TIMESINDONESIA, SURAKARTA – Pekik Merdeka menggema keras dengan penuh semangat setiap tahun, mengingatkan kita semua atas perjuangan yang telah mengorbankan banyak tenaga, waktu dan nyawa. Mengusir penjajah dari negeri kita yang menjadi surganya sumber daya alam, supaya bebas dari penjajahan dan ketersiksaan secara fisik.
Waktu yang terus berputar, kemerdekaan yang setiap tahun kita rayakan perlu kita renungkan kembali. Apakah kemerdekaan hanya sebatas meneriakkan “Merdeka” dan simbolis pengibaran bendera merah putih?
Prinsip ekonomi Islam memberikan solusi yang lebih mengena untuk mendefinisikan arti dari kemerdekaan sesungguhnya, yang terbebas dari segala bentuk siksaan, eksploitasi dan kecanduan ekonomi kapitalis yang mampu merendahkan harkat serta martabat manusia.
Pada kacamata Islam, kemerdekaan sejatinya bukanlah suatu tujuan akhir, tetapi sebuah sarana untuk mencapai tujuan akhir yang lebih baik, tinggi dan bermakna, yaitu falah.
Pada suatu negara, jika masyarakat atau rakyatnya masih susah dan banyak terjerat utang yang berbasis riba, ketimpangan sosial dan ketidak daulatan atas sumber daya alamnya sendiri berarti bangsa atau negara tersebut belum sepenuhnya disebut sebagai bangsa yang merdeka.
Lalu apakah bangsa Indonesia sudah seperti itu? Pertanyaan besar yang perlu dicari jawabannya secara benar, bukan sekadar formalitas untuk menenangkan atau menyenangkan saja.
Salah satu pilar kemerdekaan ekonomi Islam adalah bebas dari sistem utang piutang yang mengandung riba. Karena secara harfiah kata riba adalah tambahan, yang tentunya ini adalah bagian dari bentuk exploitasi secara nyata.
Dalam konteks yang lebih luas, kenegaraan misalnya ketergantungan hutang pada luar negeri yang berbasis riba tentunya akan mencekik atau memberatkan, ini menjadi salah satu bentuk penjajahan di era modern. Merdeka secara konstitusional tapi terjajah oleh hutang.
Ekonom Islam yang berpengaruh dalam dunia akademik, Umer Chapra pada salah satu bukunya "Islam and the Economic Challenge", menjelaskan bahwa sistem yang berbasis riba akan menciptakan ketidakstabilan dan ketidakadilan.
Riba memastikan kekayaan mengalir dari peminjam yang biasanya lebih membutuhkan dan produktif ke pemberi pinjaman yang lebih kaya dan punya banyak modal.
Lebih lanjut, negara yang terperangkap dalam sistem utang riba akan terlepas kedaulatan dalam mengarahkan suatu kebijakan ekonominya. Karena anggaran belanja bisa saja akan tersandera untuk membayar riba utang, sehingga akan mempertaruhkan alokasi pada sektor-sektor utama seperti kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Maka dari itu, kemerdekaan dari riba merupakan langkah penting untuk menuju kedaulatan ekonomi dan negara yang sebenarnya.
Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang bisa menyumbang dan membiayai pembangunan negara dari sistem yang adil dan produktif, seperti bagi hasil (mudharabah), penyertaan modal (musyarakah), dan instrumen keuangan Islam lainnya.
Dengan menggunakan sistem yang tepat tentu akan menghasilkan manfaat dan maslahah yang tepat pula. Sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat al Az-zalzalah ayat 7-8 yang artinya "Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya."
Rasa akan kemerdekaan bagi raykat tentunya tidak akan terasa jika kekayaan hanya dimiliki pada satu atau dua orang saja. Sementara itu, mayoritas masyarakatnya hidup diambang batas kemiskinan.
Dalam ekonomi Islam, menempatkan keadilan pada distribusi (al-'adalah al-ijtima'iyyah) sebagai dasar fondasi. Kemerdekaan yang sejati adalah hak setiap warga negara memiliki akses penuh dan adil berkenaan sumber daya dan kesempatan hidup yang layak.
