TIMESINDONESIA, PADANG – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 memang dianggap sebagai langkah realistis pemerintah untuk memperkuat basis fiskal. Namun di balik angka itu, ada kenyataan pahit yang dirasakan langsung rakyat.
Bagi keluarga kelas menengah yang rapuh, tambahan beban pajak ini bisa menjadi penentu jatuh tidaknya mereka ke jurang kemiskinan. Dan ketika garis kemiskinan semakin mudah ditembus, kerentanan terhadap krisis iklim pun ikut melebar.
Pemerintah kerap menonjolkan bahwa tingkat kemiskinan nasional turun menjadi 8,47 persen atau 23,85 juta orang pada Maret 2025. Namun data ini tidak otomatis mencerminkan daya tahan rakyat. Sebab, masih ada sekitar 45 persen penduduk Indonesia yang berada di kelompok aspiring middle class bukan lagi miskin, tetapi belum cukup aman.
Mereka bekerja di sektor informal, hidup dengan tabungan tipis, dan tanpa jaminan kesehatan memadai. Satu guncangan saja mulai dari kehilangan pekerjaan, sakit, atau bencana iklim bisa membuat mereka terjerembab kembali. Kenaikan PPN, meski tampak “hanya” beberapa persen, justru paling membebani kelompok rapuh ini.
Indonesia mungkin tidak mengalami heatwave seperti di India atau Eropa, tetapi data BMKG menunjukkan tren kenaikan suhu rata-rata di banyak kota. Hari-hari terasa lebih panas, curah hujan makin tidak menentu, banjir bandang datang tiba-tiba, dan longsor menghantui daerah rawan.
Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, krisis iklim bukan sekadar isu global tetapi nyata dirasakan di dapur rumah tangga. Suhu yang lebih panas berarti biaya listrik lebih tinggi, kesehatan rentan terganggu, dan produktivitas menurun. Sementara itu, petani kecil menghadapi panen gagal akibat hujan ekstrem, tanpa cukup modal untuk bangkit kembali.
Kondisi ini menimbulkan lingkaran setan: pendapatan menurun karena iklim, pengeluaran meningkat karena pajak, dan ruang adaptasi semakin sempit.
Dampak kenaikan beban ekonomi juga terasa pada pendidikan. Banyak keluarga yang mulai mengurangi biaya sekolah: menunda membeli buku, seragam, bahkan menarik anak untuk membantu bekerja. Padahal, pendidikan adalah kunci agar generasi mendatang mampu menghadapi krisis iklim dengan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik.
Di sisi kesehatan, risikonya semakin jelas. Penyakit akibat banjir, demam berdarah, hingga stres karena suhu ekstrem kini lebih sering menghantam. Namun akses kesehatan masih timpang.
Banyak keluarga menunda berobat karena biaya transportasi dan obat ikut terdampak PPN. Artinya, kesehatan rakyat kian rapuh justru ketika ancaman iklim menuntut daya tahan lebih besar.
Persoalan makin runyam dengan maraknya korupsi. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih stagnan di angka 37/100. Korupsi ibarat pajak tersembunyi: rakyat sudah membayar kewajiban, tetapi manfaatnya terpangkas karena anggaran bocor ke kantong pribadi.
Proyek adaptasi iklim seperti tanggul, rehabilitasi mangrove, atau sekolah tahan banjir sering memerlukan dana besar. Jika praktik rente masih berlangsung, maka rakyat membayar pajak dua kali: satu secara resmi, satu lagi melalui kerugian akibat korupsi.
Indonesia sudah berkomitmen pada SDGs 13: Penanganan Perubahan Iklim. Komitmen ini seharusnya menjadi acuan setiap kebijakan fiskal. Pajak tidak boleh berhenti sebagai instrumen fiskal, tetapi harus berfungsi sebagai alat untuk memperkuat ketahanan masyarakat menghadapi krisis iklim.
Langkah yang dibutuhkan antara lain adalah memastikan setiap kebijakan fiskal melalui uji kerentanan iklim, sebagaimana proyek fisik diwajibkan menjalani AMDAL. Barang dan jasa yang mendukung adaptasi seperti teknologi hemat energi atau benih tahan iklim semestinya mendapatkan insentif atau bahkan bebas PPN. Jaring pengaman sosial pun harus diperluas dengan skema adaptif yang otomatis aktif saat bencana melanda.
Tidak kalah penting, sebagian pendapatan pajak perlu dialokasikan khusus untuk program adaptasi iklim di tingkat komunitas, mulai dari drainase lingkungan, penghijauan kota, hingga klinik kesehatan untuk suhu ekstrem.
Semua itu hanya akan bermakna jika didukung transparansi dan komitmen antikorupsi yang ketat, agar setiap rupiah benar-benar kembali ke rakyat.
Kenaikan PPN 12 persen seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi fiskal, tetapi juga dari sisi keberlanjutan. Pertanyaan yang paling mendasar adalah: apakah pajak yang dibayar rakyat membuat mereka lebih tahan menghadapi krisis iklim, atau justru membuat mereka semakin rapuh?
Jika kebijakan fiskal gagal menjawab tantangan ini, maka rakyat Indonesia seakan membayar dua kali: pertama, kepada negara lewat pajak, dan kedua, kepada krisis iklim yang terus merenggut ruang hidup mereka.
***
*) Oleh : Dr. Nofi Yendri Sudiar, M.Si., Koordinator Penanganan Perubahan Iklim SDGs sekaligus Kepala Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Negeri Padang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: opini@timesindonesia.co.id
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Denyut Sektor Konstruksi di Jantung Ibu Kota
KPK Panggil Ketua Umum PBNU, Selidiki Aliran Dana Kasus Kuota Haji 2023–2024
Kisah Keluk Pristiwahana, Gelombang Senyap yang Menggema Besar di Blora
Pakar UGM Soroti Kontroversi Ucapan Pejabat Publik, Minta Perbaikan Gaya Komunikasi
Pasar Properti Jogja Lesu, Rumah Mewah Rp 1 Miliar Justru Lebih Laku Dibanding Hunian Murah
Korsleting Listrik Sebabkan, Gudang Obat Puskesmas Kembiritan Banyuwangi Ludes Terbakar
DPRD Pacitan Minta DKPP Remajakan Fasilitas Taman Teknologi Pertanian Pringkuku
Optimis Kejar Target Kemiskinan Turun, Tiga Skema Kebijakan Ini Disiapkan Pemkab Malang
Penayangan Iklan Pemerintah di Bioskop Bentuk Transparansi Publik
Pemerintah Siap Lengkapi Sekolah Rakyat dengan Koneksi Internet Cepat