TIMESINDONESIA, LAMPUNG – Putusan pengadilan yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan, menghadirkan perdebatan serius dalam ruang publik.
Tom Lembong, dikenal luas sebagai teknokrat bersih, justru dijadikan terpidana dalam kasus yang secara substansial merupakan pelaksanaan kebijakan nasional yang ditetapkan dalam forum formal pemerintahan: rapat terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden.
Fakta-fakta persidangan menunjukkan bahwa Tom tidak menerima aliran dana, gratifikasi, atau keuntungan pribadi dari kebijakan impor gula yang dipersoalkan. Bahkan, dalam amar putusan, majelis hakim menyatakan secara eksplisit bahwa ia tidak menikmati hasil korupsi dan tidak perlu membayar uang pengganti.
Kendati demikian, ia tetap dinyatakan bersalah atas pelanggaran prosedural dalam pemberian izin impor kepada delapan perusahaan swasta, yang menurut hakim dilakukan tanpa koordinasi dan rekomendasi Kementerian Perindustrian, serta melanggar Permendag 117/2015.
Inilah letak kejanggalannya. Jika pelanggaran administratif tanpa niat jahat (mens rea) dan tanpa keuntungan pribadi dapat digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, maka garis pembeda antara kekeliruan teknis dan kejahatan menjadi kabur. Hukum seakan lebih bernafsu menghukum siapa yang bisa dijangkau, bukan siapa yang seharusnya bertanggung jawab.
Kita tahu, dalam sistem presidensial seperti Indonesia, seorang menteri tidak membuat keputusan strategis secara independen dalam hal-hal sebesar kebijakan impor.
Apalagi dalam kasus ini, Tom Lembong mengklaim bahwa kebijakan percepatan impor gula adalah hasil keputusan bersama dalam rapat terbatas yang dipimpin langsung oleh Presiden.
Namun anehnya, pengadilan tidak memperluas pertanggungjawaban ini kepada pengambil keputusan tertinggi. Sang eksekutor dihukum, sang arsitek kebijakan tetap tak tersentuh.
Publik pun mempertanyakan integritas sistem keadilan kita. Mengapa hanya pelaksana yang dihukum, sementara para perancang kebijakan tetap berada di menara gading kekuasaan? Bukankah dalam prinsip hukum dan etika pemerintahan, tanggung jawab seharusnya bersifat berjenjang dan proporsional?
Keputusan ini berisiko besar. Pertama, ia menciptakan ketakutan di kalangan birokrat dan teknokrat yang bekerja melayani negara. Jika pelaksanaan tugas atas nama negara dapat berujung penjara tanpa unsur memperkaya diri, siapa lagi yang mau mengambil risiko untuk melayani pemerintahan secara tulus?
Kedua, ia memperkuat budaya impunitas di tingkat elite. Jika aktor-aktor kunci pengambil kebijakan ekonomi dan politik bisa lepas dari tanggung jawab dengan berlindung di balik kerumunan kolektif kekuasaan, maka hukum menjadi alat politik semata, bukan lagi penjaga keadilan.
Ketiga, putusan ini dapat menciptakan preseden buruk: bahwa hukum pidana dapat diberlakukan atas dasar pelanggaran administratif, bahkan tanpa niat jahat dan tanpa kerugian yang dinikmati secara pribadi. Hal ini berpotensi mengkriminalisasi kebijakan negara, dan menumpulkan keberanian teknokrat untuk menjalankan visi pembangunan.
Seharusnya, jika benar negara dirugikan oleh kebijakan ini, maka semua pihak yang berada dalam rantai kebijakan dari perancang, pemberi instruksi, hingga pelaksana teknis, diperiksa secara menyeluruh. Bukan hanya Tom Lembong yang dikorbankan, sementara para pemilik otoritas tetap diam di balik tirai kekuasaan.
Kasus ini menjadi pelajaran penting bagi bangsa ini. Bahwa keadilan sejati bukan hanya soal menghukum seseorang, tetapi menempatkan tanggung jawab pada tempatnya. Jika tidak, vonis atas Tom Lembong hanya akan dikenang sebagai potret keadilan yang timpang, tajam ke bawah, tumpul ke atas. (*)
***
*) Oleh : Prof. Erry Yulian Triblas Adesta, Ph.D., Wakil Rektor Bidang Akademik, Riset, dan Inovasi Universitas Bandar Lampung.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Editor | : Hainorrahman |
Komisi A DPRD Jatim Desak Pemprov Jatim Bersinergi, Wujudkan Lapas Bersinar
DPRD Jatim Awasi Program Pembebasan Pajak Kendaraan, Pastikan Manfaat Tepat Sasaran
Dispendik Gresik Alokasikan Seragam Gratis untuk Siswa Baru SD dan SMP Negeri
POR KORPRI Sleman 2025 Dorong ASN Sehat, Kompak, dan Berprestasi
DPC Peradi Gerakan Bantul Kritik Keras RKUHAP 2025
Mengenang Semangat 'Arek Suroboyo', Napak Tilas Local Guides di Tugu Pahlawan
Kadistransnaker: Kunker Mentrans RI Percepat Pembangunan Transmigrasi di Sumba Timur
Kapolres Pacitan Tekankan Disiplin Lalu Lintas dan Cegah Perundungan di SMKN 2 Pacitan
Seru! Murid SMP Gresik Praktik Membuat Wayang untuk Lestarikan Tradisi
Lestari Moerdijat: Dorong Peningkatan Pemerataan Kualitas Perguruan Tinggi