Prinsip Instrumen Fundamental
Prinsip instrumen fundamental dalam ekonomi Islam merujuk pada landasan utama yang menjadi dasar setiap aktivitas ekonomi yang sesuai dengan syariat Islam. Karena di dalam Islam menyakini semua yang ada di bumi adalah milik Allah SWT, manusia yang diciptakan hanya sebagai khalifah di bumi, dan tentunya akan mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Nya.
Instrumen fundamental tersebut antara lain adalah zakat, infaq, sedekah, wakaf, dan ihtikar. Zakat merupakan hak orang miskin yang wajib dikeluarkan oleh orang kaya. Zakat ini mempunyai fungsi sebagai mekanisme redistribusi kekayaan terstruktur dan memastikan tidak ada warga yang terlewat.
Sedangkan infaq dan sedekah mendorong putaran kekayaan dengan sifat sukarela untuk membantu keamanan sosial. Selanjutnya adalah wakaf yang bisa memperdayakan pada jangka lebih panjang dan hasilnya bisa dimanfaatkan untuk membiayai layanan publik seperti rumah sekolah, rumah sakit dan fasilitas umum.
Tentunya jika intrumen ini berjalan dengan baik dan benar sesuai koridor pasi akan membantu mengurangi beban negara dan akan membuat komunitas atau lingkungan yang mandiri.
Islam melarang keras penimbunan barang (ihtikar) dengan tujuan memainkan harga dan untuk menaikkan harga di pasaran. Tentunya cara tersebut merupakan praktik curang dan salah yang hanya akan menyengsarakan rakyat.
Secar implisit Ibnu Khaldun dalam "Muqaddimah," menjelaskan pentingnya keadilan dan sirkulasi kekayaan. Dijelaskan dalam karyanya, ketika pemerintah berlaku adil dan tidak membebani rakyat dengan pajak yang salah, maka aktivitas ekonomi akan meningkat dengan pesat, perkembangan menjadi makmur, dan tentunya negara akan kuat.
Sebaliknya, jika ketidakadilan dan monopoli berjalan dengan terstruktur dan massif maka akan mematikan semangat berusaha dan menjatuhkan negara.
Suatu negara yang kaya atas sumber daya alam tapi belum mampu mengelolanya untuk kesejahteraan rakyatnya merupakan ironi kemerdekaan. Dalam ekonomi Islam, sumber daya alam (air, hutan, dan barang tambang) adalah milik publik (milkiyyah 'ammah).
Negara harus bertindak sebagai wali yang amanah untuk mengelolanya demi kepentingan rakyat, bukan untuk perusahaan atau corporate asing dan segelintir oknum.
Menafsirkan penuh makna tentang kemerdekaan dari kacamata ekonomi Islam akan membawa kita pada sebuah kesimpulan yang mendalam. Kemerdekaan sejati bukanlah sekadar peristiwa politik masa lalu, tetapi suatu perjuangan berkelanjutan.
Perjuangan membebaskan diri dari kemelut riba, memberantas kemiskinan lewat keadilan distributif, dan menegakkan kedaulatan penuh atas kekayaan bangsa.
***
*) Oleh : Abdus Salam, Pengajar di FEBI UIN Raden Mas Said Surakarta dan Staf Yayasan ELSA Semarang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Editor | : Hainorrahman |
Satu Dekade TIMES Indonesia, Gerbang Informasi Penghubung Generasi Masa Depan
KKN Mahasiswa Unitomo di Probolinggo Perkuat Sosialisasi Bencana dan Mitigasi Sejak Dini
Simbol Kemerdekaan RI, 80 Tukik Dilepas Griya Santrian Sanur Bali
Resepsi Kenegaraan, Atlet Pacitan Berprestasi di Porprov IX Jatim Diganjar Bonus Besar
Gencarkan Peduli Bencana, KKN Unitomo di Desa Widoro Sosialisasikan InaRisk
DPC Gerindra Kabupaten Malang Gelar Refleksi Kemerdekaan dan Setahun Pemerintahan Prabowo
Kebersamaan Semangat Merdeka, Dusun Kembang Singosari Malang Gelar Upacara Mandiri
Perayaan HUT ke-80 RI Jadi Ajang SMKN 1 Pacitan Apresiasi Prestasi Siswa
Kala Bupati Probolinggo Tinggalkan Paseban, Pilih Berpanasan Bareng Peserta Upacara
Kampanye Cinta Lingkungan, GP Ansor Pujer Kibarkan Merah Putih di Kawah Wurung Bondowoso