan persatuan semestinya jauh lebih banyak tersebar. Sekaligus penanda penting tidak adanya tempat untuk pemikiran-pemikiran yang menjurus pada perilaku intoleran.
Tidak hanya Desa Kapur I di Kubu Raya, Kalimantan Barat juga mempunyai Kota Singkawang yang dikenal sebagai salah satu kota toleran di Indonesia. Secara konsisten, lembaga Setara Institute menobatkan Singkawang sebagai salah satu kota paling toleran.
Pemandangan rumah ibadah seperti masjid, vihara, dan gereja yang berdiri berdekatan menjadi simbol visual kerukunan yang hidup dan dijaga oleh warganya. Eksistensi Singkawang sebagai kota toleran sendiri bukanlah sebuah kebetulan, melainkan buah dari kesadaran kolektif untuk merawat perbedaan sebagai sebuah kekuatan bersama.
Jejak historis toleransi di wilayah Kalimantan Barat secara umum pun dapat ditelusuri jauh ke belakang, dimulai sejak era kerajaan-kerajaan dan melalui jalur perdagangan maritim. Kepentingan ekonomi melalui Sungai Kapuas sebagai urat nadi perdagangan telah mendorong berbagai suku bangsa untuk saling berinteraksi secara damai.
Kesultanan Pontianak dan kerajaan lainnya di masa lalu telah menunjukkan kemampuan bagaimana mengelola keragaman penduduk demi stabilitas wilayah di Kalimantan Barat. Sederhananya, sejarah membuktikan bahwa koeksistensi harmonis di wilayah ini sebenarnya bukanlah sebuah dongeng, melainkan fondasi yang telah dibangun oleh para leluhur.
Sehingga, dapat disimpulkan, Kalimantan Barat sejatinya memiliki modal sosial dan historis yang lebih dari cukup untuk menepis pandangan intoleransi. Insiden yang terjadi di Kubu Raya harus dilihat sebagai sebuah alarm untuk semakin memperkuat dialog, saling pengertian, dan gotong royong di antara seluruh elemen masyarakat.
Dengan berkaca pada teladan Singkawang, Desa Kapur I, dan daerah-daerah lainnya yang masih setia dengan komitmen kebhinekaan, masyarakat Kalimantan Barat memiliki tanggung jawab untuk menunjukkan kepada Indonesia bagaimana kemajemukan seharusnya dirayakan, bukan diperdebatkan.
Sebagai penutup, kita mesti mengingat bahwa menghidupkan kembali semangat toleransi bukan semata-mata tugas pemerintah, melainkan juga menjadi tanggung jawab kolektif masyarakat. Pemuka agama, tokoh adat, pendidik, dan media massa memiliki peran strategis dalam menyuarakan nilai-nilai kebersamaan.
Perbedaan bukanlah ancaman, melainkan realitas yang harus dikelola dengan bijaksana. Sebab hanya dengan bersatu dalam keberagaman, cita-cita kemanusiaan dan keadilan di Kalimantan Barat dapat benar-benar terwujud.
***
*) Oleh : Kristoforus Bagas Romualdi, M.Pd., Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Tanjungpura.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Komisi A DPRD Jatim Desak Pemprov Jatim Bersinergi, Wujudkan Lapas Bersinar
DPRD Jatim Awasi Program Pembebasan Pajak Kendaraan, Pastikan Manfaat Tepat Sasaran
Dispendik Gresik Alokasikan Seragam Gratis untuk Siswa Baru SD dan SMP Negeri
POR KORPRI Sleman 2025 Dorong ASN Sehat, Kompak, dan Berprestasi
DPC Peradi Gerakan Bantul Kritik Keras RKUHAP 2025
Mengenang Semangat 'Arek Suroboyo', Napak Tilas Local Guides di Tugu Pahlawan
Kadistransnaker: Kunker Mentrans RI Percepat Pembangunan Transmigrasi di Sumba Timur
Kapolres Pacitan Tekankan Disiplin Lalu Lintas dan Cegah Perundungan di SMKN 2 Pacitan
Seru! Murid SMP Gresik Praktik Membuat Wayang untuk Lestarikan Tradisi
Lestari Moerdijat: Dorong Peningkatan Pemerataan Kualitas Perguruan Tinggi