TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setiap 12 Rabiul Awal, umat Islam di seluruh dunia mengenang peristiwa agung: kelahiran Nabi Muhammad SAW. Maulid bukan sekadar ritual tahunan, melainkan momentum refleksi. Dari kegelapan jahiliyah lahir cahaya ketauhidan yang membawa rahmat bagi semesta alam.
Riwayat menyebutkan, kelahiran Nabi disambut sukacita keluarga Bani Hasyim. Bahkan Abu Lahab yang kelak menentang dakwah Nabi turut berbahagia. Sejak awal, tanda-tanda kenabian telah tampak jelas, seolah memberi isyarat lahirnya pemimpin besar yang akan mengubah arah sejarah.
Al-Qur’an menegaskan misi agung beliau:
“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107).
Sejak kecil, Nabi Muhammad SAW adalah sosok teruji. Beliau dikenal jujur dan digelari al-Amin, sebuah modal sosial penting. Saat remaja, beliau menggembala kambing, pekerjaan sederhana yang melatih empati dan kepemimpinan. Memasuki usia muda, Nabi menjadi pedagang sukses dengan etika bisnis yang berlandaskan amanah, adil, dan bermanfaat.
Jika ditinjau dengan sains modern, perjalanan hidup Nabi menunjukkan karakter kepemimpinan transformasional, etika ekonomi berkelanjutan, serta kecerdasan sosial. Semua itu adalah fondasi peradaban ilmu dan akhlak yang beliau bangun setelah menerima wahyu.
Memperingati Maulid sejatinya adalah menjawab tantangan zaman. Dalam kepemimpinan, keteladanan Nabi sangat relevan menghadapi krisis kepercayaan publik. Dalam ekonomi, etika bisnis beliau bisa menjadi solusi atas praktik manipulatif dan korupsi. Dalam kehidupan sosial, kasih sayang Nabi adalah obat dari meningkatnya intoleransi dan perpecahan.
Tradisi Maulid di Nusantara dari pembacaan sholawat hingga kegiatan sosial mencerminkan sabda Rasulullah:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad).
Karena itu, Maulid seharusnya tidak berhenti pada seremonial. Ia adalah energi spiritual dan ilmiah untuk mentransformasikan cinta kepada Rasul menjadi aksi nyata. Dari iman lahirlah ilmu, dan dari ilmu lahirlah peradaban yang beradab.
Maulid Nabi SAW adalah momentum untuk menyatukan iman, ilmu, dan peradaban. Dengan memaknainya secara mendalam, umat Islam tidak hanya merayakan kelahiran Nabi, tetapi juga menghidupkan kembali semangat beliau dalam membangun masyarakat yang berilmu, berakhlak, dan bermanfaat bagi seluruh alam.
***
*) Oleh: Suaeb Qury, Wakil Sekretaris PW NU Prov NTB.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
Editor | : Dhina Chahyanti |
New Innova Zenix 2025 Dibekali Fitur Canggih hingga Interior Lebih Modern
Kegiatan Merajut dan Merenda Bisa Menjadi Terapi di Waktu Senggang
Apa yang Terjadi pada Kolesterol Jika Makan Telur Setiap Hari?
Wow, 1 dari 3 Penduduk Eropa adalah Pengguna TikTok
Gudeg Ternyata Punya Dua Versi, Yogyakarta dan Solo Ini Bedanya
Dokter RSA UGM Ungkap Cara Aman Hadapi Paparan Gas Air Mata di Aksi Massa
Pendaki Beber Daftar Obat yang Wajib Dibawa Saat Naik Gunung
Tabebuya bermekaran, Lanskap Kota Pahlawan Bak Negeri Sakura
Timnas Ditahan Imbang Lebanon 0-0 dalam Laga Uji Coba FIFA Matchday
Menkeu Purbaya Yakin IHSG Rebound dalam 2 Minggu Pasca-Rreshuffle